Menuju Sehat dalam Satu Sentuhan

0
391

Pandemi Covid-19 sungguh membuat banyak orang geleng kepala. Bagaimana tidak, penyakit yang muncul mendadak dan masif di seluruh dunia. Kemunculannya di tengah era digitalisasi ini diikuti dengan cepatnya laju penyebaran misinformasi yang menghebohkan. Bidang kesehatan pun tidak luput dari arus misinformasi yang marak ini.

Misinformasi yang marak ini menyebabkan berbagai dampak, dimulai dari banyaknya orang yang mengepul minuman dari merk tertentu yang diharapkan dapat menyembuhkan COVID-19. Sebagian masyarakat enggan menerima vaksin, bahkan yang paling fatal adalah masyarakat tidak percaya terhadap keberadaan Covid-19. Hal itulah yang mengusik  Jason Christianto Putra (23), mahasiswa kedokteran Zhejiang University, Tiongkok.

Dunia kedokteran sudah tidak asing lagi bagi Jason karena  ayahnya berprofesi sebagai dokter, ia sering terpapar berbagai aspek bidang kedokteran sejak dini. “Dari kecil mulai kenal mengenai lingkupnya seperti apa, kehidupannya bagaimana, ketemu pasien seperti apa. Promosi kesehatan masyarakat baiknya bagaimana, dan lain sebagainya,” tutur Jason, Oktober 2021 lalu.

Keterlibatan Jason dalam dunia kedokteran tidak sebatas interaksi dengan ayahnya saja. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan bakti sosial. “Sebenarnya dulu hanya nimbrung karena dipaksa ikut. Namun akhirnya di sana terpapar bagaimana caranya menyampaikan edukasi kesehatan pada masyarakat dan prinsip-prinsipnya,” ujarnya. Pengalaman-pengalaman itu dianggapnya sangat berharga, apalagi mengingat pada saat itu masih siswa SMP.

­­­­Maraknya hoaks dan misinformasi dalam bidang kesehatan pada media sosial membuat Jason, mahasiswa kedokteran asal Jakarta ini geram. “Sejak maraknya media sosial dan teknologi, laju disinformasi dalam bidang kesehatan juga menjadi semakin marak. Laju penyebaran informasi berbeda dibandingkan zaman orang tuaku dulu. Begitu juga dengan laju disinformasi, gampang banget nyebar di mana-mana” katanya.

“Sampai pertengahan 2020, aku merasa responnya jelek dan akhirnya enggak kesebar. merasa sepertinya ada langkah yang salah,” kata pemuda lulusan SMA Kanisius Jakarta tersebut.

Masalah disinformasi ini sudah menjadi makanan sehari-harinya sejak mengawali pendidikan kedokteran di Zhejiang University, Tiongkok. Menurut dia, sejak akhir tahun 2016 ia sudah merasakan adanya masalah dalam masyarakat Indonesia, namun belum tahu bagaimana cara yang terbaik untuk menyikapinya.

“Aku udah mencoba berbagai cara, mulai dari membalas setiap hoaks di dalam grup yang aku tergabung, yang terjadi malah perdebatan. Kemudian aku mencoba membuat broadcast balasan mengenai hoaks tadi, namun tetap enggak dipercaya, kurang kredibel,” kata Jason.

Walaupun menghadapi banyak oposisi, Jason tidak patah arang. Dengan mengandalkan akun media sosialnya, ia kembali berusaha meluruskan miskonsepsi-miskonsepsi yang ia temukan. Ia pun mulai membuat konten edukasi kesehatan melalui akun Instagram pribadinya. “Waktu itu ada sekitar beberapa belas pembahasan yang aku tulis, kebanyakan dalam bahasa Inggris. Aku nulis semua itu karena senang dan tertarik nulis sekaligus juga untuk melawan misinformasi. Aku coba trial and error terus-terusan, hampir selama satu setengah tahun dari akhir 2018,”

Namun, seiring dengan berjalannya usaha edukasi yang dirintis di akun pribadinya, ia merasa belum puas terhadap respon yang ia terima dan dampak yang ia rasakan. “Sampai pertengahan 2020, aku merasa responnya jelek dan akhirnya enggak kesebar. Merasa sepertinya ada langkah yang salah,” kata pemuda lulusan SMA Kanisius Jakarta tersebut. Ia pun mengambil keputusan untuk berhenti menghasilkan konten di akunnya dan berkontemplasi mempersiapkan langkah selanjutnya dengan harapan bisa menghasilkan sesuatu yang berdampak pada masyarakat.

“Hal yang pertama aku sadari adalah kamu gak bisa menjadi lone wolf dalam pertempuran seperti ini. Kamu harus membentuk kawanan atau pack agar bisa melawan musuh yang besar, seperti hoaks-hoaks tadi. Aku berpikir ini perlu dibentuk suatu platform khusus,” ujar Jason ketika ditanya mengenai pelajaran dari perjuangannya melalui akun pribadinya.

Di pertengahan tahun 2020, Jason mencoba berdiskusi dengan beberapa orang temannya yang juga menempuh studi di bidang Kedokteran dari berbagai universitas. Dari hasil diskusi itu, ia menemukan teman-teman yang satu visi dan bersama-sama memutuskan untuk membentuk apa yang kini dikenal dengan nama Sycomora.

Akun Sycomora pertama kali didirikan pada platform Instagram pada 1 Oktober 2020. “Tujuan utama pendirian Sycomora untuk meluruskan informasi dengan cara yang tidak biasa. Sekarang ini kalau mencoba meluruskan informasi kesan dari orang sering kali negatif seperti, “sok tau banget lu, cara lu counternya gitu banget, cara menyajikan artikelnya kok kesannya gue mesti percaya banget sama lu,” dan sebagainya,” jelas Jason tentang  latar belakang pembentukan Sycomora.

Ia menambahkan, Sycomora berusaha menepis tudingan-tudingan tadi dengan membuat sistem pembuatan artikel yang lebih baik. Jason menyebut pihaknya mencoba membangun kredibilitas lebih dulu. Di masa awal berdirinya, Jason dan kawan-kawan mencoba mengupas masalah sehari-hari yang relatable bagi banyak orang secara ringan.

Konten-konten yang dihasilkan Sycomora mendapatkan traksi yang cukup tinggi. Misalnya seperti bahasan mereka mengenai konsumsi vitamin c yang mereka tulis di akun  Instagram mendapat perhatian dari sekitar 14.000 orang.

Jason Christianto Putra dan para volunteer Sycomora yang berusaha membuat konten di Instagram melalui platform Sycomora untuk meluruskan miskonsepsi tentang kesehatan yang beredar di masyarakat.

Setelah tiga bulan berjalan, yang ia dan para koleganya anggap sebagai trial run, Jason dan kawan-kawannya berkumpul untuk merumuskan roadmap dari Sycomora, membentuk visi, misi, motto, serta menyusun target ke depan. “Visi dari Sycomora adalah Sehat itu Mudah. Jadi, dengan cara apapun Sycomora akan berusaha mencapai visi itu,” katanya.

Jason menyampaikan, Sycomora memiliki dua misi utama. “Misi yang pertama itu adalah sebagai media, (berharap) Sycomora sebagai media yang dipercaya dan akuntabel, menjadi sumber informasi kesehatan dan gaya hidup yang akurat.  Khususnya bagi kalangan milenial dan Gen Z,” kata Jason. Dalam usahanya mengedukasi segmen usia ini, Sycomora menyadari situasi yang ada. “Segmen usia ini butuh artikel yang menarik tapi juga mudah dibaca, karena kecenderungan minat baca masyarakat generasi ini masih rendah. Lebih demen lihat infografis, video, reels, dan sebagainya,” tambahnya.

“Misi yang kedua adalah misi pengembangan aplikasi, jadi saat ini Sycomora sedang menyusun aplikasi yang akan membantu mencapai visi tadi: sehat itu mudah, semakin mudah dengan aplikasi Sycomora nantinya”, ujar Jason.

Motto yang digaungkan Sycomora diangkat dari bahasa Latin yaitu, “Mens sana in corpore sano” yang berarti jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat. Motto ini dianggap Jason dan kawan-kawan sebagai pilihan tepat untuk mendampingi visi dan misi Sycomora. “Dibutuhkan adanya keseimbangan antara mind dan body, mengintegrasikannya menjadi suatu kesatuan ‘mindbody’, dengan harapan audiens bisa mendapatkan apa yang selayaknya mereka dapatkan,” tutur Jason.

Sederhanakan info

Traksi yang didapat oleh akun Sycomora tidak lepas dari kepiawaian mereka dalam menyampaikan edukasi kesehatan sesederhana mungkin. “Sejak awal kami berusaha membawakan topik-topik yang menjadi kebiasaan sehari-hari. Hal-hal yang menjadi bagian keseharian kita yang mungkin kita sering tidak sadari saking seringnya dilakukan,” kata Jason mengenai pemilihan topik yang diangkat.

“Biasanya selalu mencoba berpikir mengenai apa yang sehari-hari kita kerjakan. Sebagai contoh mungkin artikel mengenai membersihkan telinga. Membersihkan telinga dengan cotton bud mungkin merupakan kebiasaan bagi banyak orang, namun tidak semua kepikiran mengenai caranya, keamanannya, ataupun efek sampingnya. Dari situlah kami mulai mencoba mengumpulkan informasi dan mempelajarinya lebih dalam lagi,” ujarnya.

Dalam menyajikan materinya, Sycomora berusaha menyederhanakan informasi menjadi sesederhana mungkin. Informasi dikemas dalam berbagai bentuk yang mampu menarik perhatian dan mempertahankan perhatian itu. “Kami berusaha membuatnya segampang mungkin agar masyarakat yang awalnya kurang tertarik membaca dan enggak mau tahu jadi mau tahu, dengan harapan akhirnya menjadi tahu. Penyederhanaan ini kami optimalkan agar orang yang membaca sekilas saja dapat paham,” ujar Jason.

Sycomora menyadari bahwa interaksi dengan audiens merupakan kunci penting untuk menghasilkan edukasi yang berdampak di masyarakat. Interaksi dengan audiens dinilai sebagai bagian untuk tetap relevan dengan isu-isu yang mewarnai kehidupan di masyarakat. “Sycomora dibuat bukan dari para anggota untuk semua, melainkan dari semua, oleh Sycomora dan untuk semua. Ada semacam funneling disana, semua orang bisa berkontribusi untuk menyampaikan pertanyaan, mengembangkan topik, dan sebagainya. Hasil dari funneling ini yang akan diproses dan ditampilkan untuk semua orang,” kata Jason.

Interaksi yang dilakukan Sycomora dengan para audiensnya dinilai berdampak positif oleh Jason, khususnya dengan adanya maskot yang dikenal dengan nama Momo. Sejak ada Momo, interaksi dengan audiens semakin meningkat, komentar yang muncul juga bertambah. Relasi dan trust yang terbangun antara Momo dan audiens cukup solid, melihat berdatangannya curhat sahabat Momo mengenai masalah-masalah yang mereka punya, baik itu medis maupun psikologis.

Tingginya value yang diletakkan Sycomora dalam menjalin relasi dengan audiensnya dinilai penting oleh Jason dan tim akan keberlangsungan platform mereka. Mengikuti dogma Kevin Kelly mengenai 1.000 true fans, Jason berpendapat, “Follower-follower loyal yang sangat melekat sama kita sampai ngikutin kita banget itulah yang membuat Sycomora terus berkembang,” katanya.

Memandang ke depan

Pada usia setahun, Sycomora kini sudah memiliki 12,1 ribu followers pada akun Instagramnya dan terus bertambah. Capaian ini tidak membuat Sycomora berpuas diri begitu saja, namun semakin membakar motivasi Jason dan 23 orang volunteer lainnya. “Di awal dulu cukup struggle sih karena sumber daya kita masih terbatas dengan hanya ada empat orang. Semua serba dikerjain sendiri, baik dari nulis script, membuat layout, sampai design semuanya digarap,” ujar Jason mengenai perjuangan Sycomora di awal.

Ia menjelaskan kalau hanya mengandalkan jumlah orang yang ada di awal bisa kolaps bila satu saja tumbang. Pernah ada pengalaman, awalnya senang mengerjakan semua ini karena memang tertarik, tapi lama-lama menjadi overwork. Rapat bisa berjam-jam, tidur selalu di atas jam 1 pagi karena dikebut artikel, dan sebagainya. Tapi dengan adanya visi, misi, dan target yang dibuat pada Desember tahun lalu, akhirnya para pendiri bisa memiliki pandangan ke depan yang sama dan bisa memulai ekspansi.

Sycomora kini terdiri dari 24 orang volunteer yang berasal dari berbagai universitas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bila awalnya hanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa Kedokteran, kini volunteer Sycomora juga sudah mencakup mahasiswa dari bidang studi lain seperti Teknik dan Ilmu Komputer.

Maraknya platform yang bergerak mengedukasi masyarakat tidak membuat Sycomora menjadi ciut untuk terus menjalankan visi-misinya. Jason dkk. tidak memandang usaha yang dilakukan berbagai pihak untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat sebagai zero-sum game, melainkan sebagai sebuah positive-sum game.

“Yang membuat Sycomora berbeda adalah cara dalam mengolah artikel. Sycomora ini kan independen dalam artian kami tidak mendukung brand apapun. Memang kami ada endorse brand, namun itu dilakukan secara objektif. Dalam artian kalau lu jelek ya jelek, kalo lu bagus ya bagus dan akan kami naikkan. Prinsip yang sama dipegang juga untuk pembuatan artikel. Kami tidak memiliki conflict of interest,” ujar Jason.

Objektivitas adalah komponen vital yang dipegang erat oleh Sycomora. “Sycomora hanya menampilkan apa yang terbukti secara ilmiah per waktu itu. Bila misalnya di kemudian waktu muncul meta-analisis baru yang menyatakan sebaliknya mengenai tulisan kami, otomatis kami akan menyesuaikan dengan hal itu, kami akan take down dan membuat yang baru. Semua proses mengacu kepada Evidence Based Medicine, tidak hanya marketing semata,” kata Jason.

Ke depan, platform tersebut berusaha untuk tetap relevan dan berdampak pada masyarakat. Menurut Jason, dalam waktu dekat situs Sycomora akan segera dirilis. Selain dari aplikasi yang sedang disusun, pihaknya juga  menyiapkan berbagai platform yang diharapkan memudahkan audiens untuk menambah pemahaman mendalam mengenai kesehatan, karena Sycomora percaya dengan visinya: Sehat itu mudah.

Pendiri berharap, Sycomora dapat bertumbuh menjadi sumber kredibel yang besar seperti National Geographic versi kesehatan dan gaya hidup, dan memberikan layanan yang masyarakat butuhkan ke depannya, dengan memanfaatkan teknologi terkini.

Kevin Eliezer Ferdinandus, mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.