Ubah Stigma Tentang Gangguan Jiwa

0
689

Pemberitaan tentang gangguan jiwa atau mental akhir-akhir ini marak. Disayangkan, banyak orang awam menganggap para penderita gangguan mental itu berbahaya, aneh dan perlu dihindari.

Padahal sebenarnya gangguan jiwa adalah penyakit gangguan kejiwaan yang memengaruhi pikiran, perasaaan dan perilaku seseorang. Gangguan kejiwaan itu sendiri dapat membuat penderita sulit untuk mengetahui dan mengenali perilaku yang dianggap normal dan tidak.

Gangguan mental atau jiwa juga banyak menimpa remaja loh! Sebagian besar gangguan kesehatan mental muncul pada masa remaja atau mungkin di awal usia 20-an. Para peneliti dari Harvard Medical School di Amerika Serikat menemukan, separuh dari kasus gangguan mental dimulai dari usia sangat muda yakni 14 tahun dan tiga perempat penderita terjadi sejak usia 24 tahun. Karena muncul di usia dini itu, maka terapi dan penanganannya harus dilakukan sejak awal pula, serta dukungan sosial dari lingkungan sekitar.

“Ih, dia depresi loh, gangguan mental, jangan mau dekat-dekat, hindarin saja,” tidak jarang kalimat ini dilontarkan oleh masyarakat awam kepada mereka yang membutuhkan dukungan dalam menghadapi depresinya. Tanpa disadari kalimat negatif yang dilontarkan oleh orang-orang di sekitar, justru semakin berpengaruh pada kestabilan pengidap depresi.

Sangat disayangkan, masih banyaknya masyarakat awam memiliki pemikiran dan pembicaraan yang tabu. Hal ini tentu saja memperburuk keadaan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan disudutkan oleh masyarakat awam.

Butuh dukungan

Survivor (penderita penyakit mental) butuh dukungan emosional dan dukungan sosial agar mereka merasa nyaman di lingkungan sekitar, dan seharusnya tidak memojokkan mereka,” ujar Kurniasih Ayu Archentari, psikolog dari Archana Biro Psikologi di Karanganyar, Jawa Tengah melalui pesan singkat pada Jumat (27/12/2019) lalu.

“Sebenarnya dengan mendengarkan keluh kesah dan memahami survivor sudah merupakan salah satu langkah dalam memberikan dukungan kepada para penderita penyakit jiwa,” lanjut Kurniasih. Cara itu menurut dia, juga meyakinkan survivor bahwa mereka tidak sendirian, menjauhkan survivor dari segala macam hal yang bisa menyakiti dirinya sendiri. “Alangkah lebih baik lagi kalau penderita  diajak ke psikolog,” kata Kurniasih memberi saran.

Banyaknya komentar negatif yang membayangi ketakutan akan dihakimi, dihindari, dan ditertawakan membuat para penderita penyakit jiwa tidak berani mengungkapkan identitasnya kepada lingkungan sekitar maupun orang-orang terdekatnya. Akibatnya penderita tidak mau mencari pertolongan ketika gejala-gejala penyakitnya muncul dan mulai mereka rasakan.

Stigma lain yang beredar dalam masyarakat awam salah satunya adalah gangguan jiwa bisa menular. Anggapan ini jugalah yang membuat kebanyakan orang merasa enggan berada dekat-dekat orang dengan gangguan jiwa. Bahkan mungkin masyarakat spontan menghindar begitu berpapasan dengan orang yang biasa disebut “gila” itu.

Stigma lain yang kerap muncul adalah pelabelan penyakit jiwa yang diartikan berbeda. Pelabelan itu berakibat kepada pribadi penderita penyakit mental yang justru bisa memperburuk kondisi kejiwaan yang bersangkutan.

Tidak menular

Kurniasih Ayu Archentari kemudian mengatakan, stigma gangguan jiwa bisa menular sama sekali tidak benar. Suatu penyakit dikatakan bisa menular ketika berasal dari infeksi virus, bakteri, atau jamur yang memang bisa berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya melalui kontak fisik langsung. Banyak faktor yang menimbulkan penyakit gangguan jiwa, seperti kepribadian, pola asuh, lingkungan, genetik, dan sebagainya.

Pernahkah kamu menempatkan diri di posisi para penderita gangguan jiwa yang merasa depresi, lalu dikatakan sakit jiwa, gila, dan aneh oleh orang-orang disekitar lingkunganmu dan orang-orang terdekatmu?

Agar stigma-stigma yang beredar di kalangan masyarakat mulai berubah, perlu ada edukasi dan penyadaran bagi masyarakat awam.

Yuk, ubah stigma awam tentang bahayanya penderita gangguan jiwa. Mari dukung dan rangkul penderita gangguan jiwa dalam menghadapi serta melawan penyakitnya. Kalau bukan sekarang, mau kapan lagi?

Anggia Desri Pratiwi, mahasiswi LSPR Communcation & Business Institute