Mentari memancarkan sinarnya tepat di atas kepala, sambil melihat Cahaya dengan seribu keluh kesahnya. Matahari tentu sudah tidak asing lagi dengan Cahaya. Seorang anak di bangku SMA yang setiap hari menatap sambil menceritakan kehidupannya.
Cahaya matahari, karena kepemimpinan matahari sama dengannya yang terus memancarkan sinar bagi orang-orang disekitarnya. Cahaya tidak pernah merasa bahagia akan hal tersebut, karena dia merasa tidak ada orang yang bisa membantunya dan memahaminya.
Cahaya mengembuskan napas panjang, kemudian duduk di rumput-rumput hijau. “Hari ini, aku lelah hidup. Aku tahu, tugasku adalah menyinari orang-orang disekitar. Sama sepertimu, matahari. Namun, apakah ada seseorang yang menyinariku juga? Aku menyinari orang lain tapi tak ada seorang pun yang menyinariku. Sedangkan kita yang harus membahagiakan orang lain, tidak pernah mendapatkan kebahagiaan. Aku pikir, kamu pun begitu, benar ‘kan?”
Cahaya memandang langit yang hanya berdiam, “Setelah beberapa cerita yang telah aku sampaikan, bisakah kamu mengucapkan beberapa kata? Aku lelah melihatmu yang terus menerus tanpa berbicara apapun. Namun, tak apa, aku tetap bersyukur dapat berbicara denganmu.”
Kemudian setelah itu, tak lama Cahaya merasakan embusan napas di luar dirinya. Dia tidak gila, dia dapat merasakan kehadiran seseorang di samping dirinya. Cahaya menolehkan pandangannya, dan melihat Langit yang sedang duduk disebelahnya. Cahaya tentu mengenal Langit, yang tak lain adalah saudari yang sangat dekat dengannya.
“Kamu tahu? Aku pikir, kamu adalah orang yang bodoh. Untuk apa menunggu jawaban dari matahari? Dia tidak akan menjawabmu,” ucap Langit.
“Matahari memang tidak akan menjawabku, tetapi setidaknya dia mau mendengarkanku setiap hari. Kamu tahu? Dunia ini begitu egois. Semua orang mendapat kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan, tidak pernah ada yang menyinariku. Aku pun mulai berpikir, untuk apa Tuhan menciptakanku? Apakah Dia hanya ingin aku menyinari orang lain, tanpa ada yang menyinariku?,” balas Cahaya.
Langit hanya tertawa kecil. Kemudian dia mulai membuka suaranya, “Seharusnya kamu memiliki pemikiran yang lebih luas, Cahaya. Aku pun dulu sama sepertimu, mengeluh tentang hidup ini,”. Langit terdiam, lalu melanjutkan pembicaraannya, “dulu aku berpikir, mungkin orang tuaku salah memberikan nama. Karena, kemungkinan menjadi penopang bagi orang lain.
Aku menjadi atap bagi mereka. Sedangkan aku sendiri? Tidak ada yang menjadi atap dalam diriku.