Senja adalah gadis tomboy yang baru saja lulus SMP. Ia dan ibunya akan pindah dari Jakarta ke Sumba untuk melanjutkan hidup dan meneruskan sekolah di sana. Ayah Senja adalah mantan tentara, tapi karena sekarang ayahnya sudah meninggal, rumah di komlek eks milik pemerintah yang dulu mereka tempati, kini tak bisa ditempati lagi. Karena itu, ibunya berencana membawa Senja tinggal di Sumba, di kampung halaman sang Ibu.
“Kamu kenapa, Senja. Diam saja dari tadi?,” tanya Swastamita, ibu dari Senja yang duduk di sampingnya pada kursi belakang mobil.
Senja tak menjawab pertanyaan ibunya. Ia hanya memandangi pemandangan laut dari kaca mobil yang perlahan membawanya semakin dekat dengan kampung halaman ibunya yang akrab disapa Mita itu.
“Jangan gitu, dong, Senja. Di Jakarta kita enggak punya keluarga lagi, Papah sudah meninggal, satu-satunya keluarga kita ada di Sumba.”
“Tapi kan kita tetap bisa tinggal di Jakarta, Mah. Aku enggak mau di sini, pedesaan kayak gini, aku pasti gak akan punya teman di sini.”
“Mamah janji, Senja.” Mita menggenggam tangan anaknya. “Setelah kita sampai dan kamu mulai terbiasa dengan Sumba, pasti kamu akan suka dengan tempat ini.”
Tiba-tiba mobil yang dikendarai Pak Bakri, sopir Senja diserempet oleh mobil pikap dari arah persimpangan. Bunyi klakson dari mobil pikap itu tak hentinya menyorot mobil yang dikendarai Pak Bakri, serta kata-kata umpatan yang keluar dari sopir mobil tersebut dan rekannya yang duduk di sampingnya. Lalu mereka menghadang dan turun menghampiri mobil Senja.
“Hati-hati kalau mengendarai, mentang-mentang mobil mewah!” ucap pengendara itu yang mencaci-maki Pak Bakri.
“Kami minta maaf, Pak. Kami tidak sengaja,” ucap bu Mita yang membuka jendela mobil.
“Lain kali hati-hati, Bu!”
“Iya, Pak. Kami minta maaf.”
“Tuh, lihat kan, Mah! Sudah jelas-jelas mereka yang salah, masa mereka yang marah. Aku gak suka tempat ini, Mah,” ucap Senja memasang wajah cemberut.
“Sudah, Senja, kita salah juga tadi enggak lihat kiri-kanan dulu. Lagipula kamu tidak bisa menilai suatu tempat hanya dari satu atau dua orang saja. Karena suatu tempat itu pasti dihuni oleh orang dengan berbagai macam karakter yang pasti salah satunya ada yang membuatmu terkesan.”
Senja hanya diam saja mendengarkan ibunya berkata seperti itu dengan masih memasang wajah cemberut.
Setelah melewati jalanan yang masih tanah dan sedikit berbatuan, Senja akhirnya sampai di rumah neneknya, Kalis. Nama yang terlalu indah mungkin untuk seorang wanita lanjut usia, tapi memang seperti itulah beliau. Bersih, putih, penyayang, seperti namanya. Ia hanya tinggal berdua dengan ditemani bi Asih sebagai pengurus rumah.
Kalis menyambut hangat anak dan cucunya itu di depan pintu cokelat kayu jati, “Cucu Nenek sudah besar ternyata!” Dicium kening Senja dan disusul oleh pelukan dari neneknya.
“Ibu sehat-sehat saja, ‘kan?” tanya Mita sembari mencium tangan dan memeluk Ibunya.
“Memangnya tidak lihat, badan Ibu bugar begini?” ucap nek Kalis berkelakar. Senja dan ibunya pun tertawa meningkahi seorang wanita lansia itu.
“Kalau begitu kalian istirahat dulu, pasti lelah setelah perjalanan jauh ke sini. Bi Asih sudah menyiapkan kamar untuk kalian, kalau ada perlu apa-apa tinggal bilang bi Asih saja, ya,” tegas Nek Kalis.
Di pantai yang tak jauh dari rumah nenek Senja, seorang anak lelaki yang sebatang kara berusia delapan tahun selalu mencari kerang di bibir pantai. Lembayung namanya, ia biasa mencari kerang dan menjualnya di pasar. Hasil dari penjualan kerangnya ia gunakan untuk makan sehari-hari, dan kalau ada lebih selalu ia sempatkan untuk membeli buku.
Lembayung sangat menikmati pagi harinya menunggu mobil yang bertuliskan ‘Perpustakaan Keliling’ yang berada di bawah pohon rindang tempat biasa mobil itu berhenti. Ketika sudah waktunya mobil itu keliling lagi, ia segera ke bibir pantai untuk mencari kerang dan selepas senja ia pergi menjualnya lalu pulang.
“Ayo, bangun, Senja! Ini hari pertama kamu sekolah di sini, lho!” ucap Mita sembari membuka gorden kamar.
“Ah, Mamah, aku masih ngantuk banget.”
“Ayo, Senja, bangun! Ini hari pertama kamu juga untuk dapat teman baru di sini!” Ditarik Senja dari tidur oleh ibunya.
Setelah Senja mandi, sarapan, dan rapi-rapi, ia berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda milik Neneknya. Karena akses jalanan sungguh terbatas, mau tak mau Senja harus menempuh jarak ke sekolahnya menggunakan sepeda.
Di sekolah yang tak begitu bagus itu Senja mulai masuk melewati gerbang yang terlihat sudah karatan. Di dalam sekolah, lapangan peluran yang nampak banyak retak dan berlubang-lubang. Serta cat pada dinding-dinding sekolah pun sudah tak terang lagi warnanya.
Setelah lonceng berbunyi tanda untuk para murid masuk kelas memulai pelajaran jam pertama. Senja masuk ke kelasnya sambil menghitung berapa murid dan menimang berapa bangku dan meja yang masih layak pakai.
Pelajaran berlangsung dengan normal pada umumnya, Senja yang murid baru memperkenalkan diri di depan kepada teman sekelasnya. Mungkin yang membedakan adalah moralnya. Karena di sini, kalau murid bersalah, ya jelas bersalah, tidak untuk dibenarkan, begitupun sebaliknya berlaku terhadap guru.
“Gimana hari pertama sekolahnya?” tanya Mita yang merapikan tas dan seragam Senja yang berserakan.
“Ya … gimana, Mah. Seperti normalnya pertama masuk sekolah, masih canggung,” ucap Senja yang merebahkan badannya di atas kasur.
“Tapi ada yang membuatku merasa kasihan sekaligus takjub, Mah,” lanjut Senja.
“Kasihannya?”
“Mereka sekolah dengan ala kadarnya, Mah. Fasilitas sekolah pun sudah banyak yang rusak, bangku dan meja tak sedikit yang keropos.”
“Lalu takjubnya?”
“Ya … yang aku lihat dari raut wajah mereka, tak ada satupun yang bermalas-malasan. Justru mereka sangat ceria dan semangat belajar walaupun keadaan sekolah seperti itu.” Senja berhenti, lalu menatap langit-langit rumah dengan satu tarikan napas yang panjang. “Aku jadi malu karena sering mengeluh, Mah.”
Mita tersenyum mendengar perkataan Senja, “Akhirnya kamu belajar juga di sini.” Senja terdiam dengan masih menatap langit-langit rumah. Lalu tiba-tiba bangun dan memandang ke arah jendela.
“Aku mau jalan-jalan ke pantai, ya, Mah,” ucap Senja yang beranjak dari kasur.
“Enggak mau makan dulu?”
“Nanti aja, aku enggak laper.”
“Ya, sudah. Hati-hati, ya. Sebelum maghrib pulang.” Dicium kening Senja oleh Ibunya.
“Oke. Bye, Mamah!”
Senja berdiri di bibir pantai dan menatap ke arah cakrawala. Diterpa angin yang bersiut entah dari mana, serta suara gemuruh ombak yang menabrak karang dan bebatuan yang di sana. Senja mulai menuliskan sebuah puisi di buku kecil yang ia bawa dengan sebatang pensil yang ia genggam.
Kau lukis awan adalah aku
Angin berkata ingin tiadakan
Tapi belum sempat kau selesaikan
Jemarimu sudah kehilangan
Kau gores sekali lagi, tuangkan tinta-tinta
Awan putih perlahan membesar
Tapi kanvas tak mengenal rasa
Akhirnya kau kehilangan selamanya
Setelah senja menyelesaikan bait terakhir puisinya, ia melihat seorang anak lelaki yang sedang memasukkan kerang ke dalam ember, Senja pun menghampirinya.
“Hai, kamu sedang apa?”
Anak lelaki itu hanya menatap Senja, tak menjawab pertanyaannya, dan tetap melanjutkan tugasnya. Senja seketika bingung harus berbuat apa, tapi ia tak habis akal. Senja merogoh sakunya.
“Kamu mau cokelat?” ucap Senja yang menyodorkan sebatang cokelat kepada anak lelaki itu.
Lembayung menatap lurus jauh ke arah cakrawala dengan tatapan kosong, “Mereka sudah meninggal, Kak.”
Anak lelaki itu mengambilnya dan mulai membuka bungkus cokelat itu. Setelah terbuka ia memakannya. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya ia sangat senang memakan cokelat itu.
“Gimana? Enak, ‘kan?” tanya Senja dengan senyum yang tulus.
“Hmm!” jawab anak lelaki itu yang masih menikmati cokelatnya sembari tersenyum.
“Nama aku Senja, aku baru pindah ke sini. Nama kamu siapa?”
“Nama aku Lembayung. Kak Senja bisa panggil aku Bayung.”
“Oh, Bayung. Kamu sebenarnya sedang apa?”
“Aku sedang mencari kerang untuk kujual, Kak.”
“Kamu kenapa mencari kerang untuk dijual, memangnya kamu tidak sekolah?” tanya Senja mengernyitkan dahi. Lembayung tertunduk mendengar pertanyaan Senja.
“Tidak, Kak. Aku tidak mempunyai biaya untuk sekolah.”
“Memangnya orang tua kamu?”
Lembayung menatap lurus jauh ke arah cakrawala dengan tatapan kosong, “Mereka sudah meninggal, Kak.”
Senja tercenung mendengar jawaban Lembayung. Lalu suasana menjadi sunyi, yang terdengar hanya desir angin dan buih ombak. Lembayung melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kerang, dan Senja memandangi luasnya ujung laut. Lalu Senja memperhatikan Lembayung yang sedang mencari kerang. Senja melihat buku yang sedikit mengintip dari dalam tas Lembayung yang terbuka tipis.
“Bayung!” panggil Senja.
“Iya, Kak Senja?”
“Kamu bawa buku apa di tas kamu?” tanya Senja sembari menunjuk ke arah tas Lembayung.
Lembayung menoleh ke tasnya, “Oh, ini! Kak Senja mau lihat?” Dikeluarkan buku itu dari tasnya dan disodorkan ke arah Senja.
Senja menatap buku itu yang berjudul ‘Pengalaman Huckleberry Finn’. Buku ini adalah karangan Mark Twain, yang diterjemahkan oleh Saadah Alim dari buku berbahasa Inggris The Adventures of Huckleberry Finn.
“Buku ini bercerita tentang apa, Bayung?” tanya senja sembari membolak-balik buku itu.
“Itu bercerita tentang seorang anak gelandangan bernama Huckleberry Finn yang hidup sebatang kara, Kak.” Senja terdiam mengetahui tentang buku itu. Ia ingat ketika kecil pernah dibacakan cerita itu oleh ayahnya. Karena cerita itu memang sangat menyedihkan, seorang anak yang harus bertahan hidup tanpa orang tua. Dan sekarang Senja mengingat kembali saat mengetahui tentang Lembayung.
“Bayung, kamu mau enggak main ke rumahku?”
“Main ke rumah Kak Senja?”
“Iya, Bayung. Tempatnya tidak jauh dari pantai ini.”
“Memangnya tidak apa, Kak?”
“Tidak apa, Bayung. Ada banyak buku di rumahku, kamu bisa membacanya dan kalau kamu mau, kamu boleh membawanya.”
“Benarkah, Kak Senja?” ucap Lembayung yang terlihat berbinar-binar matanya.
“Benar, Bayung! Besok, setelah aku pulang sekolah, kita bertemu di sini, ya. Lalu kita ke rumahku.”
“Hmm!” jawab Lembayung menggangguk dengan wajah bahagia.
Lalu Senja bercerita kepada Ibunya tentang Lembayung. Ibu Senja terlihat senang karena ia berhasil menemukan teman baru di sini. Keesokan harinya, seperti yang sudah dijanjikan, Senja mengajak Lembayung ke rumahnya.
“Hai, Bayung!” ucap Senja yang melambaikan tangan.
Bayung yang sedang berdiri menunggu Senja sembari memandangi cakrawala menoleh ke arah Senja, “Hai, Kak Senja!”
“Maaf, ya. Kamu sudah lama nunggu di sini, ya?”
“Enggak, Kak. Lagipula aku menunggunya sambil mencari kerang.”
“Ya, sudah. Naik, Bayung!” Lembayung melangkahkan kaki untuk duduk di jok belakang sepeda Senja.
Mereka berboncengan dengan harmonis seperti seorang kakak beradik yang hendak pulang ke rumah setelah penat bermain seharian. Tapi sayangnya, Lembayung tak bisa merasakan indahnya saat-saat bermain di masa kecil. Dan hari ini terlihat raut wajahnya yang begitu ceria ketika di bonceng sepeda oleh Senja.
Akhirnya mereka sampai di depan rumah Senja. Lembayung yang berdiri di depan pintu terdiam memandangi sekeliling rumah itu.
Senja perlahan membuka pintu dan memanggil ibunya, “Mah, aku pulang,” teriaknya.
Senja menoleh ke belakang melihat Lembayung masih diam saja di depan pintu, “Ayo, Bayung. Masuk sini!” Lembayung yang ragu-ragu perlahan masuk mengikuti langkah Senja.
“Mah, ini Lembayung yang aku ceritakan kemarin, dia gemar sekali membaca buku, Mah. Tidak apa kan kalau Lembayung aku ajak ke sini untuk membaca buku?”
“Tidak apa, Senja. Mamah senang kamu mendapatkan teman di sini.” Senja dan Lembayung pun tersenyum.
“Ya, sudah. Sana ajak masuk Bayung! Nanti kalau sudah membaca bukunya, kita makan bersama di sini, ya, Bayung,” sambungnya.
“I-iya …,” jawab Lembayung ragu-ragu.
“Kamu juga bisa panggil saya Mamah kalau kamu mau,” ucap ibu Senja yang mengelus kepala Lembayung.
“I-iya … Mah,” jawab Lembayung dengan senyum kecilnya yang tampak bahagia.
Senja akhirnya mendapatkan teman pertamanya di Sumba. Dan Lembayung pun seperti mendapatkan keluarga setelah sekian lamanya hidup sebatang kara.
Comments are closed.