Melihat Gerakan Komunitas Mahasiswa Peduli Kucing Liar Di Kampus

60
1624

Suatu hari saat pulang berkegiatan di sore hari, Shafira Ananda, mahasiswa Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran berjalan menyusuri jalanan di pinggiran Arboretum, Universitas Padjadjaran di Jatinangor, Jawa Barat. Tiba-tiba, Ia melihat seseorang melemparkan seekor kucing begitu saja ke dalam danau Arboretum. Dengan segera ia menyelamatkan kucing tersebut. Beruntung nyawa kucing tersebut masih dapat diselamatkan.

Shafira Ananda yang menjadi Leader Komunitas Sastranekochan yaitu perkumpulan mahasiswa Universitas Padjadjaran yang peduli kucing liar masih teringat kejadian nahas yang terjadi pada tahun 2019. Ia menduga  oknum yang melempar kucing tersebut adalah mahasiswa karena merangkul totebag dan buku. Setelah melihat kejadian itu, tanpa pikir panjang ia segera membantu kucing itu keluar dari danau dengan bantuan alat-alat seadanya.

Melihat buruknya perlakuan terhadap kucing, ia perlu ada edukasi bagi mahasiswa menyikapi kucing-kucing yang ada di Unpad Jatinangor.  Ia juga menekankan bahwa kucing bukan makhluk yang tidak seharusnya didiskriminasi.

“Jadi saya juga mau memberi edukasi, bukan sekitar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) saja kalau kucing itu bukan benda najis  dan enggak seharusnya kalian buang ke Arboretum. Kalau enggak suka sama kucing ya udah, tapi jangan berbuat jahat,” ujar Shafira ketika diwawancara melalui telepon pada akhir Mei 2021.

Mencari solusi terbaik

Kegiatan Komunitas sastranekochan bersama para kucing (foto: @satranekochan)

Sastranekochan dibentuk pada tahun 2018 untuk lingkungan FIB Unpad. Komunitas tersebut juga terikat dan berlatih bersama dengan para mahasiswa pecinta kucing lainnya,  seperti Kucing ITB dan Kucing Kitty Nangor.

Kevin Ezra Alsyafa, mahasiswa Program Studi Sastra Jepang  Unpad pun turut mendukung keberadaan Sastranekochan di fakultasnya. Dukungan terhadap komunitas itu, membuat ia terus terhubung dengan akun sosial media Sastranekochan. Kevin mengaku, unggahan tentang kegiatan anggota komunitas dan perilaku kucing-kucing membuat ia bisa melepas penat setelah mengikuti perkuliahan.

Ia juga mendukung komunitas ini karena bisa menambah wawasan baru mengenai kucing terutama yang ada di kampusnya. “Karena saya suka kucing dan kebetulan akun Sastranekochan itu fokus membantu kucing-kucing yang berada di fakultas saya. Itu membuat saya bisa lihat dan tahu kucing yang ada di fakultas,” jelas Kevin.

Satu hal yang menjadi PR bagi anggota komunitas adalah pihak kampus melarang  kucing liar ada di kampus, namun Shafira merespons larangan itu dengan tenang. Ia memilih jalan netral menyikapi kebijakan tersebut. Ia melihat dua sisi kemungkinan. Dari sisi positif, kampus mengeluarkan kebijakan tersebut karena ingin menyelamatkan kucing yang berkeliaran, tetapi di lain sisi ia juga menganggap ada alternatif lain yang dapat dilakukan kampus selain melakukan kebijakan tersebut.

“Mungkin kampus ingin bersih dari kucing. Saya juga enggak tahu tujuan awal dari kebijakan itu apa. Kalau pembersihan kucing dari kampus mungkin ingin mengurangi kecelakaan kucing. Misalnya, ada kucing suka tertabrak atau mengurangi bulu rontok kucing tersebar, tapi sebenarnya kalau kita rawat terus ya nggak akan rontok,” katanya menanggapi aturan itu.

Pahlawan kocheng

Sampai sekarang komunitas Sastranekochan tetap menjalankan aktifitasnya sebagai komunitas yang mengedukasi para penghuni kampus mengenai kucing di Unpad. Pandemi Covid-19 tak menghalangi Shafira dan teman-temannya untuk tetap melakukan gerakan tersebut, meskipun banyak hal menyangkut kesibukan sebagai mahasiswa juga perlu dilakukan. namun menurutnya rutinitas cukup berjalan baik.

“Kalau saat  pembelajaran tatap muka atau offline sama ketika daring (online) masih sama, paling ngasih makan kucing. Paling yang berbeda pas offline itu saya suka mandiin kucing kalau memang kotor seminggu sekali. Satu-satu (tempat) mandinya di fakultas kadang juga di kos saya sendiri. Kalau di fakultas, sih, airnya juga terbatas yah,” ujar Shafira.

Pada masa pandemi Covid-19, kampus ditutup karena pembelajaran dilakukan secara daring, sebagian besar mahasiswa pulang ke kampung halaman masing-masing. Meski demikian ada juga mahasiswa yang masih berada di kos. Menyadari kebutuhan atas kucing di kampus tak bisa ditebak, pengurus komunitas lalu membagi tugas ke para anggotanya. Ada bagian desain, administrasi, bendahara dan pahlawan kocheng. Tugas para pahlawan kocheng adalah segera merespon permintaan dari pengurus untuk membantu kucing yang sakit misalnya.

Sejak berdiri, anggota dan pengurus komunitas secara rutin sudah memberi makan, memandikan kucing sampai menolong kucing sakit dengan cara membantu membawanya ke klinik hewan dan membawa kucing melakukan operasi strerilisasi untuk membatasi kembang biak kucing liar di kampus. Semua kegiatan itu menurut Shafira, tentu saja membutuhkan biaya. Apalagi biaya steril seekor kucing ras per ekor di atas Rp 300 ribu, sementara untuk biaya kucing lokal biasanya sekitar Rp 100 ribu – Rp 200 ribu per ekor.

Dari sisi dana, ia menjelaskan untuk membeli makanan kucing, pada awalnya, para pecinta kucing yang menjadi anggota komunitas memberi dana. Ketika kebutuhan makin banyak  dan butuh dana lebih besar misalnya untuk membawa kucing berobat lalu  butuh opname, pengurus sering membuka kotak donasi dari para mahasiswa Unpad maupun warga luar Unpad.

Selama ini cara itu cukup membantu membiayai kebutuhan komunitas untuk mengurus kucing, tetapi Shafira dan kawan-kawan berencana akan membuat semacam sovenir untuk dijual. Hasil penjualan sepenuhnya untuk membiayai kebutuhan sekitar 40 kucing liar di Unpad.

Komunitas kucing UGM

Komunita kucing UGM sedang memberikan makan kepada kucing-kucing

Komunitas mahasiswa penyayang kucing liar juga ada di kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Damar Paramananda, Ketua Komunitas Kucing UGM menyatakan kepedulian  mahasiswa lain terhadap keberadaan kucing liar di kampus mendorong pembentukan komunitas. Awalnya, komunitas dibuat oleh mahasiswa dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM pada tahun 2017. Damar  yang mahasiswa Jurusan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM lalu ikut aktif dalam keanggotaan dan kegiatan komunitas tersebut.

“Saya  bergabung dengan mereka dan mengajak berkegiatan bersama seperti melakukan street feeding, sterilisasi dan penyelamatan kucing. Kan pada saat itu kondisi kucing  di kampus ada beberapa yang kurus dan penyakitan,” tutur Damar pada Mei 2021 lalu.

Ia mengakui seperti di kampus-kampus lain, ada pihak yang merasa terganggu oleh keberadaan kucing liar di kampus sampai menendang kucing-kucing liar di kampus “Sebelum ada komunitas  mahasiswa pecinta kucing, banyak mahasiswa UGM yang belum mengerti dan bisa menerima keberadaan kucing liar. Namun sejak ada kegiatan komunitas mereka menjadi teredukasi setelah melihat gerakan kami misalnya terhadap kucing liar itu,” jelas Damar.

Ia menambahkan kegiatan  mahasiswa anggota komunitas juga rutin memberi makan dan menyelamatkan kucing liar, pada akhirnya membuat mereka yang kurang suka kucing terdorong untuk lebih peduli dengan keberadaan kucing-kucing yang ada di kampus. Makin banyaknya mahasiswa peduli kepada kucing membuat anggota komunitas ikut bertambah. Bila pada awal berdiri baru ada enam mahasiswa di berbagai fakultas (disebut juga kluster dalam mengurus kucing), tetapi pada tahun ajaran baru 2020/2021 bertambah menjadi 202 mahasiswa.

Damar menyayangkan pandemi Korona membuat kegiatan rutin mereka seperti memberi makan kucing terhambat. Apalagi kampus ditutup dan sama seperti mahasiswa di kampus lain, sebagian besar dari mereka pulang ke kampungnya. “Jadi sekarang hanya bisa menitipkan makanan kucing ke satpam-satpam di setiap fakultas untuk memberikan makanan itu ke kucing di sana,” ujarnya.

Banyak donatur

Padahal sebelum pandemi, ia membagi tugas kepada para anggota karena kampus UGM memang luas. “Sebelum ada penambahan jumlah anggota, komunitas kami punya anggota 24 orang. Ada yang tugas di klaster soshum, klaster saintek, klaster agro, klaster sekolah vokasi,” kata Damar.  Menurut dia, cara itu ditempuh karena tidak mungkin  24 mahasiswa berjalan bareng-bareng mengelilingi kampus UGM. Pembagian tugas diambil supaya lebih efisien dengan pembagian empat klaster itu.

Pada awal  pandemi, ia sempat merasa bingung sebab banyak anggota komunitas pulang ke daerah masing-masing. Kemudian Yogyakarta sempat dilockdown. “Kami cuma berenam yang ada di Yogja. Nah kami sempat bingung tuh karena kekurangan sumber daya, tapi kami tetap konsisten melakukan street feeding. Hanya saja khusus kegiatan strelisasi kucing sempat berhenti, ” kata Damar menjelaskan kesulitannya. Kegiatan strelisasi berjalan kembali sejak Oktober 2020 lalu.

Untuk mendukung biaya pembelian makanan, operasi sterilisasi kucing dan lainnya, sebelum menjadi komunitas para pecinta kucing  patungan Rp 50 ribu setiap orang. Ketika komunitas sudah terbentuk ada iuran pendaftaran sebesar Rp 15 ribu per orang. Ke depan pengurus komunitas mahasiswa UGM pecinta kucing berencana mencari sumber pemasukan yang lain.

Divisi kewirausahaan dan divisi merchandise sudah dibentuk tetapi  belum berjalan karena kondisi pandemi. Menurut rencana para mahasiswa UGM itu  akan menjual totebag, kaos, stiker, gantungan kunci dan lainnya. Untuk sementara ini, biaya kegiatan mengurus kucing mendapat sokongan  donasi baik dari mahasiswa, dosen dan warga dari luar universitas.  Donasi mereka berupa uang, makanan kucing,  bahkan ada yang menyumbang makanan kucing sampai sekarung. Ada juga donatur menyumbang vitamin. Ternyata orang Indonesia memang penyayang binatang ya.

 

Fathur Rachman, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.