Dunia Dalam Hati

0
298

Diriku masih saja disibukkan dengan pekerjaan yang dari kemarin belum usai. Semua berkas ini masih saja bermunculan. menumpuk tebal dibawah almari. Serakan puing dibawah kaki pun seolah juga tak ada habisnya, semakin membukit.

Pun tembok di sisi kananku bergoyang-goyang saat angin menerpa, menjatuhkan butiran-butiran semen plaster. Sudah tiga puluh empat jam lembur ku lewati. Membereskan kekacauan di dasar relung hatiku.

Hanya sesekali istirahat, meneguk air mineral, juga menyantap potongan sandwich, sambil memandangi langit-langit ruangan yang plafonnya runtuh sebagian. Menampakkan mega-mega senja di dunia luas hampa dalam hati kecil, tersembunyi. Suasana sendu yang aku sendiri tak bisa merubahnya. Semakin hari suasana dalam hatiku jadi tak karuan. Kemarin tiba-tiba saja terjadai badai gelap menakutkan, saat aku memasukinya.

Tak kusangka bangunan berpondasikan kenyamanan, bersemenkan kepercayaan, beratap kasih sayang, berisikan kebersamaan yang dulu dirasa kuat, ternyata sangatlah rapuh, ambruk, hancur, isinya berserakan tak karuan.

Manakala bahan penyusunya perlahan memudar. Sebenarnya tak ada batas waktu membereskan ini semua. Hanya saja  semakin lama dibiarkan justru semakin membebani diri. Membuat dadaku sesak, memperintens lonjakan asam dilambung, bahkan memunculkan delusi ingatan masa lalu.

“Fyyuhh …” aku menghela napas panjang bercampur aroma debu. Ku punguti berkas itu lagi, menyusunya dalam wadah plastik. Belum lagi ku dapati serakan puing sudah mnembukit dibawah sendalku. Rasanya aku baru saja meminggirkanya. Sempat aku berpikir meminta bantuan orang lain. Namun kuurungkan, aku yakin, dengan sekuat tenaga pasti bisa kubereskan sendiri, lagipula dunia dalam hatiku agaknya masih kurang bersahabat, bahkan dengan pemiliknya sendiri.

GRRTT! GRRTT!

“Ya,” sahutku cepat.

“Kau tak ngantor dari kemarin, ada apa?,” Cerca Hamna dari seberang telepon.

“Ada pekerjaan rumah, harus segera kuselesaikan.”

Aku baru ingat, dari kemarin aku tidak izin tidak masuk kerja.

“Aku akan mampir nanti”

“Tak bermaksud melarang, tapi sebaiknya kau kemari jika pekerjaanku sudah beres. Ini sangat memalukan,” Tanpa menyahut apapun, Hamna mematikan panggilan teleponnya

Aku tak berpikir kata-kataku menyinggung. Teman sekantorku ini memang humble sejak pertama kali kenal dulu. Kupercepat tanganku menata berkas juga meminggirkan serakan puing dengan sekop. Hamna pasti akan tetap mampir. Tubuhku terasa sangat lelah, juga pegal-pegal tak karuan.

Perlahan mataku menyayup, kantuk yang tertahan berpuluh jam akhirnya datang juga. Meski terbiasa lembur di kantor, memforsir diri lebih dari tiga puluh jam agaknya memang tidak baik. Kesehatanku pasti akan menurun. Ini berarti pekerjaan kantorku akan terbengkalai.

“Bara!” Reflek Aku menoleh, ternyata Hamna membuka pintu ruangan. Entah bagaimana Ia bisa tahu aku disini. Bahkan bagaimana caranya Hamna masuk ke dasar relung hatiku?. Air mukanya terkejut. Aku tak menyangka Ia akan datang cepat.

“Sesuatu mengerikan apa yang menimpamu?”

“Yang jelas memang mengerikan, kau seharusnya tidak kemari.”

“Akan kubantu.”

“Tak perlu, bagaimana kau tahu Aku disini? Dan–”

Ucapanku terpotong oleh tindakannya. Hamna lagi-lagi tak menyahut. Ia langsung memunguti berkas dan memasukkanya dalam wadah. Sementara aku masih berkutat meminggirkan serakan puing-puing mengganjal di bawah sandal.

Kulihat baju dan kerudung Hamna mulai terkotori oleh debu, cahaya senja kemerahan menampakkan peluh di wajahnya yang kuning langsat. Tampaknya ia memang langsung mampir sepulang dari kantor. Hamna bersikeras tetap membantuku setiap kali aku menyuruhnya istirahat, atau sebaiknya ia pulang dulu. Ia mengatakan tak akan berhenti jika aku pun belum berhenti.

Aku tak tahu apa yang terbersit dipikiranya saat ini. Mungkin hanya sekadar membalas budi. Tapi pembalasanya terlampau cukup, Ia memaksaku berjanji untuk tidak memaksakan diri dengan terus lembur. Keesokannya, setiap kali pulang kerja, Hamna pasti mampir dan membantuku, bahkan izin sementara cutiku diuruskanya. Entahlah, kepalaku dipusingkan bagaiamana  nanti kubalas kebaikan temanku ini.

Setelah cukup beres aku mengajaknya istirahat barang sebentar. Melihat bagaimana kondisi dalam hatiku saat ini. Hamna melangkah keluar, nampak tengah serius melihat keadaan. Aku mengikutinya, ku jelaskan bahwa mega-mega oranye yang indah itu abadi.

Suasananya menjebak, dimana keindahan senja yang selalu didambakan, di dalam sini justru begitu sendu, mengguratkan keputusasaan mendalam. Desiran angin kencang sesekali menerpa kami berdua, kulihat jilbab Hamna berkelebat melambai-lambai. Dari tadi Hamna hanya menyahhut seperlunya, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya kali ini, terlebih, kini Hamna tahu keadaan sebenarnya dalam relung hatiku.

Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya aku juga membantunya dengan masalah serupa. Justru kondisinya lebih dari yang kualami. Hanya saja melihat saat itu aku masih bersama seseorang. kuputuskan untuk berhenti, meski Hamna sendiri menyambut baik bantuan itu.

Lagipula keluar masuk dalam hati seseorang membuatku merasa tak enak. Memasuki sebuah dunia dimana tidak sembarang orang seharusnya boleh masuk. Dunia dalam hati memang sangat misterius, terkadang pemiliknya sekalipun tak tahu apa yang terjadi di dalam sana.

“Apa kau tahu ujung dunia ini Bara.”

“Aku tidak yakin, bahkan aku tak pernah berkeliling melihat hatiku sendiri selama ini.”

“Aku pernah berkeliling dalam hatiku Bara,” Hamna menoleh, menatapku cukup lama, “Luasnya dunia dalam hati sepertinya tergantung bagaiamana keluasan hati kita sendiri. Yang unik, aku menemukan sekat tipis namun kuat iujungnya.

Kau tahu, diseberang sekat itu adalah dunia akal kita, kondisinya sanagt tenang, cerah, namun angin yang menerpa cukup keras dan menggebu-gebu. Itulaah dunia akal yang selama ini selalu bersinergi ataupun bertentangan dengan hati kita. Entah kapan, kau sepertinya harus melihatnya juga Bara.”

“Ya, aku memang kerap acuh dengan diri sendiri.”

Hari ini aku memeberitahunya agar tak perlu membantuku lagi. Beberapa saat Hamna mematung, air muka manisnya mengguratkan kekcewaan. Mata cokelatnya menghujamku keras. Bukannya tak mau dibantu atau meremehkan bantuan orang lain.

Hanya saja aku tak mau salah menafsirkan atas dasar apa Hamna begitu peduli denganku. Aku tak mau terburu memperbaiki bangunan direlung hati ini bersama orang lain. Fokusku hanya memperbaiki dan menatanya kembali sendiri. Walaupun akhrinya Hamna mengiyakan dengan senyum serta sikap humble-nya seperti biasa. Reaksi spontan yang ia tunjukkan tadi tak bisa membohongiku.

Semenjak hari itu, sudah lima bulan lamanya, tak ada yang berubah dengan pertemanan Kami berdua. Tak ada yang aneh juga dengan sifat Hamna. Pun dengan sikapku padanya. Kini bangunan di dunia dalam hatiku sudah berdiri kokoh, di dalamnya mulai kuisi dengan beberapa foto dan kata-kata dari Hamna.

Kuakui, aku mulai nyaman denganya. Aku berulang kali memaksa lidahku berkata jujur, namun rasanya kelu sekali. Sampai aku tak sengaja melihat sebuah cincin emas melingkar di jari manis teman wanitaku ini. Hatiku bergetar-getar, rasanya badai besar itu kembali. Menerpa dengan ganas dunia dalam hatiku. Aku merasakan sesuatu yang runtuh dan berserak di dalamnya. Ahh … aku akan bekerja lebih keras lagi!.

Bagas Adi