Sang Mentari dan Langit

0
3478

Mentari memancarkan sinarnya tepat di atas kepala, sambil melihat Cahaya dengan seribu keluh kesahnya. Matahari tentu sudah tidak asing lagi dengan Cahaya. Seorang anak di bangku SMA yang setiap hari menatap sambil menceritakan kehidupannya.

Cahaya matahari, karena kepemimpinan matahari sama dengannya yang terus memancarkan sinar bagi orang-orang disekitarnya. Cahaya tidak pernah merasa bahagia akan hal tersebut, karena dia merasa tidak ada orang yang bisa membantunya dan memahaminya.

Cahaya mengembuskan napas panjang, kemudian duduk di rumput-rumput hijau. “Hari ini, aku lelah hidup. Aku tahu, tugasku adalah menyinari orang-orang disekitar. Sama sepertimu, matahari. Namun, apakah ada seseorang yang menyinariku juga? Aku menyinari orang lain tapi tak ada seorang pun yang menyinariku. Sedangkan kita yang harus membahagiakan orang lain, tidak pernah mendapatkan kebahagiaan. Aku pikir, kamu pun begitu, benar ‘kan?”

Cahaya memandang langit yang hanya berdiam, “Setelah beberapa cerita yang telah aku sampaikan, bisakah kamu mengucapkan beberapa kata? Aku lelah melihatmu yang terus menerus tanpa berbicara apapun. Namun, tak apa, aku tetap bersyukur dapat berbicara denganmu.”

Kemudian setelah itu, tak lama Cahaya merasakan embusan napas di luar dirinya. Dia tidak gila, dia dapat merasakan kehadiran seseorang di samping dirinya. Cahaya menolehkan pandangannya, dan melihat Langit yang sedang duduk disebelahnya. Cahaya tentu mengenal Langit, yang tak lain adalah saudari yang sangat dekat dengannya.

“Kamu tahu? Aku pikir, kamu adalah orang yang bodoh. Untuk apa menunggu jawaban dari matahari? Dia tidak akan menjawabmu,” ucap Langit.

“Matahari memang tidak akan menjawabku, tetapi setidaknya dia mau mendengarkanku setiap hari. Kamu tahu? Dunia ini begitu egois. Semua orang mendapat kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan, tidak pernah ada yang menyinariku. Aku pun mulai berpikir, untuk apa Tuhan menciptakanku? Apakah Dia hanya ingin aku menyinari orang lain, tanpa ada yang menyinariku?,” balas Cahaya.

Langit hanya tertawa kecil. Kemudian dia mulai membuka suaranya, “Seharusnya kamu memiliki pemikiran yang lebih luas, Cahaya. Aku pun dulu sama sepertimu, mengeluh tentang hidup ini,”. Langit terdiam, lalu melanjutkan pembicaraannya, “dulu aku berpikir, mungkin orang tuaku salah memberikan nama. Karena, kemungkinan menjadi penopang bagi orang lain.

Aku menjadi atap bagi mereka. Sedangkan aku sendiri? Tidak ada yang menjadi atap dalam diriku.

Aku menjadi atap bagi mereka. Sedangkan aku sendiri? Tidak ada yang menjadi atap dalam diriku. Aku terus berlagak dan benci pada kehidupanku. Namun, seiring berjalannya waktu, aku sadar akan sesuatu. Jika memang tidak ada yang bisa menjadi atap bagi hidupku, aku akan melakukannya sendiri. Setelah itu, aku akan menjadi atap bagi orang lain, sehingga, aku bisa membahagiakan diriku sendiri dan orang disekitarku”.

Cahaya terdiam mendengar ucapan Langit. Langit pun tersenyum dan kembali berbicara, “Aku harap, kamu pun punya pemikiran seperti itu. Kamu harus bisa menyinari dirimu sendiri sebelum menyinari orang lain. Aku yakin, setelah itu kamu akan memiliki hidup yang bahagia”.

“Apakah kamu yakin?,” tanya Cahaya.

“Ya, aku yakin. Jangan seperti aku, yang malah menyia-nyiakan hidup ini,” balas Langit.

Cahaya menunggu dan akhirnya membeku. Napasnya terhenti dan pikirannya kemana-mana. Cahaya pun akhirnya mengingat, bahwa Langit, saudarinya itu, telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Lantas, bagaimana Langit bisa berada di sampingnya saat ini?

Pikiran Cahaya buyar, kata-kata yang diucapkan luka Langit seolah-olah berubah menjadi sebuah luka yang begitu dalam.

“Sebenarnya, aku ingin lebih lama lagi berbicara denganmu, tetapi sepertinya tidak bisa. Jadi, maukah kamu berjanji untuk menyinari dirimu terlebih dahulu sebelum menyinari orang lain?,” tanya Langit sambil tersenyum.

“Ya, aku aku akan melakukannya,” ucap Cahaya, yang sudah tak bisa membendung air matanya.

Cahaya bahagia dipenuhi rasa sakit lagi setelah melihat Langit yang mulai memudar sebelum mengatakan hal terakhir Anda, “Kamu harus bahagia, Cahaya.”

Langit benar-benar meninggalkan Cahaya itu sendiri. Cahaya tidak bisa lagi melihat sosok Langit yang berada di sampingnya.

Setelah itu, kehidupan Cahaya mulai berubah. Cahaya menjadi orang yang bahagia, dan mulai mencintai dirinya sendiri. Dia tidak lagi sedih dan mengeluh pada hidupnya. Cahaya pun akhirnya dapat menjadi sinar bagi dirinya sendiri dan semua orang.