Dampak Pemakaian Pelantang Telinga Bagi Penggunanya

0
574

Di masa pandemi Covid-19 ini, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta menggunakan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dosen dan mahasiswa mengadakan kelas melalui aplikasi Zoom, Google Meeting, WhatsApp, dan aplikasi lain. Telepon seluler dan komputer sudah menjadi perangkat sehari-hari yang digunakan mahasiswa. Selain itu, mahasiswa juga terbiasa menggunakan pelantang telinga (headset) ketika melakukan pembelajaran. Apakah kondisi itu berdampak bagi kesehatan telingamahasiswa?

Pelantang telinga adalah sepasang pengeras suara kecil yang digunakan di telinga. Mahasiswa sering menggunakan pelantang telinga agar fokus ketika mendengarkan penjelasan dari dosen dan tidak terganggu oleh suara-suara dari luar. Namun, menggunakan pelantang telinga terlalu sering dikhawatirkan bisa berdampak bagi kesehatan mahasiswa.

Pelantang telinga merupakan salah satu sumber suara keras yang apabila terlalu sering digunakan akan menimbulkan beberapa masalah kesehatan, seperti tinnitus, gangguan pendengaran, dan hilangnya pendengaran. Menurut data yang dirilis Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, lebih dari satu miliar remaja dan orang dewasa di dunia beresiko kehilangan pendengaran, akibat penggunaan perangkat audio di luar batas keamanan.

WHO menyarankan untuk membatasi penggunaan pelantang telinga, Sebaiknya kurang dari satu jam dengan volume suara  tidak melebihi 60 persen dari volume suara

Untuk menjaga fungsi pendengaran, kita disarankan untuk tidak terlalu sering mendengarkan suara bising atau nyaring. WHO menyarankan untuk membatasi penggunaan pelantang telinga. Sebaiknya kurang dari satu jam dan volume suara yang didengarkan tidak melebihi 60 persen dari 100 persen volume suara.

Faktanya, setiap hari banyak mahasiswa menggunakan pelantang telinga ketika melakukan Zoom atau G-Meet. Tidak hanya memakai di satu mata kuliah saja, tetapi di mata kuliah selanjutnya pun mahasiswa masih terus menggunakan pelantang telinga yang menghabiskan waktu sekitar lebih dari tiga jam per hari.

“Aku selama kuliah selalu pakai headset karena di kamar sering enggak sendiri ada adik atau mama jadi biar tak menganggu. Trus suara speaker laptop aku juga kurang gede jadi biar lebih jelas,” kata Gianluigi Fahrezi, mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta.

Beberapa mahasiswa mengeluh ketika memakai pelantang telinga terlalu lama, mereka merasakan gejala pusing, mual, dan telinga terasa nyeri. Selain dua mahasiswa di atas, ada Nadia Juliani, mahasiswi jurusan Kesehatan Masyarakat UIN jakarta. “Habis make headset pusing banget jadinya. Telinga juga terasa pegal,” ujarnya.

Untuk menghindari hal-hal di atas, mahasiswa bisa memakai pelantang telinga (headset) di kanan dan kiri telinga secara bergantian atau mengendurkan sedikit pelantang telinga ketika memakainya. Selain itu, kualitas pelantang telinga juga perlu diperhatikan. Pilihlah pelantang telinga yang dengan volume rendah pun, toh suara dapat terdengar jelas di telinga. Namun, akan tetap lebih baik jika mahasiswa mampu mengurangi pemakaian pelantang telinga dan menggantinya dengan speaker kecil agar kesehatan tellinga tidak mengalami gangguan kesehatan.

Mu’minatus Solihah, mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Kesehatan Masyarakat