Balada Mahasiswa Kuliah Daring 2020

1
1497

Siapa yang menyangka bahwa tahun ini akan diawali dengan bencana? Rencana-rencana diundur, bahkan batal, terpaksa diatur ulang. Setidaknya resolusi setengah tahun ini harus pupus—meski tiap tahun tak pernah jadi nyata juga. Biasanya, tiap orang punya tahun buruknya masing-masing, kecuali di 2020. Semua orang ramai-ramai menyambut kemalangan di awal tahun ini.

Tak terkecuali segenap mahasiswa yang dipaksa pulang ke rumah masing-masing. Kaget, bercampur sedih sekaligus bahagia. Kaget karena lagi asyik-asyiknya kuliah di awal semester sudah harus buka koper lagi. Sudah punya rencana hingga akhir semester akan main ke mana saja sama teman-teman.

Sedih—bukan kepalang—karena kosan sudah terbayar lunas, UKT apalagi. Biaya-biaya besar yang tidak akan kembali. Senang, karena akhirnya bisa melanjutkan passion yang sekian lama ini tertunda jadwal kuliah dan organisasi, rebahan.

Selain kaget, sedih, ataupun senang, ada satu perasaan lagi yang menghantui mahasiswa-mahasiswa ini, bingung. Bingung karena semua kuliah yang biasanya tatap muka tiba-tiba diganti menjadi daring, padahal sebelumnya hanya tahu cara pakai video call Line dan Whatsapp bareng teman-teman satu geng. Dosen-dosen yang biasanya hanya berdiri di depan kelas sambil buka powerpoint dipaksa belajar cara share screen lewat aplikasi Zoom.

“Sebenernya kuliah daring, tuh, banyak waktu buat leyeh-leyeh-nya. Nggak banyak persiapan kayak kuliah biasanya. Tapi tugasnya banyak banget!” terang Ivanna Fauziah, mahasiswa semester empat Jurusan Farmasi Universitas Padjadjaran Bandung.

Ia melanjutkan, tidak semua dosen memberikan materi perkuliahan secara daring melalui aplikasi sejenis Google Meet atau Zoom, dan menggantikannya dengan tugas—yang justru lebih mengerikan lagi jumlahnya.

Untuk anak rumpun sosial dan humaniora, sepertinya kelas daring bukan momok yang menakutkan. Kuliah daring tampaknya cuma sesederhana memindahkan presentasi tatap muka ke Zoom atau menggantinya dengan tugas lewat Google Classroom. Cukup kontras dengan anak rumpun sains dan teknologi yang harus menenteng koper kembali ke kampung sambil meringis. Mereka memikirkan nasib praktikum yang ikut dibawa-bawa pulang.

“Biasanya kalau praktikum, kan, kita cari sendiri data-datanya, sekarang udah langsung ada datanya, jadi kita bikin laporannya aja,” jelas Alifia Bintang yang juga mahasiswa semester empat jurusan Farmasi di Universitas Padjadjaran. “Pusing, suka nggak paham hasil datanya dibanding kalau ngelakuin sendiri,” lanjutnya.

Tertekan dan stres

Kalau masalah di atas adalah milik mahasiswa baru hingga pertengahan, mahasiswa tingkat akhir punya cerita yang tak kalah pelik. Bagaimana tidak? Di ambang perjuangan akhir menuju toga wisuda, krisis ini justru menghambat segala sesuatunya.

Salah satu yang ikut keringat dingin menyambut kuliah daring ini adalah Anggun Aprilita, mahasiswa semester enam Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Sempat beberapa minggu bertahan di Jatinangor, Cimahi demi keberlanjutan tugas akhirnya, keadaan akhirnya berhasil membuatnya pulang juga.

“Karena aku anak faperta, aku harus melewati beberapa tahap sebelum lulus, yaitu sidang usulan penelitian, penelitian, sidang kolokium, sampai sidang komprehensif,” kata Anggun sambil menghela napas sebentar. “Aku juga harus ke lapangan, tapi sekarang bingung harus gimana karena takut hasil dari jurnal nggak seakurat kalo ke lapangan,” sambungnya.

Ia mengeluhkan bimbingan susah, cari inspirasi juga susah. Sementara tugas banyak, data buat penelitian malah nggak tersentuh sama sekali. Saat ditanya kesannya mengenai kuliah daring atau pembelajaran jarak jauh ini, ia mengatakan, “Jujur stres dan tertekan banget. Apalagi kalau nanti sidangnya daring, nangis!”.

Seperti diketahui, Unpad sudah melakukan sidang secara daring menggunakan aplikasi telekonferensi Zoom, bahkan sudah ada mahasiswa yang lulus melewati sidang daring tersebut. Peristiwa seperti ini bagai mengingatkan bahwa keadaan dapat memaksa kita melakukan apa pun.

Empat tahun kuliah, siapa yang sangka sidang skripsinya dilakukan lewat Zoom? Padahal baju sidang sudah sempurna, peralatan make-up sudah lengkap, teman-teman juga sudah siap dengan balon dan buket bunga. Siapa yang sangka saat sidang, bukannya memikirkan materi, malah pusing sendiri karena takut sinyal bisa tiba-tiba saja tak bersahabat.

Selain dari segi akademik, tampaknya segi non-akademik dalam kehidupan perkuliahan mahasiswa juga turut kena imbasnya. Sejak pihak universitas mulai mengeluarkan edaran yang menginstruksikan civitasnya untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, para pimpinan organisasi terpantau mulai dag-dig-dug—cemas memikirkan nasib proker yang sedang berjalan di termin pertama ini.

Benar saja, banyak program kerja BEM, Hima, hingga UKM yang harus diundur, dijadwalkan ulang. Atau bahkan terancam gagal karena semua orang harus mengunci diri di rumah masing-masing. Tidak boleh ada tatap muka, apalagi kumpul-kumpul.

Askar Bachtiar, salah satu pengurus BEM Kema Unpad 2020, turut berbagi cerita mengenai kehidupan organisasinya setelah sistem pembelajaran jarak jauh diberlakukan.

“Waktu pertama kali dengar berita itu awalnya masih mikir kalau ini paling akhir Maret juga beres.  Awal April udah bisa mulai lanjut kegiatan lagi,” jelasnya. Ia kemudian melanjutkan, “Ternyata keputusan dari Unpad kegiatan baru bisa dilaksanain mulai Juli. Sedih, sih. Imbasnya, ya, proker yang udah direncanain sebelumnya di bulan Maret dan April harus digeser ke termin 2,” jelas Askar. Hal terjadi karena dari rektorat juga sudah ada surat tentang pemberhentian sementara kegiatan kemahasiswaan.

Akses internet

Salah satu tantangan terbesar dalam sistem pembelajaran jarak jauh seperti sekarang adalah akses internet. Beruntung kalau punya Wi-Fi dan kuota yang memadai, hingga perangkat pembelajaran seperti telepon genggam atau laptop yang mendukung. Tapi tentu tidak semua mahasiswa punya akses dan fasilitas sebaik itu.

“Satu-satunya yang gue nggak suka dari ini semua adalah kekurangan kuota. Jadi gue akan sangat bersyukur kalau Unpad mau kasih kuota gratis ke semua mahasiswanya,” keluh Aisha Salsabilla, salah satu mahasiswa semester empat jurusan farmasi di Universitas Padjadjaran.

Meski universitas telah menjalin kerjasama dengan berbagai operator seluler demi mendukung kelancaran perkuliahan daring, hal tersebut tidak serta merta menjadi solusi yang efektif. Contohnya saja, Unpad yang telah menjalin kerjasama dengan Telkomsel, XL, hingga Smartfren.

Operator-operator ini memberikan layanan internet gratis bagi mahasiswa Unpad yang melakukan kuliah daring. Akan tetapi, layanan ini hanya berlaku di portal daring milik Unpad dan beberapa portal telekonferensi sejenis, seperti Edmodo dan CloudX. Lalu, mahasiswa yang dosennya pakai Zoom dan Google Meet hanya bisa meringis kecil sembari mengecek sisa kuota mereka.

Akan tetapi, di samping semua ketidaknyamanan yang dirasakan mahasiswa selama kuliah daring, selalu ada hal positif yang dapat diambil dari kejadian ini. Contohnya, Aisha Salsabilla, mahasiswa semester empat jurusan Farmasi Universitas Padjadjaran. Ia menuturkan kesannya selama menjalani kuliah daring ini.

“Aku anaknya rumahan banget, sangat menikmati diem di rumah. Aku kalo bosen cuma beberapa detik aja, habis itu langsung lupa dan melanjutkan rutinitas seperti biasa lagi,” ujarnya, menyikapi PJJ dengan santai. “Bener-bener nggak masalah dengan rutinitas tiap pagi. Berjemur, olahraga, buka laptop, main media sosial, nonton, nugas, makan, tiktokan, tidur, kayaknya aku akan terlalu menikmati masa-masa ini,” katanya sambil tertawa.

Setelah semua rangkaian ‘penderitaan’ daring ini, kita setidaknya jadi menyadari beberapa hal. Bahwa dulu tak ada yang menyadari bahwa kuliah tatap muka sebegitu berharganya. Sekedar dapat bertemu dan berkumpul dengan teman-teman di tempat umum pun sekarang jadi mustahil. Rapat akbar di kafe digantikan aplikasi-aplikasi telekonferensi, berbatas layar dan koneksi. Semua hal yang cuma-cuma, tapi di saat seperti ini mendadak jadi bernilai tinggi.

“Sumpah, enakan kuliah tatap muka” mungkin adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan kebanyakan mahasiswa saat ini.

Nabila Raihan Kandi, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran