Akhir-akhir ini saya seringkali menemukan beberapa postingan di Twitter yang membuat hati saya agak sedikit terusik, khususnya terkait kegiatan pembelajaran siswa maupun mahasiswa.
Saya pernah melihat salah satu pengguna Twitter mengunggah foto penugasan bagi murid milik orang tuanya yang berprofesi sebagai guru agama Islam kelas 5 SD. Para muridnya diminta untuk meringkas salah satu halaman di buku pelajaran, namun ada salah satu murid yang terbukti mengerjakan tugas tersebut menggunakan bantuan bot OCR (optical character recognition) di Telegram.
Bagi yang belum tahu, bot OCR ini berfungsi dengan cara memindai kata-kata yang terdapat di suatu gambar atau buku yang telah difoto sebelumnya, kemudian bot bekerja agar kata-kata tersebut dapat disalin ke template latar yang sudah ada.
Template latar yang tersedia pun beragam, misalnya seperti kertas folio bergaris, kertas HVS polos yang seolah-olah difoto di atas meja, ada pula model kertas binder berwarna. Bentuk font tulisan pun dapat dipilih sesuka hati, baik font yang persis seperti tulisan tangan maupun font yang biasa ditemui di Word.
Tugas yang seharusnya ia kerjakan sendiri dengan tulisan tangan tersebut sangat jelas dikerjakan via bot OCR, sebab tulisan-tulisan yang ada terlihat aneh dan tidak padu. Beberapa kata nampak dipindai dari tulisan dalam bahasa Arab, namun karena bot tidak mendukung OCR bahasa Arab maka tulisan tersebut tidak terbaca. Bahkan menjadi acak-acakan.
Pertanyaan terbesar kita saat ini, apakah kegiatan pembelajaran di tengah pandemi akan menciptakan generasi-generasi yang tidak paham akan esensi pembelajaran sesungguhnya? Apakah mereka akan tumbuh dan dimanjakan oleh teknologi semata?
Teknologi mengubah segalanya
Sekitar tiga tahun lalu salah satu dosen saya pernah berkata, bahwa cepat atau lambat, di masa depan sistem pendidikan di Indonesia maupun dunia harus berubah. Dari sistem pembelajaran secara fisik menjadi sistem yang sepenuhnya terintegrasi dengan dunia virtual.
Konsep pembelajaran virtual ini mengutamakan kemudahan dari sisi pengajar maupun murid yang tidak perlu datang ke sekolah. Pengajar cukup memberikan materi melalui e-book dan video pembelajaran, dan murid tinggal mempelajari serta mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan di rumah.
Namun, sampai detik ini saya masih tidak menyangka bahwa sistem pembelajaran virtual akan datang dan berkembang secepat ini, walau dalam kondisi terpaksa sebagai akibat penyebaran virus Covid-19. Pandemi benar-benar mengubah aspek kehidupan manusia dari segi apapun, khususnya dalam kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran virtual mendorong para orang tua untuk memfasilitasi kebutuhan primer anaknya agar dapat bersekolah dan berkuliah dengan baik, seperti telepon pintar, koneksi internet rumahan, dan juga komputer atau laptop.
Para orang tua pun juga dituntut memahami segala fitur fundamental yang diperlukan oleh anaknya. Setidaknya untuk mencegah anaknya agar tidak kebablasan bermain gim, sehingga melupakan tugas sekolah.
Sulit mengejar
Sudah seperti fenomena umum yang memperlihatkan pengajar seringkali dianggap gaptek dan tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang digunakan oleh murid yang diajarnya. Tentu fenomena seperti itu semakin terlihat di tengah pandemi yang menuntut para pengajar mengajar secara daring.
Beberapa dosen saya sering kebingungan untuk mengerjakan hal-hal yang sebenarnya cukup sederhana bagi para mahasiswanya. Misalnya membuat ruangan meeting via Zoom atau Google Meet, menggunakan aplikasi e-learning, dan mengadakan kuis melalui Kahoot.
Lain halnya di sekolah dasar. Selain para guru diharuskan mengerti cara mengoperasikan berbagai aplikasi pembelajaran, mereka juga memiliki tanggung jawab dalam mengajari baik murid maupun orang tuanya.
Orang tua pun cenderung lebih berperan dalam mengerjakan tugas-tugas anaknya, sedangkan anaknya lebih memilih untuk bermain sebab mereka juga tidak paham mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai dengan aturan.
Berbuat curang
Salah satu isu terbesar dalam pembelajaran virtual adalah bagaimana murid dapat diatur sedemikian rupa agar tetap mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik dan jujur dalam mengerjakan tugas. Murid diharapkan tidak melakukan kecurangan pada saat kuis dan ujian, serta ketika mengerjakan tugas dari guru atau dosen.
Berbagai cara dilakukan agar murid dapat memahami materi yang disampaikan pengajar dengan baik. Salah satunya degan cara memberikan penugasan membuat rangkuman atau resume, dengan harapan agar murid membaca dan mempelajari materi secara mandiri dan kemudian dirangkum dalam bentuk tulisan tangan atau diketik sesuai dengan pemahamannya.
Dengan modal belajar dari TikTok, murid belajar cara menipu guru mereka. Salah satunya dengan melakukan copy-paste menggunakan bot Telegram dalam membuat tugas meringkas bahan pelajaran yang seharusnya ditulis tangan.
Mereka juga belajar secara otodidak agar kuota pendidikan yang diberikan Kemendikbud dapat digunakan untuk kebutuhan pribadi seperti menonton film dan bermain gim, padahal seharusnya kuota tersebut hanya untuk membuka aplikasi-aplikasi yang menunjang kegiatan pembelajaran.
Ada beberapa cara diterapkan agar murid tidak melakukan kecurangan saat ujian yang mengharuskan tanpa melihat buku. Misalnya dengan mewajibkan setiap murid menyalakan kamera Zoom sewaktu mengerjakan soal.
Pada praktiknya aturan ini tidak terlalu efektif, sebab tidak semua murid memiliki koneksi internet di rumah masing-masing. Selain itu, pengajar juga cenderung sulit membedakan siapa saja murid yang benar-benar memiliki gangguan koneksi. Bisa saja terdapat murid yang memalsukan gangguan koneksi tersebut agar dapat bekerja sama dengan temannya, ataupun membuka buku dan mencari referensi di internet.
Perlu sinergi
Pembentukan karakter menjadi hal utama yang ingin dicapai dalam pendidikan, baik lewat pembelajaran secara luring maupun daring, karena pengajar tidak dapat secara langsung mendidik muridnya di satu tempat yang sama. Dalam kondisi seperti sekarang, peran orang tua diperlukan agar proses pembentukan karakter anaknya tetap berjalan dengan baik. Perlu ada komunikasi intens antara pengajar dan orang tua untuk mengarahkan anak didiknya ke jalan yang benar.
Membiasakan anak untuk menerapkan sikap dan perilaku yang baik membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. Oleh karena itu perlu ada keseriusan dan kerja sama dari seluruh pihak, khususnya selama pembelajaran virtual di tengah pandemi Covid-19. Jangan sampai keterbatasan media pembelajaran membuat adik-adik kita tidak mendapatkan esensi pendidikan yang sesungguhnya.
Mochamad Fariz Rizky Indraputra, mahasiswa D IV Akuntansi Politeknik Keuangan Negara STAN Jakarta