Kuliah di Tiongkok pada Awal Pandemi Covid-19

0
361

Wuxi adalah sebuah kota yang terletak di China bagian selatan provinsi Jiangsu. Sekitar 50 menit dari Shanghai jika menggunakan kereta cepat. Pada pertengahan Januari lalu, penyebaran virus baru masuk ke kota Wuxi. Seketika kota berubah menjadi sangat sepi karena seperti kendaraan umum mulai tidak beroperasi, tempat keramaian seperti mal, dan tempat wisata semua tutup.

Kala itu perkuliahan telah usai dan sedang libur musim dingin. Sebagian besar dari kami,mahasiswa internasional memilih tidak pulang ke negara asal. Kami memilih menghabiskan liburan menikmati musim dingin di tanah Tiongkok.

Saya Ainayya mahasiswi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti program double degree dengan Wuxi Institute of Techonology. Program itu memberikan saya kesempatan berkuliah di luar negeri.

Saya mengambil program Diploma 4 yang harus ditempuh selama empat tahun. Program double degree ini memberikan saya kesempatan berkuliah di Jakarta dan di China. Pada satu tahun awal saya berkuliah di Jakarta, kemudian saya menjalani dua tahun berikutnya berkuliah di China.

Setelah itu melanjutkan satu tahun lagi di Jakarta. Tepat Januari lalu hampir sekitar 1,5 tahun saya dan teman – teman dari STP Trisakti Jakarta menjalani studi di negeri Tirai Bambu.

Keadaan kala pandemi

Kala itu berita tentang virus menjadi perbincangan setiap orang setiap harinya saat penyebaran mulai merebak ke kota – kota lain. Hingga saat pertengahan Januari kami pun mendapatkan berita penyebaran sudah masuk ke kota. Pemerintah setempat langsung tanggap menerapkan pembatasan sosial untuk meminimalisir interaksi masyarakat.

Pihak kampus juga langsung membuat beberapa peraturan guna melindungi masyarakat kampus. Seperti lebih ketat dalam keamanan, kebersihan, dan perlidungan. Semua itu untuk melindungi kesehatan dan keselamatan kami.

Contohnya seperti peraturan keluar gedung asrama, kami harus melapor terlebih dahulu ke Ayi (bibi penjaga asrama). Memberitahu kemana kami pergi dan alasannya, kemudian cek suhu badan, dan absensi. Tentu kami harus menggunakan masker kalau ingin pergi keluar. Dan saat kembali ke gedung asrama harus cek suhu badan dan mencatatnya di buku absen lagi.

Begitu pula jika hendak pergi keluar kampus. Di gerbang kami harus izin ke petugas di pos penjagaan sebelum keluar. Memberitahu kemana dan alasan pergi, cek suhu tubuh dan mencatatnya di buku absensi.

Dan saat kembali ke kampus, kami harus menunjukan kartu mahasiswa, cek suhu tubuh dan mencatatnya lagi. Pengecekan kartu mahasiswa diharuskan untuk menunjukan kita bahwa kami benar mahasiswa kampus, lalu baru diizinkan masuk.

Kemudian saat memesan makanan secara daring kami harus mengambil pesanannya di pos penjagaan gerbang utama. Semula kami hanya perlu mengambil pesanan di depan gedung asrama. Memang sepertinya biasa saja, namun kampus di China umumnya cukup luas ditambah saat musim dingin untuk jalan ke pos penjagaan rasanya berat sekali.

Dan saat malam, Ayi akan bekeliling ke kamar satu persatu. Mengecek suhu tubuh, mencatatnya dalam buku absen dan mengecek kebersihan kamar. Kalau kamu sudah tertidur waktu jam pengecekan, Ayi akan terus mengetuk pintu dan memanggil kita sampai terbangun. Pengecekan yang dilakukan Ayi bertujuan untuk memastikan kami selalu aman.

Saat awal pandemi banyak orang yang panik, tapi ada pula yang malah menggangapnya sebagai berita bohong. Saya kala itu sangat takut dan cemas. Situasi penduduk lokal yang juga panik menjadi faktor yang kuat.

Contohnya, kalau pergi ke supermarket banyak orang berbelanja dengan jumlah banyak. Jenis pangan seperti sayur, beras, mie, bahkan bumbu habis terjual. Setiap hari antrean pembayaranpun selalu panjang.

Di awal pandemi belum ada informasi lengkap seperti sekarang tetang apa sebenarnya virus itu, karena penelitian belum sampai pada perkembangan saat ini. Ditambah banyak sekali berita – berita hoaks yang justru menambah kepanikan. Pada saat itu bagi saya dan teman – teman yang terpenting adalah tetap saling bersama, dan mematuhi peraturan yang berlaku untuk saling melindungi satu sama lain.

Saya dan teman – teman semua saling menyemangati satu sama lain. Saling menjaga dan mengingatkan untuk selalu menjaga keamanan diri. Dan terus berusaha menenangkan diri agar tidak mudah panik.

Rasa takut pasti ada dan wajar, jauh dari keluarga dengan situasi seperti ini pasti rasanya berat. Namun saat berkumpul dengan teman seperjuangan rasanya perlahan sedikit – sedikit akan jadi lebih mudah.

Beberapa peraturan ini yang saya rasakan selama Januari kemarin saat masih di asrama kampus. Peraturan mungkin berubah mengikuti situasi, keadaan, perkembangan, dan kebijakan pemerintah.

Kembali Ke Jakarta

Perkembangan virus yang semakin meningkat menjadi alasan kami untuk segera kembali ke Tanah Air. Ditambah Kedutaan Besar RI di Beijing menghimbau WNI untuk segera kembali ke Tanah Air. Dan kampus di Jakarta juga meminta kami untuk segera pulang memperkuat alasan kami untuk kembali. Setelah adanya alasan tersebut kampus di China mengizinkan kami untuk pulang ke Tanah Air.

Banyak kampus di China tidak mengizinkan mahasiswa yang hendak pulang ke negara asalnya, bahkan keluar kampus untuk membeli kebutuhan saja juga tidak diberikan izin. Keamanan keselamatan mahasiswa menjadi alasan kampus melakukan tindakan tesebut.

Banyak penerbangan domestik yang mulai ditutup. Penerbangan internasional dari bandara Wuxi umumnya harus transit ke bandara yang lebih besar seperti ke Guangzhou, Nanjing, dan lainnya. Beberapa teman saya harus merasakan beberapa kali dicancel penerbangannya menuju Guangzhou, sedangkan mereka harus mengejar penerbangan Guangzhou – Jakarta.

Akhirnya sebagian besar dari kami memilih penerbangan dari Shanghai yang memiliki bandara besar. Namun adanya lockdown perbatasan kota membuat sekolah tidak bisa menyediakan kendaraan menuju bandara Shanghai.

Satu – satunya transportasi antar kota hanyalah kereta cepat. Sekolah hanya bisa mengantar hingga stasiun kota Wuxi. Saya dan teman – teman berjuang bersama pergi ke Shanghai naik kereta cepat.

Sampai di Shanghai kami harus naik MRT menuju bandara. Setelah sampai bandara, kami sangat lega. Sambil menunggu penerbangan, kami duduk jauh dari kerumunan dan sesekali membuka masker kami yang selama perjalanan menuju Shanghai tidak pernah kami buka karena terus berinteraksi dengan luar.

Karantina diri

Udara hangat mulai menyambut kami. Kami sangat bersyukur sampai di Jakarta. Sampai Jakarta saya dan teman – teman diharuskan melakukan test kesehatan untuk memastikan kami aman dan sehat. Dan kami juga harus mengkarantina mandiri selama 14 hari.  Selama karantina mandiri. kami menerima hasil test bahwa kami semua sehat dan aman.

Banyak yang bilang rasanya sayang sekali saya yang pulang dari China maksud menghindari pandemi, tapi sampai di Indonesia tak selang lama penyebaran pandemi sudah sampai ke Tanah Air. Meskipun begitu berkumpul dengan keluarga menjadi anugrah tersendiri, dan negeri sendiri adalah rumah meski tak bisa berkumpul dengan keluarga.

Yang pada akhirnya rumah adalah tempat semua orang terasa nyaman, aman, dan lebih kuat. Memberikan energi tersendiri untuk tetap bangkit.

Ainayya, mahasiswa Jurusan D4 Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Jakarta