Waspada corona di mana saja berada… Mari jaga kebersihan milik kita…. Korona virus dahsyat tak terlihat… Virus yang menyebar menjadi wabah yang menular. Begitu penggalan lirik lagu yang diciptakan oleh Purwadi di tengah pandemi Covid-19.
Purwadi merupakan dalang yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Pria yang akrab disapa Pak Pur terlahir di Nganjuk, 16 september 1971 ini menyelesaikan pendidikan sarjana hingga sekolah Doktornya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini Purwadi bekerja sebagai Dosen Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), kesibukannya menjadi seorang dosen tidak membuat ia kehilangan hobinya menabuh gamelan.
Dalang
Tahun 1991 Purwadi memantapkan diri menjadi seorang dalang ketika itu ia masih duduk dibangku perkuliahan semester tiga. Ia belajar dalang dari tokoh senior bernama Jianto dan Tarimin. Selain itu ia juga mengikuti kursus dalang. Macam-macam judul cerita wayang sudah pernah ia bawakan, namun cerita wayang mengenai pernikahan Arjuna dan Sembadra dalam judul Cerita Parta Krama menjadi cerita wayang favorit bagi purwadi.
Berbagai pementasan sudah ia lewati hingga ia berhasil membawakan pentas wayang pada tingkat internasional. Dimulai pada tahun 2010, ia pentas di Den Haag, Belanda dan Berlin, Jerman. Tahun 2012, Purwadi menjejakan kakinya di London, Inggris untuk melakukan pementasan wayangnya. Berlanjut pada tahun 2015 Purwadi mementaskan wayangnya di Singapura.
Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2018 Purwadi kembali mementaskan wayangnya di New Delhi, India. Hingga di tahun 2020 ini Purwadi dengan bangga mementaskan wayangnya di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam satu kali penampilannya ia membawakan dua cerita pewayangan, yang dibawakan dengan Bahasa Inggris maupun Bahasa Belanda.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang merebak di seluruh bumi, Purwadi berinisiatif menciptakan sebuah cerita pewayangan khusus. Purwadi membuat naskah yang berjudul Wayang Wong Corona. Proses pembuatan naskahnya hanya dibutuhkan waktu selama 5 jam. Pada pementasan cerita yang bertemakan corona Purwadi mengajak istri dan ketiga anaknya untuk berperan sebagai wayang orang. Pementasan tersebut ia siarkan melalui platform YouTube.
“Ya, saya pentas pada Sabtu 18 April 2020 (lalu). (Tempatnya) di sanggar Pustaka Laras, jalan Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta,” kata Purwadi ketika ditanya melalui aplikasi pesan daring, pada Rabu (22/04/2020).
Sanggar seni
Pada tahun 2002 Purwadi berdedikasi mendirikan sanggar seni Pustaka Laras yang berlokasi di jalan Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta. sanggar yang dimulainya dari nol tersebut saat ini sudah diminati sebanyak 70 murid. Sanggar ini ia dirikan sebagai pembelajaran dan pelestarian seni budaya Jawa.
Murid-murid di sanggar Pustaka Laras ini beragam, mulai dari anak TK, SD,SMP, SMA, sarjana hingga mahasiswa S2. Sanggar tersebut juga diminati orang asing dari beberapa negara seperti Italia, Belanda, Jepang, China, Amerika, dan Australia. Untuk mengikuti sanggar tidak dikenakan biaya, hanya sukarela saja.
“Di sini ada kegiatan belajar seni karawitan, gamelan, tembang wayang kulit, wayang orang, tari, dan teater,” jelas Purwadi.
Bukan hanya pewayangan
Pada tahun 1987 Purwadi mulai menulis buku. Buku terbitan pertamanya berjudul Desa Mawa Cara yang membahas mengenai sejarah dan adat istiadat. Hingga tahun 2020 Purwadi berhasil menerbitkan sebanyak 150 judul buku. Buku terakhir yang ia terbitkan menceritakan tentang sejarah Kabupaten Jepara dengan judul Babad Jepara.
Menurut KBBI arti babad ialah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang berisi peristiwa sejarah atau cerita sejarah. Sampai saat ini, Purwaadi sedang proses penulisan buku mengenai tokoh pendidikan Batak.
Di tahun 1987 juga ia mulai menciptakan tembang. Arti tembang menurut KBBI adalah syair yang diberi lagu atau nyanyian. Tembang pertama yang Purwadi ciptakan berjudul Sregep Sinau (rajin belajar). Hingga tahun 2020 ini Purwadi sudah menciptakan sebanyak 37 lagu.
Ketika proses menciptakan sebuah tembang Purwadi sering kali menjumpai berbagai kesulitan salah satunya kesulitan saat membuat notasi untuk tembang tersebut. Dalam keadaan sulit itu, Purwadi terus menabuh gamelan berkali-kali demi mendapatkan notasi yang cocok dengan lirik tembang tersebut. Rasa tidak percaya diri dan ragu ketika proses membuat tembang kerap muncul di kalbu Purwadi, ketika seperti itu ia mengatasi rasa gundah yang menerpa dirinya dengan merenung di tempat sepi.
Lagi-lagi keadaan pandemi Covid-19 ini tidak menghentikan Purwadi untuk tetap berkarya. Ia menciptakan empat buah tembang salah satunya berjudul Waspada Corona. Proses pembuatannya memakan waktu sampai 12 jam lamanya. Dalam tembang yang ia ciptakan atas dasar sosial, Purwadi menyampaikan sebuah pesan bagi manusia untuk jaga selalu kesehatan.
“Jika ada masalah sosial, pasti masyarakat butuh hiburan yang mencerahkan,” tutur Purwadi.
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah mengimbau masyarakat untuk dirumah saja. Meskipun dirumah saja, bukan berarti sebuah alasan untuk menjadi malas-malasan. Berkarya ketika dirumah saja seperti yang dilakukan Purwadi dapat menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat.
Atsarina Uma Nadila, mahasiswa Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik
Comments are closed.