Masyarakat berbondong-bondong menghabiskan stok masker, hand sanitizer dan bahan pokok di pasaran lalu menjualnya dengan harga tinggi begitu berita COVID-19 sudah masuk ke Indonesia. Pertumbuhan ekonomi merosot ke angka 2,97 persen pada kuartal pertama 2020. Angka itu lebih rendah dari target pemerintah sebesar empat persen.
Kestabilan ekonomi bergejolak. Resesi? Tidak dapat dihindari. Banyak masyarakat yang menemui kesulitan, terutama para pemilik usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM sebagai salah satu yang paling terdampak.
Juni ini, tepat sudah dua bulan sejak terbitnya peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kebijakan yang diambil dalam menyikapi pandemi COVID-19. Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Terbitnya POJK tersebut adalah demi memaksimalkan optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi dalam situasi resesi akibat COVID-19, salah satunya melalui kebijakan relaksasi kredit. Melalui adanya kebijakan relaksasi kredit ini, diharapkan debitur dapat diberikan keringanan dalam pembayaran kredit sehingga usaha yang dijalani dapat tetap berjalan tanpa perlu mengkhawatirkan cicilan kredit.
Hanya saja, kenyataan yang terjadi di lapangan berkata lain. Berdasarkan pernyataan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki, lebih dari 47 persen UMKM mengalami kebangkrutan di tengah situasi Pandemi COVID-19. Keputusan pemerintah untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan karantina wilayah juga mengakibatkan konsumen harus berdiam diri di rumah. Akibatnya, revenue yang diperoleh UMKM berkurang secara drastis dan berakibat pada arus kas yang negatif.
Demi memangkas kerugian, banyak usaha secara terpaksa harus memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya, tidak mampu bertahan dan berakhir bangkrut. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan awal pemerintah mempraktekkan kebijakan moneter, yaitu demi menstimulus perekonomian. Lantas bagaimana peran yang diberikan relaksasi kredit ini sebenarnya, apakah sudah efektif ?
Pada beberapa kesempatan, relaksasi kredit memang telah terbukti sebagai kebijakan yang mampu membantu mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu. Hanya saja, Ketidaksiapan pelaku UMKM dalam menghadapi krisis bisa jadi adalah alasan terbesar mengapa banyak pelaku usaha yang gagal mempertahankan bisnisnya, meski telah didukung kebijakan pemerintah sekalipun. Nampaknya berbagai usaha belum siap dan mampu menghadapi resesi yang terjadi secara tiba-tiba.
Menurut penulis, langkah yang dapat diambil oleh para pelaku UMKM dalam menjalankan usahanya dan memaksimalkan segala kebijakan yang telah diupayakan pemerintah adalah dengan mengoptimalisasikan segala sumber daya yang dimiliki. UMKM harus mulai mentransformasikan diri dan menyesuaikan diri dengan situasi pandemi.
Dengan mencari alternatif berusaha, pelaku UMKM dapat mempertahankan bisnis mereka dan beradaptasi karena logikanya, pandemi tidak akan berakhir sampai kapanpun apabila vaksin belum ditemukan.
Salah satu yang dapat dilakukan diantaranya seperti mengarahkan UMKM untuk beralih ke penjualan daring. Penjualan dengan sistem daring tentu jauh lebih efisien, karena modal dan biaya produksinya rendah. Hanya saja tantangan yang masih dimiliki adalah banyaknya masyarakat yang belum memahami bagaimana sistem dan strategi dalam melaksanakan penjualan daring ini.
Tugas pemerintah adalah mendampingi pelaku UMKM untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan para pemilik UMKM agar bisa mandiri mengelola usahanya. Usaha tersebut dapat melalui pelatihan dan lain sebagainya.
Di situasi pandemi yang mengharusnya banyak orang untuk tinggal di rumah pasti meningkatkan lalu lintas belanja daring, hal ini merupakan peluang besar untuk meningkatkan penjualan. Manfaatkan fasilitas relaksasi kredit yang telah diberikan oleh pemerintah untuk mengelola usaha yang mampu beradaptasi dengan situasi luar biasa seperti saat ini.
Selain itu, pelaku usaha dapat menjadikan situasi pandemi sebagai pelajaran untuk lebih memperbaiki pola usahanya. Dari sekarang, mulailah menempatkan dana darurat yang tercatat pada laporan keuangan. Dana itu dikelola khusus sebagai cadangan dana pendukung dalam pengelolaan usaha selama kejadian luar biasa seperti wabah, bencana alam dan situasi kahar lainnya terjadi. Posisikan dana darurat layaknya atas siaga bencana. Siap digunakan untuk situasi tak terduga.
Kebijakan relaksasi kredit hanya bisa efektif apabila dilaksanakan pada waktu yang pas dan tepat sasaran. Untuk situasi COVID-19, tidak cukup hanya bersandar pada satu kebijakan itu. Meski begitu, keputusan pemerintah untuk melaksanakan relaksasi kredit patut diapresiasi.
Namun perlu diketahui bahwa relaksasi kredit perlu memiliki jatuh tempo yang jelas, karena apabila tidak, akan menjadi bumerang bagi kesehatan bank. Sebagian besar penghasilan bank berasal dari tabungan, giro dan kredit nasabah. Jangan sampai niat baik bank untuk menaati kebijakan pemerintah dan membantu memulihkan perekonomian masyarakat justru menjadi ancaman bagi keberlangsungan operasi bank karena tidak kunjung memperoleh profit.
Oleh sebab itu, penulis berharap, seluruh stakeholder yang terlibat, baik itu pemerintah, pihak bank dan pelaku usaha, dapat menjalankan perannya masing-masing. Pemerintah harus mampu melindungi dan memberikan pengarahan kepada debitur dan kreditur agar sirkulasi kredit berjalan tepat pada jalurnya dan saling merangkul dalam mencari solusi dan kebijakan terbaik untuk mencegah kemungkinan terburuk. Penulis berharap, pandemi COVID-19 dapat segera berakhir dan perekonomian dapat segera pulih kembali.
Sri Annisa Sahuri, mahasiswa Jurusan Manajemen Keuangan
Politeknik Keuangan Negara STAN Tangerang Selatan -Banten