Gubuk itu terlihat begitu kecil, berada di tepi Sungai Serayu. Gubuk itu terbuat dari kayu pohon jati kecil yang mati, disusun ala kadarnya, dan dijerat dengan tali rafia agar bisa berdiri. Atapnya terbuat dari daun-daun pohon kelapa kering, yang kalau hujan turun sudah pasti akan bocor.
Di depan gubuk itu, Sukatro sedang jongkok memandangi aliran-aliran sungai yang tenang. Sesekali terlihat ikan-ikan kecil berenang di antara lumut-lumut tebal.
Aku ini seperti ikan-ikan kecil itu. Bebas ke sana kemari namun tidak bisa berbicara. Enak sekali menjadi mereka, tidak bisa berbicara pun ada temannya. Barangkali dulu Tuhan Allah salah memasukkan jiwaku ke tubuh manusia yang menjijikan ini, aku akan protes jika bertemu dengan-Nya nanti, pikir Sukatro.
Sayub-sayub, suara azan terdengar lirih dari arah desa. Sudah waktu ashar. Sukatro segera berdiri, berjalan menuju ke sungai untuk mengambil wudhu, lalu bergerak ke gubuk kecil yang memang dibuat olehnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan.
Tempat ini lebih bersih daripada tempat ibadah, masjid, yang terletak di sebelah rumah pak Kaji, batinnya. Pernah suatu ketika kucing milik bu Sami berbicara kepada Sukatro bahwa ia pernah ditendang oleh pak Kaji saat ia sedang berjalan santai di depan warung makan bu Sami.
Dasar kucing jelek, bikin tidak nafsu makan, kata pak Kaji. Badannya terasa sangat sakit, padahal ia sedang mengandung lima bayi yang hampir lahir. Aku tak mengerti kenapa pak Kaji, orang yang selalu menjadi imam di masjid melakukan itu kepadaku, lanjutnya sembari menangis di hadapan Sukatro.
Ada lagi yang berbicara kepada Sukatro, seekor tokek jantan yang berada di pohon mangga dekat masjid. Ia bilang, kemarin malam ia melihat pak Kirmo pergi ke dalam masjid. Setelah beberapa menit, pak Kirmo keluar dari masjid dan saku celananya terlihat begitu tebal.
Tokek itu memanggil pak Kirmo dengan keras dan berharap kepada pak Kirmo, orang yang menjabat sebagai bendahara dan sering menjadi muazin di masjid itu, menunjukkan apa yang ada di sakunya. Tapi ia justru dilempari batu oleh pak Kirmo. Berisik kau tokek sialan, dasar hewan terkutuk, kata pak Kirmo.
Lalu hari ini, toa masjid itu bersuara, yang tak lain dan tak bukan adalah suara pak Kirmo, bahwa kotak amal masjid sudah kosong telah habis dicuri orang. Kehilangan ini tidak cuma satu atau dua kali, tapi sudah lima kali terjadi.
Sukatro berpikir, bahwa tempat yang suci tidak seharusnya dipenuhi dengan orang-orang kotor. Mereka tidak kenal dengan kata taubat, atau bahkan kata suci itu sendiri. Kata taubat hanya dijadikan formalitas, dengungan palsu, agar mereka terlihat bersih dan suci di depan orang-orang.
Maafkan semua ciptaan-Mu ini, Tuhan, batin Sukatro. Ia lalu bersiap untuk beribadah sholat.
***
“Kotak amal sudah beberapa kali kebobolan. Siapa pelakunya?”
“Tidak tahu, pak Kaji. Tetapi tadi pagi, saya melihat Sukatro sedang berada di belakang masjid. Ia menatap pohon mangga agak lama, kemudian pergi. Apa mungkin pelakunya Sukatro?”, pak Kirmo menjawab dengan yakin.
“Orang bisu itu? Sungguh biadab sekali kelakuannya. Kalau begitu, kita cari saja dia. Kalau perlu, geledah rumahnya. Panggil semua warga RT sini, kita grebek rumah Sukatro malam ini juga, Kirmo.”
***
Setelah selesai beribadah, Sukatro berniat untuk pulang ke rumah karena hari sudah sangat sore.
Jarak dari gubuk ke rumahnya sedikit jauh. Melewati pohon-pohon pinus, lalu air terjun Curug Pitu, lalu sawah milik pak Kaji, baru nanti sampai rumahnya di sebelah sawah itu.
Sukatro mulai berjalan dengan santai. Hawa dingin mulai terasa, menyelimuti kulitnya yang cokelat, berwarna sawo matang lebih tepatnya. Badannya yang kecil dan berisi, dengan tinggi 160 sentimeter dan berat 90 kilogram, membuatnya tak terlalu merasa kedinginan.
Mungkin jika dia kurus kerempeng, tak berisi seperti tengkorak hidup kata orang-orang, mungkin sudah kedinginan dan sering pulang lebih awal dari gubuk.
Baru beberapa meter Sukatro meninggalkan gubuk itu, mungkin sekitar 100 meter, ia mendengar suara yang memanggilnya lirih. Bulu kuduknya merinding, apa mungkin itu setan alas yang biasa dibicarakan oleh warga? Atau mungkin ikan-ikan di sungai itu? Atau mungkin pohon pinus yang sekarat, terbelah menjadi dua akibat angin besar yang terjadi beberapa hari ini?
“Sukatro … Sukatro …. Temuilah aku di gubuk malam ini juga. Doamu untuk bertemu denganku akan kukabulkan. Kembalilah malam ini, wahai Sukatro.”
Sukatro berhenti melangkah. Ia menghadap ke langit, melihat daun-daun pinus bergoyang dengan damai. Memang, sewaktu beribadah tadi ia berdoa agar dirinya bisa dipertemukan dengan Tuhan. Secepat inikah doaku dikabulkan?
“Apakah Kau janji kepada hamba-Mu ini? Apakah Kau tidak akan mengingkarinya?,” tanya Sukatro dalam hati.
“Aku tidak akan pernah mengingkari janji kepada umatku sendiri. Kembalilah ke gubuk tadi, Sukatro. Aku akan menjemputmu,”.
Sukatro mengangguk, masih tidak percaya apa yang sudah ia dengar. Apakah benar itu Tuhan, atau malaikat, atau setan alas, ia tetap mengiyakan.
Jika memang nantinya setan alas yang berbicara, ia akan memenggal kepala setan alas itu. Persetan, memang setan, dengan setan alas—yang katanya berwujud mengerikan, berbadan besar dengan bulunya yang lebat, matanya merah melotot, tangan dan kakinya yang besar dengan kuku yang panjangnya dua meter—yang disebut genderuwo oleh warga itu. Yang jelas, ia akan datang malam ini untuk memenuhi janjinya.
***
Suara teriakan-teriakan memborbardir, memecah keheningan malam itu. Sumpah serapah dan kata-kata kutukan terdengar begitu sangat jelas; dasar anak pelacur, anak haram, anak terkutuk, orang kafir, bisu biadab, kau pencuri, kau pasti akan masuk neraka.
“Mau ke mana kau, Sukatro?!”
Suara paling keras itu terdengar tidak asing bagi Sukatro. Tidak salah lagi, itu suara pak Kaji. Seperti lolongan anjing, batinnya.
Sukatro memberhentikan langkahnya, membalikkan badannya lalu menatap pak Kaji beserta para warga yang sedang mengejarnya.
“Tuhan telah menungguku di sana. Dia berjanji akan menjemputku malam ini. Maka dari itu, aku juga harus menepati janjiku untuk bertemu dengan-Nya di tengah hutan gunung Jaran ini,”. Jari telunjuk Sukatro mengarah ke hutan gelap itu.
Pak Kaji beserta para warga mendadak kaku, diam di tempat. Mereka saling menatap satu sama lain, tak percaya apa yang sudah mereka dengar tadi.
Sukatro, pemuda yang sedari kecil sudah didiagnosa sebagai orang bisu, tiba-tiba saja berbicara. Sukatro, yang tadi masih terlihat di hadapan mereka, sudah hilang ditelan gelapnya hutan gunung Jaran itu.
***
“Amin ….”
Semua orang bergegas membubarkan diri, meninggalkan tanah kuburan desa. Hanya juru kunci dan penggali kubur, pak Dakoh dan pak Badri yang tetap duduk di pinggir salah satu kuburan baru itu.
“Asal kau tahu, Bad, Sukatro memang tidak pernah bersuara lewat mulutnya. Akan tetapi, suara batinnya lebih keras dan lebih lembut dari semua orang di desa ini.”
Pak Dakoh bangkit dari duduknya, berdiri tegak dengan kedua tangan menengadah ke atas.
“Mari kita benar-benar mendoakannya, seperti Sukatro yang selalu mendoakan kita semua saat ia sedang duduk di halaman rumahnya, seperti ia mendoakan kita agar diberi ampunan oleh Tuhan Allah atas semua dosa yang kita lakukan, seperti pengorbanan yang ia minta agar semua dosa orang di desa ini dipanggul oleh dirinya seorang. Mari doakan dengan benar, tidak seperti doa palsu orang-orang desa tadi, yang dulu selalu menyumpahi dan mengutuk Sukatro dengan mengatasnamakan agama, yang bahkan agama mana pun sejatinya tidak mengajarkan hal buruk itu. Dan aku yakin, Sukatro sudah memaafkan segala bentuk fitnah yang sudah ia alami.”
Pak Badri pun berdiri, ikut menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tangisannya mulai mengalir di kedua pipinya yang sudah keriput karena teringat saat pertama kali ia menemukan jasad Sukatro terbaring kaku di pinggir sungai di dalam hutan gunung Jaran itu.
“Ya, aku pernah mendengarnya juga, Dakoh. Pernah suatu ketika Sukatro berjalan melewati kuburan ini dan menyapaku dengan senyuman lebarnya saat diriku sedang duduk beristirahat di bawah pohon beringin ini. Dia tidak mengatakan apa pun.
“Namun aku menangkap suara lembut yang begitu menenangkan hati saat menatap matanya. ‘Tuhan, lapangkanlah hati pak Badri. Beri ia kesabaran sejati. Maafkanlah istrinya beserta selingkuhannya, yaitu pak Kaji. Masukkanlah ia ke dalam surga untuk orang-orang yang sabar terhadap ujian dari-Mu’, seperti itulah yang kudengar. Ia lalu membungkuk sebagai tanda permisi dan pergi ke arah hutan.”
Pak Badri segera mengusap air matanya. Ia lalu memandang ke arah kuburan Sukatro dan mengangguk dengan pelan.
“Ya, Dakoh. Aku setuju. Mari kita doakan Sukatro dengan benar.”