Bagi sebagian besar mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, duduk di Lembaga Kemahasiswaan Universitas LKU adalah posisi yang luar biasa. Bagaimana tidak, organisasi tingkat itu menaungi lembaga kemahasiswaan yang ada di tingkat fakultas.
Bahkan pengangkatan LKF dilakukan oleh Senat Mahasiswa Universitas (SMU)-Lembaga eksekutif di LKU UKSW. Tidak hanya itu, ketua LKU adalah anggota senat universitas yang kedudukannya setara dengan anggota rektorat, dekan, kepala unit dan lain sebagainya. Sungguh posisi yang spektakuler. Meskipun saya baru mengetahuinya setelah berbagung di SMU.
Saya bergabung di lembaga “elit mahasiswa” itu pada periode 2017/2018. Waktu itu saya memasuki tahun ketiga bermahasiswa. Pertimbangan untuk lanjut berpelayanan mulai muncul secara perlahan menjelang akhir masa periode di tingkat fakultas (baca SMF). Periode yang dilengkapi dengan berbagai bekal sebagai fondasi. Fondasi untuk berpijak merangkak naik ke tingkat universitas. Salah satu fondasi tersebut adalah pelatihan kepemimpinan.
Pelatihan kepemimpinan punya andil besar bagi saya untuk menjadi “babu mahasiswa” (baca pelayan). Istilah babu tidaklah dipandang sebagai kehinaan melaikan mindset, bahwa melayani orang lain (baca mahasiswa) adalah keutamaan.
Dibekali nilai-nilai Satya Wacana yang sekaligus menjadi roh dalam proses pelayanan semakin mengukuhkan tekad itu. Nilai-nilai seperti kasih, keadilan, keterbukaan dan lainnya menjadi pendorong kuat dan hebat untuk segera bergabung di SMU.
SMU merupakan lembaga eksekutif mahasiswa di tingkat universitas. Tugas dan fungsinya tidak jauh berbeda dengan SMF. Hanya saja cakupannya lebih luas dan strategis. Beberapa kegiatan besar ada di bawah koordinasi lembaga ini. Di antaranya Pekan Olahraga Mahasiswa (POM), International Indonesian Culture Festival (IICF) dan program-program keren lainnya. Tidak jarang banyak mahasiswa yang mendambakan untuk masuk ke dalam stuktur lembaga bergengsi tersebut. Dengan membulatkan tekad, akhirnya saya melalui proses seleksi dan diterima di sana.
Ketika itu saya ditempatkan pada bidang 3- manajemen & organisasi. Tepatnya di departemen kepemimpinan. Departemen yang menjalankan program pelatihan kepemimpinan dan manajerial mahasiswa di tingkat universitas.
Seperti latihan menegah, dan magang SMU. Konsep LMKM dan LLKM hampir tidak pernah berubah setiap tahunnya. Sedangkan Magang SMU bersifat situasional dan konsepnyapun bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan.
Sejak awal periode, departemen tersebut terdiri dari tiga anggota yaitu Aching, Angel dan Defri (penulis) serta satu ketua departemen (kadep) yaitu mas Wahyu. Namun di pertengahan periode, salah satu anggota (Angel) telah lulus kuliah dan harus meninggalkan kami di LK.
Dengan berkurangnya kuantitas anggota departemen tersebut, tentu beban di pundak kami semakin berat. Program pelatihan kepemimpinan yang cukup menguras energi dan mental. Sebagai anggota, ada beban moral yang tidak ringan. Tuntutan di satu sisi untuk menfasilitasi lahirnya calon pemimpin dan di sisi lain juga harus menjadi teladan.
Berbicara soal teladan, bagi saya departemen kecil ini cukup bisa menggambarkan keadaan itu. Kami memiliki keyakinan (baca agama) dan suku yang berbeda satu dengan yang lain. Saya dari suku Toraja beragama Kristen protestan, Aching dari dari suku Tionghoa beragama Kristen Protestan, Angel dari suku Tionghoa beragama Katolik, dan Mas Wahyu dari suku Jawa beragama Islam.
Dengan perbedaan kepercayaan itu, kami mengubahnya menjadi kekayaan dan sekaligus mengeratkan kebersamaan kami. Sebut saja setiap mengawali aktivitas (termasuk makan bareng), tidak lupa kami membuka dan menutupnya dengan doa menurut kepercayaan kami masing-masing (secara bergiliran).
Hari ini saya yang memimpin doa, besok Mas Wahyu, lusa Aching dan begitu seterusnya. Bahkan doa yang kami bawakan menggunakan bahasa dari suku kami masing-masing. Sungguh unik dan patut diteladani.
Sebagai anggota yang baru dilantik pada masa itu, saya masih meraba-raba (belajar) terkait tugas dan kewajiban saya. Departemen dengan beban moral yang cukup tinggi. Bagi anggota departemen ini, di pundaknya ada tanggung jawab bak penjaga roh ( nilai-nilai kepemimpinan) Satya Wacana.
Bahkan ada istilah dari senior saya, departemen tersebut disi oleh “babu mahasiswa”. Istilah yang sedikit menggelitik dan tidak bisa saya lupakan. Istilah yang kemudian menjadi prinsip hidup saya selama berpelayanan di lembaga elit itu.
Defri Harianto Natan, mahasiswa Program Studi S1 Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah.
Tambahan, latihan Kepemimpinan ada tiga tahap yaitu Dasar di tingkat Fakultas, Menengah dan Lanjut di tingkat universitas. Salam
Comments are closed.