Kembalikan Budaya Berterima Kasih dan Saling Menghargai di Masa Pandemi

60
784

COVID-19 tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan dan perekonomian tetapi juga perilaku sosial masyarakat Indonesia. Perlahan tapi pasti, pandemi ini mulai mengikis identitas bangsa kita yang dikenal penuh toleransi dan kebersamaan. Bila dibiarkan saja, bukan tidak mungkin kita tidak mampu lagi mengenali bangsa kita setelah pandemi berakhir. Setelah puluhan tahun diperjuangkan bersama, ternyata hanya butuh hitungan bulan agar nilai bangsa yang kita junjung tinggi terancam punah.

Juru Bicara Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, baru-baru ini mendapatkan penghargaan PR Person of The Year 2020 atas kerja kerasnya dalam memastikan masyarakat Indonesia selalu mendapat informasi terbaru soal COVID-19. Pengumuman ini disampaikan di akun media sosial resmi @KemenkesRI. Namun, apa yang saya temui di kolom komentar ternyata berbanding terbalik dari kata ‘penghargaan’.

Duh…kaya gini dikasih penghargaan.”

Penghargaan darimana ini…nggak jelas kerjanya.”

Cuitan pedas masyarakat menghujani kolom komentar tersebut. Netizen memang bebas berpendapat dan mengeluarkan keluh kesah, tetapi saya rasa hal ini tidak adil bila dibebankan pada satu orang saja. Hampir setiap sore beliau tampil dalam konferensi pers – dengan risiko tinggi terpapar virus pada tempat umum – demi memberikan update terbaru mengenai perkembangan pandemi di Indonesia.

Achmad Yurianto hanya menjalankan tugasnya dalam menyampaikan informasi. Dia tidak seorang diri menentukan nasib Indonesia. Perlu kita ingat bahwa kesuksesan negara dalam menangani COVID-19 ditentukan oleh kerjasama antara Presiden, kementerian kesehatan, pemerintah daerah, dengan seluruh lapisan masyarakat. Maka, dalam beberapa bulan ke depan hanya ada dua hal yang bisa terjadi – antara bangsa kita berhasil bersama atau jatuh bersama.

Kejadian ini menjadi cerminan budaya modern kita yang mulai kehilangan nilai-nilai luhur, terutama rasa terima kasih dan saling menghargai. Di waktu penuh ujian, Indonesia seharusnya menunjukkan jati dirinya sebagai negara gotong royong yang menjunjung tinggi kebersamaan. Bukan bergerak bersama dalam menghadapi ”musuh”, masyarakat kita malah semakin terpecah belah.

Bahaya baru

Tidak hanya dengan pemerintah, masyarakat juga mulai mengabaikan rasa saling menghargai antar sesama. Beberapa hari terakhir, rakyat dibuat geger oleh peristiwa massa berkumpul di restoran McD Sarinah dan Bandara Soekarno Hatta. Instruksi PSBB dan pembatasan sosial seolah-olah tidak berlaku bagi mereka. Pandemi ini rasanya tidak penting jika dibandingkan dengan kepentingan pribadi.

Mereka tidak menghargai pengorbanan orang lain yang memilih diam di rumah supaya penyebaran virus terkontrol, meskipun bila harus dipotong gaji atau tidak dapat bertemu keluarga. Karena hal ini, banyak orang yang kesal dan merasa pengorbanan yang dihabiskan di rumah selama ini sia-sia.

Hal itu dapat memunculkan bahaya baru, di mana kita tidak lagi menghargai kepentingan bersama dan memutuskan untuk bergerak semaunya sendiri. Toh, yang lain juga nggak peduli. Kalau sampai ini terjadi, maka penyebaran virus akan semakin tidak terkendali dan bisa mematikan.

Oleh karena itu, mari kita bangun kembali budaya Indonesia yang saling mendukung dan menghargai jasa orang lain. Tidak ada waktu yang lebih baik daripada sekarang, karena sekali lagi keselamatan bangsa ini berada di tangan kita semua. Mengkritik itu boleh, tetapi kritikan seharusnya datang dari kasih sayang bukan kebencian.

Kalau ada yang salah, kita tegur supaya tidak terulang. Kalau ada yang benar, kita apresiasi supaya menjadi contoh baik. Dan untuk kalian semua yang tetap memilih di rumah saja, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Percayalah, semua pengorbanan kita tidak sia-sia.

 

Edward Christopher Yo, mahasiswa Kedokteran  Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Comments are closed.