Waktu hujan sedang deras-derasnya, waktu pohon sedang merunduk rendah-rendahnya,
Kamu berdiri di depan pintu, berubah bentuk; dari kuning jadi biru, dari penuh jadi rata, dari beku jadi cair, dari lembut jadi membakar.
Katamu, “Aku ini bukan siapa-siapa”, seraya mengibaskan sayap lebar-lebar, kemudian bunga-bunga bermekaran, batang dan daunnya merambat membungkus kakimu, kelopak-kelopaknya jatuh dari pelupuk matamu. Tangismu wangi menggoda lebah, sepertinya aku juga lebah.
“Tapi aku tidak mau jadi lebah,” kataku.
Waktu hujan kian deras, waktu purnama membakar awan, waktu itu kopi-kopi dihinggapi lalat. Kopinya sudah dingin, aku menahan bicara, padahal sebenarnya aku mau lari keluar.
Harapanku cuman satu, semoga suatu saat nanti, aku tidak perlu duduk menghadap dirimu dikelilingi kopi yang dingin, menatap pelangi yang berganti-ganti. Dari satu spektrum ke yang lain.
Sepertinya Tuhan sedang baik hati, karena tak lama setelah itu, kita hanya dikelilingi beberapa cangkir kopi.
Tak ada lagi lalat, tapi lebah tetap tinggal. Lebah yang paling besar menyengatku, sengatannya seolah mengingatkanku bahwa di sini yang bukan siapa-siapa itu aku. Sengatan itu berbunyi setiap waktu, menundukkan mataku, kemudian berbisik ,“Ayolah, tahu diri.”
Tapi kadang, aku menghiraukan sengatan tersebut dan membiarkan mataku terbakar lebih hebat lagi di bawah siraman nyanyian bulan purnama yang senantiasa bertengger di atas sayapmu.
Katamu, “Aku ini bukan siapa-siapa,”. Aku tidak bisa menjawab.
Kataku, “Akulah yang seharusnya mengatakan itu,”. Tapi kamu mengangguk.
Kemudian, saat hujan telah sedikit mereda dan pohon-pohon telah tumbang, kamu meletakan salah satu cangkir kopi dan berdiri. Melangkah pergi dengan senyum sopan, membelakangi aku yang dikerumuni lebah.
Aku menyaksikanmu yang mulai kehilangan sayap, punggungmu menjauh semakin tegap di depan, sementara aku terduduk, berubah bentuk, karena terlalu banyak disengat.
Comments are closed.