Ramadhan tiba! Ramadhan tiba! Ramadhan tiba! Ramadhan tiba semua bahagia. Tua dan muda bersuka cita, Bulan ampunan bulan yang berkah. Bulan terbebas api neraka~
Penggalan lirik lagu Opick berjudul “Ramadhan Tiba” ini kerap kali diputar saat mulai memasuki bulan suci penuh ampunan. Memasuki Ramadan, umat Islam di Indonesia punya tradisi tersendiri untuk menyambutnya. Beragam cara dari berbagai daerah di Indonesia dilakukan untuk menyambut Ramadan dengan suka cita. Namun di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda, masihkah terdapat suka cita dalam penyambutannya?
Di Indonesia, beragam tradisi unik selalu menghiasi penyambutan Ramadan setiap tahunnya. Di negara yang kaya akan budaya ini, tiap daerah seolah menunjukkan ciri khas nya masing-masing saat mulai memasuki Ramadan. Tradisi-tradisi unik ini sering kali menjadi sorotan di media massa, namun tahun ini tradisi unik Ramadan “kalah pamor” dengan pemberitaan Covid-19 yang terus mengakibatkan banyak orang terinfeksi virus korona.
Dari Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di kawasan Takengon, Dataran Tinggi Gayo, penyambutan Ramadan terasa berbeda. Ialah Anggraini Fatia Amny, mahasiswa Jurusan Pendidikan Khusus di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung yang menceritakan bagaimana Ramadan kali ini tak sama seperti biasanya.
Perempuan yang kerap dipanggil Amy ini merasa Ramadan kali ini sepi karena terbatasnya tradisi yang bisa dilakukan, mengingat adanya pembatasan fisik demi mencegah penularan Covid-19. Maklumlah, sampai 23 April 2020 lalu, di wilayah Aceh tercatat tujuh orang sudah terkonfirmasi terinfeksi virus korona. Dari jumlah itu, empat orang diantaranya sudah sembuh dan satu orang meninggal dunia.
“Kalau ke pasar untuk membeli persiapan Ramadan masih ramai, Tapi kalau tradisi sebelum Ramadan sekarang sepi karena kami banyak berdiam diri di rumah,” tutur Amy saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Kamis (23/4/2020).
Aceh memang dikenal dengan ajaran Islam yang kental dan kaya akan budaya. Sehari sebelum Ramadan, warga Aceh khususnya di Takengon antusias menyambut bulan suci ini. Masyakat kota Serambi Mekah itu ramai-ramai membeli makanan di pasar, pergi berziarah ke makam keluarga, berdoa bersama, bersedekah, dan berbagi makanan ke sanak saudara.
Tak dapat dipungkiri, semenjak peraturan pembatasan fisik dicanangkan, aktivitas masyarakat jadi sangat berubah. Tak terkecuali pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan untuk menyambut Ramadan. Dengan kondisi seperti ini, meski berat hati perayaan tradisi penyambutan Ramadan harus dikurangi. Meski begitu, Amy masih tetap bisa melakukan berbagai tradisi meski hanya di rumah saja.
Meugang
Tradisi meugang sudah dimulai sejak zaman kerajaan Aceh oleh Sultan Iskandar Muda. Meugang dilakukan saat menyambut Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha dengan menyembelih atau membeli dan berbagi daging kerbau atau sapi. Berbeda dengan banyak daerah lain di Indonesia yang suka makan daging sapi, di daerah tersebut berbeda. Sudah menjadi ciri khas warga Takengon lebih menyukai daging kerbau daripada daging sapi.
Sebelum memasuki Ramadan, dapur-dapur setiap rumah di Gayo akan ramai masak besar-besaran. Makanan khas itu nanti akan dibagikan kepada tetangga dan sanak saudara. Karena adanya pembatasan fisik, Amy harus beradaptasi dengan situasi dan hanya membuat makanan ini untuk keluarga yang ada di rumah.
Masakannya pun beragam. Masakan khas Takengon seperti Masam Jing, Lepat, Gutel, dan Pengat menjadi menu utama dalam tradisi Meugang di Dataran Tinggi Gayo. Tak ketinggalan masakan seperti Rendang dan Sop pun turut menghiasi meja makan.
Masam Jing jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia artinya asam pedas. Hidangan Masam Jing akan memiliki cita rasa asam pedas seperti namanya. Biasanya masakan ini berupa ikan berkuah.
Lalu Lepat adalah cemilan yang terbuat dari tepung ketan berisi kelapa parut yang sudah diberi gula merah dan dibungkus dengan daun pisang. Ada pula Gutel yang terbuat dari tepung beras dicampur kelapa dan gula putih, lalu dibalut daun pandan. Satu ikatannya berisi dua kepalan. Sedangkan Pengat adalah ikan yang diberi bumbu khas Gayo, biasanya ikan Depik atau Mujair.
Masakan untuk Meugang ini memang terkesan banyak. Meski begitu, Amy mengaku tidak lelah saat membuatnya. “Insya Allah nggak cape haha,” tuturnya seraya sedikit tertawa.
Tadarus keliling
Tadarus merupakan kegiatan membaca Al-Quran yang kerap kali dilaksanakan selama Ramadan. Tadarus keliling dilakukan dengan membaca AL-Quran bersama-sama di tiap-tiap masjid. Kadang kala, acara tadarus keliling ini dibarengi dengan berbuka puasa bersama dilanjut shalat tarawih.
Tak mudah bagi Amy melaksanakan tradisi ini di tengah pandemi. Namun ia tak kehabisan akal. Menurutnya, tadarus dan buka bersama masih bisa dilakukan di rumah bersama keluarga. “Sekarang udah nggak bisa (tadarus keliling), harus taat aturan pemerintah dulu kan,” lanjut Amy.
Covid-19 nyatanya menghambat beberapa tradisi Ramadan di Gayo. Meskipun begitu, suka cita Ramadan masih bisa diperoleh. Meski terbatas karena adanya pembatasan fisik, bukan berarti beragam tradisi tak bisa dilakukan.
Amy yang berkuliah di Bandung ini pun sedikit menyesal karena tidak bisa melaksanakan puasa di tanah Jawa. Ia ingin ikut merasakan bagaimana rasanya berburu takjil di Bandung.
“Kalau di sini (Gayo) berbuka pakai air tebu. Pengen juga nyoba gimana buka kalau di daerah lain. Semoga tahun depan bisa ya,” ujar Amy penuh harap.
Kopi Gayo
Selain tradisi yang tersendat akibat adanya pembatasan fisik, ekspor kopi Gayo pun ikut terdampak. Daerah Takengon memang terkenal dengan kopi Gayo yang biasa diekspor ke luar negeri. Kegiatan ekspor itu pun menjadi poros utama perekonomian warga Takengon.
Panji Anugerah, salah satu warga Pegasing, Takengon yang memiliki kebun kopi Gayo ikut merasakan dampaknya. Harga kopi Gayo anjlok dari semula Rp 120 ribu sekaleng biskuit besar, kini harganya turun menjadi hanya Rp 60 ribu.
“Karena Covid-19, ekspor jadi nggak ada. Bahan (biji kopi gayo) jadi numpuk dan dijual murah. Begitu juga bahan tani lainnya. Pasar di Takengon itu (kirimnya) ke luar negeri. Biasanya ini musim panen, meugang pun mewah-mewah. Tapi karena harga kopi jatuh, jadi sedikit sepi,” tutur Panji.
Tak dapat dipungkiri penyebaran Covid-19 dan pembatasan fisik ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Meski demikian, momentum pembatasan fisik ini bisa pula dimanfaatkan sebagai ajang pendekatan diri dengan Tuhan.
Menikmati waktu di rumah bisa diisi dengan rangkaian ibadah dengan intensitas yang lebih banyak. Makna Ramadan tak terbatas pada berkumpulnya manusia untuk bersilaturahmi, tapi juga tentang bagaimana mengumpulkan kebaikan dan memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta.
Rita Puspita Rachmawati, mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.