“Mob Mentality” di Kala Pandemi

54
1363

Mob mentality atau mentalitas massa, mentalitas ikut-ikutan  sangat berperan di tengah persebaran wabah virus korona ini. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana seorang individu secara rasional cenderung mengimitasi perilaku lingkungan sekitarnya. Tren yang ada dapat berpengaruh kuat untuk mengeliminasi cara pandang tertentu dan menyeragamkannya pada tatanan versi mayoritas.

Dalam hal ini, mayoritas individu “sepakat” untuk satu suara dalam beberapa tindakan, sedangkan para pihak minoritas yang tidak melakukan respons yang disepakati tersebut dianggap menyimpang. Ketakutan akan penampikan publik (fear of rejection) yang mendorong kita untuk bertingkah sesuai standar mayoritas yang ada.

Pada beberapa kasus, mob mentality telah melahirkan banyak paradigma baru. Pergerakan-pergerakan yang datang dari titel “open minded” telah meruak ke segala ruang dan megesat mereka yang dianggap publik kurang permisif. Meski pada sebagian kasus mob mentality dipandang menjadi sebuah pola ancaman karena jumlah fakta atau bukti yang diusungkan akan selalu kalah dengan banyaknya pihak pendukung. Tetapi, dalam hal ini mob mentality justru dapat menjadi sarana penyelamatan massa dari pandemi sekarang ini.

Mari kembali pada awal penyuluhan sosialisasi kebijakan jaga jarak, pembatasan sosial dan #StayAtHome. Gerakan tersebut menyebar dengan sangat cepat karena mayoritas pihak yang berpengaruh atau kita sebut saja para ‘influencer’ di media sosial kerap menyuarakannya.

Semakin banyak para tokoh yang memiliki banyak pengikut mengunggah himbauan tersebut, maka semakin efektif pergerakkan ini. Karena sebagai seorang individu, kita cenderung mengikuti norma sosial dan susah untuk melakukan apa yang bertolak belakang dengannya.

Bisa kita lihat implikasinya, apabila seseorang mengunggah kegiatannya yang menyalahi kebijakan #StayAtHome atau pembatan sosial. Entah orang tersebut pergi ke pusat perbelanjaan, mengadakan acara atau mendatangi perkumpulan yang ramai, pada akhirnya dia akan menerima kritikan dari banyak pihak mayoritas. Di sisi lain apabila kita ikut mendendangkan dua kebijakan tersebut, publik akan menilai kita menjadi individu cerdas dan kooperatif.

Karena banyaknya pihak kuat entah itu tokoh masyarakat atau pemegang kuasa yang sangat concern terhadap bahaya virus ini, maka sekali saja ada pihak lain yang menyepelekan. Mungkin ia secara terang-terangan mengatakan bahwa penggunaan masker atau mencuci tangan sesuai anjuran itu tidak penting, jelas massa akan bahu-membahu mengkritiknya. Itulah sisi positif mob mentality berjalan di tengah pandemi ini, mendorong mangkusnya kebijakan.

Hal ini akan menjadi berbahaya apabila pihak-pihak yang mempunyai pengikut banyak di laman media sosialnya sudah mulai jenuh menyuarakan bahaya virus korona. Ditakutkan akan terjadi pergeseran standar. Saat mereka yang menyalahi protokol diacuhkan dan tidak lagi dikritisi massa, maka mereka akan merasa tindakannya ditolerir. Dalam hal ini, mob mentality menjadi salah satu upaya pengendalian.

Terlebih di era media sosial yang overshare ini. Dengan adanya fitur likes dan dislikes, banyak penelitian yang menegaskan bahwa secara alamiah individu akan mengharapkan validasi. Semakin banyak likes akan semakin mendorong rasa puas. Sebaliknya, jika yang mereka dapatkan adalah dislikes, maka mereka akan berjuang dan berubah agar disukai.

Maka dari itu, mentalitas massa di tengah pandemi ini membutuhkan para individu yang tegas pada wabah ini. Juga individu yang terus melakukan sosialisasi pentingnya pola sehat diri dan mengkritik mereka yang terang-terangan melakukan pelanggaran protokol. Mari kita jaga suara massa untuk tetap berjuang melawan pandemi sampai titik akhir nanti.

 

Tika Tazkya Nurdyawati, mahasiswi Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran