Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 membuat masyarakat terpaksa melakukan work from home (WFH), termasuk para pelajar. Banyak mahasiswa, termasuk saya, yang dipaksa untuk kembali ke kampung halaman agar dapat mengurangi rasa khawatir orang tua dan pengeluaran yang tidak penting. Selama proses transisi dari pembelajaran luring ke daring, saya berusaha untuk tetap mempunyai harapan bahwa pembelajaran online ini akan sementara saja dan kehidupan akan kembali seperti sedia kala.
Akan tetapi, angka pasien Covid-19 yang mulai bertambah secara perlahan dan pasti membuat saya membuang harapan itu jauh-jauh, termasuk harapan mengikuti program pertukaran pelajar atau student-exchange saya. Harapan saya makin mengecil saat menerima email yang menyatakan bahwa universitas yang ingin dituju masih mempertimbangkan untuk tetap melakukan program petukaran pelajar atau tidak.
Nasib saya seolah digantung oleh universitas tersebut selama beberapa minggu hingga tiba-tiba email permintaan untuk melaksanakan tahap kedua seleksi yang saya terima pada akhir Juli 2020. Semua proses saya jalani hingga akhirnya email yang berisi ucapan selamat secara resmi datang dan saya menjadi peserta Chung-Ang University Student Exchange Fall 2020 di Seoul, Korea Selatan.
Chung-Ang University Student Exchange Fall 2020 adalah program petukaran pelajar yang diselenggarakan oleh Chung-Ang University untuk mempererat kerjasama dengan partner universitasnya di seluruh dunia, termasuk di dalamnya Universitas Airlangga, Surabaya. Program itu juga sekaligus menjadi wadah petukaran budaya.
Penyelenggaraan program dilakukan bulan September-Desember 2020 yang lalu, akan tetapi mahasiswa diharapkan datang lebih awal karena ada karantina wajib yang perlu untuk dilakukan terlebih dahulu. Total mahasiswa yang mengikuti program ini kurang lebih sebanyak 80 orang yang berasal dari beberapa negara seperti Perancis, Swedia, Jepang, dan Amerika Serikat dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.
Pengalaman diterima untuk mengikuti program petukaran pelajar di tengah pandemi Covid-19 tidak hanya saya alami sendiri, tetapi juga dialami oleh teman saya, Muhammad Rafi Kamil, mahasiswa IPB angkatan 2018 yang juga diterima untuk melakukan student-exchange di Chonnam National University, Gwang-ju, Korea Selatan. Baik program saya maupun program Kamil adalah bentuk kerjasama internasional dari universitas masing-masing. Berbeda dengan saya yang setia dengan jurusan saya saat melakukan program pertukaran pelajar, Kamil melakukan lintas jurusan yaitu dari teknologi pangan ke bisnis administrasi di Korea Selatan.
Masuk karantina
Mengikuti program pertukaran pelajar di masa pandemi tentu ada aturan yang harus kami ikuti yakni kewajiban ikut karantina. Di Korea Selatan, kami juga demikian. Karantina adalah salah satu prosedur wajib yang dilakukan pada saat seseorang sampai di Korea Selatan. Akan tetapi, sampai ke tahap karantina pun tidaklah mudah. Pada tahap pertama, semua orang, baik warga negara Korea Selatan ataupun warga negara asing di wawancara tentang kesehatan dan riwayat berpergian yang telah dilakukan.
Tahap selanjutnya dilakukan pengecekan suhu dan proses pemasangan aplikasi karantina. Pada tahap ini akan kembali dilakukan wawancara tentang tempat dimana kita akan melakukan karantina, nomor telepon orang yang akan menjamin karantina kita, dan juga pengecekan nomor telepon korea kita. Jika kita tidak mempunyai nomor telepon korea, maka akan diminta untuk langsung membeli di booth yang disediakan dan jika orang yang menjamin tempat karantina kita tidak mengangkat telepon dari petugas maka kita tidak diperkenankan untuk lewat dari pos tersebut.
Pos selanjutnya adalah imigrasi dan terakhir adalah pengambilan bagasi. Kendaraan yang kita pakai untuk pergi dari bandara juga tidak boleh sembarangan. Kita hanya boleh bepergian dengan kendaraan pribadi atau dengan taxi/bus khusus dimana pengemudi menggunakan APD lengkap pada saat membawa kita.
Saya dan Kamil melalui proses yang sama hingga tahap pengambilan bagasi, akan tetapi kami mengalami pengalaman yang berbeda pada saat karantina. Kamil diperbolehkan untuk melakukan karantina di dormitory universitas-nya sedangkan saya terpaksa melakukan karantina di fasilitas pemerintah karena tidak dapat melakukan karantina di dormitory universitas saya.
Pengalaman menunggu lebih dari enam jam untuk mendapatkan izin karantina di fasilitas pemerintah dan harus mengatasi language barrier dengan petugas-petugas di bandara dan public health center Korea Selatan untuk menjelaskan situasi saya merupakan pengalaman yang sangat mengasah daya juang. Saya akhirnya diterima di salah satu fasilitas pemerintah di Dongjak-gu, Seoul, Korea Selatan.
Fasilitas karantina pemerintah sangat rapi dan terawat. Para petugas sangat menjaga orang-orang yang sedang melakukan karantina di fasilitas tersebut. Semua orang yang melakukan karantina juga diharuskan untuk melakukan dua kali test PCR yaitu pada hari pertama karantina dan setelah karantina.
Perkuliahan
Protokol kesehatan juga diterapkan dalam dunia perkuliahan. Di Chung-Ang University, setiap orang yang akan masuk ke wilayah kampus harus melakukan check-in di pos-pos yang telah disediakan di pintu depan dan belakang kampus, dimana suhu dan riwayat kesehatan kita akan diperiksa oleh petugas. Setelah proses check-in, kita akan diberikan gelang yang tidak boleh dilepas selama masih berada di wilayah kampus.
Setiap hari akan ada gelang yang baru sehingga mau tidak mau harus terus melakukan check-in jika ingin memasuki wilayah kampus. Protokol kesehatan juga diterapkan di wilayah domitory dimana kita diharuskan menggunakan kartu khusus selama berada di wilayah dormitory.
Salah satu hal yang saya dan Kamil sangat syukuri dari pengalaman pertukaran pelajar ini adalah kesempatan untuk mencicipi sistem pendidikan di negara maju. Kami berkesempatan untuk mencicipi curved-grading system, dimana penilaian tes dengan melihat distribusi nilai kelas. Contoh, dalam suatu kelas hanya nilai 30 persen teratas yang dapat menerima nilai A sehingga jika hampir seluruh kelas mendapatkan nilai 95, dan hanya 3 orang memiliki nilai <95, maka hanya 3 orang tersebut yang dapat menerima nilai A. “Orang-orang yang mendapat nilai A harus jadi yang terpintar dari yang pintar.” ujar Kamil.
Dalam kelas, Kamil yang berpindah ke jurusan sosial lebih banyak melakukan diskusi untuk menjawab suatu masalah dan didorong untuk mengungkapkan pendapatnya di hadapan mahasiswa-mahasiswa lain. Kamil juga berkesempatan untuk mendapatkan pembelajaran dan ujian offline selama beberapa minggu di Korea Selatan. Jika bidang sosial lebih banyak berdiskusi dan berpendapat, saya lebih banyak berkecimpung dalam jurnal-jurnal penelitian.
Perkuliahan banyak dilakukan dengan membahas review artikel dan berbagai jurnal internasional seputar pengembangan teknik biomedis untuk memberikan mahasiswa ide penelitian. Ujian saya berbentuk esai agar saya lebih banyak membaca jurnal untuk menjawab pertanyaan dan mengurangi kesempatan untuk menyontek karena penilaian tertinggi adalah kreativitas.
Sebagian besar mahasiswa dalam periode exchange ini adalah mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu sosial, sehingga saya sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan teknik mendapatkan pengalaman untuk menjadi satu-satunya mahasiswa internasional di kelas yang selaras dengan jurusan saya. Dosen saya terkadang harus menjelaskan dengan bahasa Korea di sela-sela kuliah berbahasa inggris agar mahasiswa korea juga lebih dapat mengerti tentang ilmu yang diajarkan.
Tetap bertanggung jawab
Kesempatan untuk melakukan pertukaran pelajar di Korea Selatan tidak membuat kami melupakan tanggung jawab kami di Indonesia. Kamil dan saya setuju bahwa kesempatan untuk melakukan petukaran pelajar ini adalah privelege dan bukan alasan untuk kabur dari tanggung jawab di Indonesia. Perbedaan waktu walaupun hanya sebanyak dua jam cukup berpengaruh terhadap siklus tidur kami. “Gue itu sebenarnya bukan tipe orang yang bisa bergadang sampai malam, tapi hampir setiap hari pas exchange itu baru bisa tidur dari jam 10-12 malam karena harus ikut rapat di Indonesia,” kata Kamil bernada curhat.
Salah satu hal yang dikerjakan oleh Kamil yaitu podcast Ketemu Pagi yang sekarang sudah mencapai season 2. Saya sendiri juga masih melakukan kepanitiaan lewat daring dan lomba di Indonesia walaupun terkadang tidak menghadiri beberapa rapat dan izin untuk keluar lebih dulu karena sudah kelelahan.
Sifat bertanggung jawab ini tidak saja saya temukan di sesama orang Indonesia, tapi juga dengan salah satu teman exchange saya dari Perancis, Ophélie Boulou, dari Catholics Institute of Toulouse. Ophélie, yang lebih suka dipanggil Alex, masih tetap membuka les tutor secara daring walaupun terdapat perbedaan waktu delapan jam antara Korea Selatan dan Perancis.
Sosial dan jalan-jalan
Salah satu keuntungan melakukan program pertukaran pelajar adalah jalan-jalan, apalagi pertumbuhan penyebaran Covid-19 di Korea Selatan selama awal periode exchange yang cukup rendah membuat resktriksi di negara tersebut tidak begitu ketat sehingga masyarakat tetap bisa beraktivitas dengan cukup normal.
Kamil berkesempatan untuk melakukan Suncheon Trip, salah satu program petukaran untuk mahasiswa internasional yang ditawarkan oleh universitasnya, sedangkan saya mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan ke Pulau Jeju. Kamil yang merupakan salah satu penggemar drama korea Start-Up berhasil jalan-jalan ke salah satu lokasi shootingnya di Nodeul-seom yang dalam drama adalah alamat tempat kantor Seo-Dalmi dan Nam-Dosan yaitu Sandbox.
Kami juga memiliki banyak kesempatan untuk berdiskusi dan berbincang dengan teman-teman dari berbagai macam negara. Kamil dan saya beruntung mendapatkan semacam teman (buddy) yang merupakan mahasiswa Korea dari universitas masing-masing yang menjadi semacam ‘penjaga’ kami di Korea Selatan.
Mereka membantu kami untuk lebih cepat beradaptasi dengan kehidupan di Korea Selatan dengan segala protokol kesehatan yang perlu untuk ditaati. Walaupun Korea Selatan memang khas dengan individualitas-nya, akan tetapi kami beruntung mendapatkan teman-teman grup yang seru dan dapat sering berjalan-jalan bersama.
Kesempatan untuk ke luar negeri di tengah pandemi benar-benar membentuk seseorang untuk menjadi lebih kuat dan lebih tahan banting. Banyak rintangan yang dilalui tapi dengan kebebasan yang didapatkan dan kesempatan untuk belajar dari negara yang lebih maju benar-benar membuat wawasan kami makin berkembang. Semoga kelak wawasan tersebut dapat dipakai untuk memajukan Indonesia.
Indira Maretta Hulu, mahasiswa Jurusan Teknik Biomedis Universitas Airlangga, Surabaya dan Magangers Kompas Muda Harían Kompas Batch IX
Comments are closed.