Beberapa bulan belakangan santer terdengar wacana pembangunan Jalan Tol Solo-Jogja-Bandara Yogyakarta International Airport yang menuai pro kontra dikalangan masyarakat. Pembangunan jalan tol tersebut telah sampai pada tahap pendaftaran prakualifikasi yang dimulai pada 3 November 2019 hingga 3 Januari 2020 dan nilai investasinya diperkiraan Rp 22,54 triliun.
Pihak yang pro terhadap kebijakan tersebut mendukung pembangunan jalan tol agar akses dari dan ke Bandara Yogyakarta International Airport dapat diakses dengan mudah. Sementara pihak yang kontra terhadap kebijakan tersebut sebagian besar merupakan warga sekitar dan pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang ada di sekitar bandara.
Jalan tol merupakan barang publik tidak murni, artinya setiap orang yang mempuyai mobil dan uang untuk membayar dapat melewati jalan tol tanpa ada persaingan untuk menggunakannya. Hal itu menjadi salah satu penyebab orang kontra terhadap pembangunan jalan tol Bandara Yogyakarta International Airport, karena hanya orang yang memiliki mobil saja yang dapat menggunakan akses jalan tol sedangkan orang yang menggunakan sepeda motor tidak dapat melewati jalan tol.
Pembangunan jalan tol Bandara Yogyakarta International Airport memiliki eksternalitas negaitf berupa tidak dikunjunginya wisata di daerah Kulon Progo. Padahal masyarakat sekitar sudah berharap pembangunan bandara dapat meningkatkan kunjungan wisata ke daerah Kulon Progo.
UMKM yang terancam tidak mendapat pelanggan karena pembangunan jalan tol Bandara Yogyakarta International Airport
Dengan pembangunan jalan tol maka akan banyak orang yang “hanya lewat” saja dan tidak mengunjungi Kulon Progo untuk berwisata. Padahal di Kulon Progo cukup banyak wisata seperti pantai, hutan mangrove, dan air terjun yang menarik untuk dikunjungi.
Eksternalitas negatif lainnya dirasakan oleh UMKM yang terancam tidak mendapat pelanggan karena pembangunan jalan tol Bandara Yogyakarta International Airport. Keadaan tersebut akan membuat banyak mobil yang awalnya mau singgah untuk mencari makan dan oleh-oleh di warung-warung di jalan sekitar bandara beralih menggunakan jal tol dan mencari makan siang di dalam bandara. UMKM tidak memiliki modal untuk sewa tempat di dalam bandara yang mahal. Kondisi tersebut menguntungkan restoran yang memiliki modal besar dan sudah terkenal.
Pembangunan jalan tol Bandara Yogyakarta International Airport juga memiliki eksternalitas positif berupa akses yang mudah dan cepat menuju bandara. Dilihat dari eksternalitasnya maka dapat disimpulkan banyak hal yang negatif dan merugikan masyarakat sekitar bandara serta menguntungkan pihak-pihak yang memiliki modal besar seperti kontraktor pemenang tender dan restoran bermodal besar.
Pemerintah seharusnya tidak membangun jalan tol Bandara Yogyakarta International Airport dan lebih memikirkan ekonomi masyarakat di sekitar bandara yang sangat berharap keberadaan bandara dapat meningkatkan perekonomian mereka. Jika tujuan pembangunan jalan tol untuk mempermudah akses, maka pemerintah cukup memperlebar dan memperbaiki jalan non tol yang menghubungkan kota Yogyakarta dengan Bandara Yogyakarta International Airport.
Hal tersebut merupakan win-win solution yang menguntungkan segala pihak. Kontraktor mendapat tender pelebaran dan perbaikan jalan, masyarakat Kulon Progo mendapat pengunjung yang meramaikan tempat wisata dan pembeli UMKM yang meningkat.
Tito Rinaldi, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN Jakarta