Haid Pakai “Roti”

1
4272

Penyebutan pembalut wanita, bagi beberapa orang ternyata menjadi sesuatu yang yang dihindari.  Saya memikirkan mengapa orang-orang menyebut pembalut wanita dengan nama “roti Jepang”? Padahal dibuatnya bukan di Jepang dan enggak ada roti yang bentuknya seperti pembalut. Sekali pun ada, mungkin untuk properti Halloween. Oh, ya, sekadar mengingatkan, Halloween itu bukan budaya kita, ya. Budaya kita itu meminta pembalut di kelas sambil bisik-bisik ke teman tepat di telinganya dengan kalimat andalan, “Eh, ada roti jepang enggak?” sudah seperti mau transaksi narkoba.

Lucunya, ada kebiasaan diantara perempuan yang tidak lazim. Selain minta pembalut seperti transaksi narkoba, tukang spoiler juga budaya di Indonesia, bukan? Jujur saya bingung karena tidak menemukan tulisan tentang sejarah pembalut wanita berkait dengan Jepang. Mungkin karena kita pernah dijajah Jepang dan orang Jepang yang mengenalkan pembalut kepada pribumi. Ah, romannya terlalu memaksa, tidak pernah ada sejarah yang menyebutkan tentang momen ini.

Ini bukan hanya masalah ketabuan orang Indonesia sampai mengganti sebutan pembalut jadi roti Jepang. Masalah ini menyebar sampai kearah penistaan bendera negara orang. Begini, sering kali perempuan curhat masalah haid hari pertama dan darahnya menembus ke sprei kasur yang baru ia sadari di kemudian pagi. Apa yang ia katakan saat itu, “Gila, gue pagi-pagi sudah nyuci bendera Jepang.”

Maksudnya bendera Jepang itu, ada noda merah di atas spreinya yang berwarna putih, mirip seperti bendera Jepang. Kalau saya buat laporan ke Jepang tentang benderanya yang disamakan dengan darah menstruasi dan Jepang tidak suka, apa kita semua sudah siap untuk perang lagi?

Terus, terus, kalau spreinya warna putih dan biru, lalu ada darah haid di atasnya, itu jadi meledek bendera Belanda. Bagaimana, apa kita butuh pahlawan nasional sekelas Hariyono dan Koesno untuk merobek bagian birunya biar jadi bendera Indonesia? Tapi setelah dicuci, ya percuma, warna merahnya hilang, tinggal warna bendera putih, lambang menyerah.

Apa susahnya, sih, mengakui kalau sedang haid tanpa harus menutup-nutupinya? Semua orang juga tahu, perempuan mempunyai siklus menstruasi saat rahim melepaskan sel telur yang tidak dibuahi. Itu normal dan bukan hal yang tabu. Toh, laki-laki di kelas juga tahu ketika teman perempuannya sedang mencari roti Jepang itu tandanya ia sedang haid.

Tidak perlu menutupinya seperti orang transaksi narkoba, Cantik. Tidak perlu juga merubah nama menstruasi atau haid dengan istilah ‘dapet’. Kamu dapet apa? Dapet hikmahnya? Okay, kalau begitu, mudah-mudahan dapat hikmahnya setelah baca hasil pemikiran saya yang menjelimet ini.

Sudahlah, berhenti jadi orang tabunya. Katanya millennial si penganut gaya hidup modern abis, masa menyebut nama pembalut masih roti Jepang? Sadar tidak, kelakuan konservatif seperti ini yang membuat lingkungan sosial tidak berkembang dan hanya membuat perempuan yang sedang menstruasi merasa malu menjadi perempuan karena ia merasa cacat setiap bulan. So say what you want to show what you need.

Diffa Zahra, mahasiswa Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta Jurusan Penerbitan