Siapa yang mau tidak disukai? Kadang-kadang, keengganan kita untuk tidak disukai membuat kita tidak otentik terhadap diri sendiri. Mengikuti tren, mode pakaian, mengunggah foto terbaik ke Instagram dan Snapchat yang sudah diedit berkali- kali oleh aplikasi edit foto yang beragam (anggapan saya satu foto bisa diedit 10x sebelum diunggah, mungkin enggak ya?) menunjukan keengganan kita untuk tidak disukai di ranah media sosial dan kehidupan nyata.
Kita tidak ingin kenyataan kita terekspos di media sosial (jerawatnya diilangin, mukanya dibeningin, ada yang seperti itu? wkwk, bukan bermaksud menyinggung ya, kalo tersinggung, penulis minta maaf)
Inilah paradoksial yang membuat judul buku ini, “Berani Tidak Disukai” (judul aslinya dalam bahasa Inggris “The Courage to Be Disliked“) menjadi internasional best seller. Disaat semua orang takut untuk tidak disukai, Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menulis buku tersebut dengan judul yang sangat paradoks.
Buku itu bercerita tentang seorang filsuf (Philos dan Sophia, diambil dari bahasa Yunani yang artinya pecinta kebijaksanaan) yang disambangi oleh seorang pemuda. Pemuda tersebut, secara cangkok mengajaknya untuk berdebat. Menurut sang pemuda, dunia dan kehidupan itu tidak sederhana. Hal tersebut tentu berlainan dengan sang filsuf. “Dunia ini sangatlah sederhana, dan demikian juga kehidupan”, begitulah kata sang filsuf yang mengawali perdebatan antar dua insan beda generasi ini.
Buku ini terbagi menjadi lima bab yang disebut dengan lima malam. Malam merepresentasikan waktu yang cocok untuk berbincang-bincang. Ditemani dengan minuman hangat, malam menjadi saatnya merefresh pikiran setelah pagi sampai sorenya kita berkegiatan, entah sekolah ataupun kerja.
Ada lima malam dimana sang filsuf dan sang pemuda berdebat mengenai idealis mereka tentang kesederhanaan hidup dan cara menghidupinya. Buku itu dari malam pertama, sampai nanti penutup, tidak ditulis eksplanasif, namun dialogis. Dari awal, percakapan demi percakapan yang terbuat dari idealitas kedua orang ini akan mewarnai sampai penutup.
Sang penulis, Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, membalut percakapan kedua insan idealis tersebut menggunakan pendekatan psikologi Alfred Adler, seorang psikolog terkemuka dari Austria dan sering dibandingkan dengan Sigmund Freud, dan Carl Jung.
Bagi yang baru pertama kali membaca buku, saya tidak menyarankan Anda membaca buku ini. Buku yang secara filosofis psikologis ini mengandung banyak diksi yang jarang keluar bahkan dalam buku yang sejenis. Namun jika Anda mengerti makna yang terkandung, saya yakin akan banyak buah yang bisa dipetik dari buku ini.
Pada akhirnya, kita harus memosisikan diri sebagai seorang pemuda dalam buku ini. Pemuda yang ingin terus belajar tanpa henti. Pemuda yang mau mendengarkan orang tua yang pasti memiliki banyak keutamaan kehidupan. Pemuda yang dengan idealis dan meyakini keidealitasannya mau belajar dan bahkan berdebat dengan seorang filsuf yang digambarkan dengan orangtua.
Dengan melihat kedua tokoh tersebut, buku itu sudah memberikan banyak makna, bahwa sang pemuda merepresentasikan kita, baik orang muda maupun (maaf) orang yang sudah berumur berjiwa muda yang terus ingin belajar kepada orang yang lebih tua yang direpresentasikan oleh sang filsuf. Bahkan sang filsuf juga bisa dianggap sebagai representasi kehidupan yang mengajarkan kita banyak hal, asal mau merefleksikannya dan mengambil makna darinya.
“The unexamined life is not worth living” -Sokrates-
Hidup yang tidak dimaknai, tidak pantas dihidupi
“The only true wisdom is in knowing you know nothing.” -Sokrates-
Kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak mengetahui apa-apa
Feliks Erasmus Arga, siswa SMA Seminari Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah dan magangers Kompas Muda Harian Kompas Batch X