Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta mengadakan kuliah umum untuk mahasiswa program studi penerbitan (jurnalistik) secara daring pada Rabu (21/10/2020) lalu. Kuliah umum itu mengangkat topik “New Media dalam Prespektif Jurnalisme Digital”.
Topik tersebut dipilih supaya mahasiswa Prodi Jurnalistik semakin mengetahui perkembangan dunia jurnalistik di industri media. “Di era disrupsi ini tidak hanya mengubah model bisnis media massa dari cetak ke digital. Era ini sudah mengubah wajah jurnalisme secara keseluruhan,” ujar Ketua Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Poltek Negeri Jakarta Wiwi Prastiwinarti.
Ia menambahkan, salami situasi esperti itu, informasi yang disajikan tidak hanya valid dan akurat. tetapi juga ada variabel kecepatan yang menjadi magnet untuk menarik pembaca.
Prodi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta, menurut Wiwi, harus selalu dapat membaca arah perkembangan teknologi di bidang jurnalistik agar lulusannya sesuai dengan kebutuhan industri dan memiliki daya saing.
Untuk mengetahui perkembangan dunia jurnalistik, kuliah umum tersebut diisi dua narasumber, yaitu Ketua Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia Pusat/ Ahli Pers Dewan Pers Kamsul Hasan dan Wakil Ketua PWI DKI Jakarta Bidang Organisasi yang juga dosen komunikasi di Universitäs Al Azhar Indonesia di Jakarta Irmanto.
Kamsul Hasan menyampaikan, dunia sedang membicarakan tentang generasi kelima internet. Awalnya generasi kelima direncakan diluncurkan pada 24 Agustus 2020 dan akan digunakan sepanjang turnamen olimpiade di Tokyo sampai 4 September 2020. Akan tetapi, karena karena olimpiade tersebut terhalang oleh pandemi virus korona, maka peluncurannya ditunda.
Namun, hal tersebut bukan berarti internet generasi kelima ini tidak berjalan. “Sejumlah negara sudah melakukan uji coba, seperti beberapa negara bagian di Amerika, kota-kota besar di Jepang, Korea Utara, China, bahkan Thailand,” ujar Kamsul.
Mahasiswa yang akan datang itu harus sudah bisa membuat multiplatform. Dia tidak hanya berkerja untuk satu platform.
Menurut dia, generasi kelima internet memiliki kecepatan mencapai 20 MBPS. Ketika seseorang akan mengunduh film dengan bobotnya 400 MB, maka hanya dibutuhkan waktu dalam hitungan detik. Hal tersebut mempercepat aktivitas mengunduh dan mengunggah. Untuk para jurnalis, kecepatan dalam mengunggah sangat dibutuhkan.
“Mengapa pembuat berita itu menikmati atau berharap unggahannya cepat? Sebab, mereka ingin apa yang diambil di lapangan bisa langsung sampai ke masyarakat,” lanjut Kamsul. Ia memaparkan bahwasanya saat ini sejumlah media massa masih menggunakan jembatan media sosial agar informasi cepat sampai ke masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seorang jurnalis mengirim hasil liputan ke perusahaan untuk disiarkan namun datanya terlalu berat, gigabytenya terlalu besar, hal tersebut membutuhkan waktu yang lama dan hal tersebut terlalu lama untuk di era sekarang yang penyebaran informasinya begitu cepat. Maka jurnalis akan menggunakan cara streaming.
“Wartawan di lapangan mencari cara lain untuk mengirim informasi. Cara lainnya yaitu mengirim menggunakan media sosial, seperti YouTube, Instagram, dan Facebook.”
Lalu, jika seperti ini, bagaimana nasib televisi atau penyiaran terestrial ketika berhadapan dengan penyiaran streaming pada era kecepatan internet yang sangat tinggi mencapai 20 GBPS atau dua puluh kali kecepatan dari pada era 4G?
“Itu pertanyaan yang sekarang terus didiskusikan. Produksi televisi terestrial itu sangat high cost. Sementara lawannya adalah modal kecil rambunya relatif luam, yang dinamakan tv streaming,” ujar Kamsul. Ia menyatakan, itulah sebabnya sekarang orang lebih senang main di tv streaming. Ia mencontohkan langkah Najwa Shihab yang awalnya presenter televisi terestrial yang kemudian membuat saluran televisi sendiri. “Ketika dia membuat saluran sendiri maka dia sudah main di dunia streaming,” kata Kamsul.
Ia bertanya kepada mahasiswa, “Apakah Anda nanti ingin menjadi reporter tv terestrial atau ingin menjadi pengusaha penyiaran streaming? Sebab, kedua hal terebut harus dipersiapkan dari sekarang.”
Apa yang akan dipersiapkan oleh kampus jurnalistik atau komunikasi menghadapi era 5G ini untuk mahasiswanya? Karena mahasiswa yang akan datang itu harus sudah bisa membuat multiplatform. Dia tidak hanya berkerja untuk satu platform.
Ia memberi saran agar mahasiswa tidak hanya belajar untuk cetak saja atau online saja. Di gen ke-5 nanti setiap orang dengan peralatannya sudah bisa memproduksi multiplatform. “Satu kali jalan, dia sudah bisa menghasilkan berita untuk media cetaknya, media onlinenya, media stremingnya bahkan sampai tv terestrialnya,” katanya.
Kamsul memberi gambaran jika dahulu ingin meliput suatu peristiwa yang datang tiga orang, satu pembawa lampu, satu reporter, dan satu pembawa kamera. Hari ini reporter bukan hanya seseorang yang membawa mikrofon saja.
“Dia harus mampu mengambil gambar dan mengolah gambar. Ini untuk konsumen apa. Jadi ini harus diajarkan ke kampus dari sekarang,” lanjutnya. Baik nantinya bekerja di media penyiaran ataupun media streaming, menurut dia, kemampuan tersebut musti dipelajari oleh mahasiswa sejak dini.
“Teman-teman di PNJ nantinya ingin bekerja pada perusahaan media atau ingin membuat konten kreatif sendiri? Nah ini perlu dari awal dipahami. Kalau bekerja di perusahaan pers apalagi yang konvergensi, Anda bekerja untuk sekian media, dibayarnya gajinya satu kali,” ujar Kamsul memberi saran.
Ia mengingatkan kalau para mahasiswa ingin membuat konten kreatif melalui streaming dan produknya ditayangkan di media sosial, sumber penghasilannya ada dari dua sumber. Pertama, penghasilan dari penonton, meskipun ada syaratnya. “Anda harus punya pengikut 1.000 orang dulu nanti per 1.000 anda akan dapat empat US dolar kalau iklan yang lewat ditonton,” ujar Kamsul.
Devi Ari Rahmadhani, mahasiswa Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Program Studi Penerbitan (Jurnalistik) Politeknik Negeri Jakarta