Sore itu, dua tahun yang lalu, saat semuanya dimulai. Berawal dari sebuah pertemuan singkat yang mengesankan. Saat itu lembayung senja sedang menyelimuti bumi. Matahari mulai melenyapkan eksistensinya. Seakan mengerti ini adalah waktu untuk membiarkan bulan bersama dengan bumi.
Aku terpana olehnya. Bukan,bukan kamu, Senja. Aku sama sekali tidak terpana oleh keindahanmu. Langit yang berwarna merah keunguan itu lebih menarik perhatianku. Bukan kamu, Senja!
Sudah hampir dua pekan lamanya, seperti orang bodoh, aku masih kembali ke tempat ini. Tempat yang selalu membawaku ke masa lalu. Tempat yang selalu membawa memoriku tentangmu. Ini lucu dan mungkin kau akan tertawa jika aku berkata bahwa aku mendambakanmu hadir ditempat ini lagi. Mendambakanmu untuk kembali dan kita bisa membuat lebih banyak memori di sini. Lucu bukan? Bagaimana kalau aku mengenalkan diri? Hai, aku adalah bulan yang sedang mendamba kehadiran matahari di malam hari.
__
Sore itu aku pergi meninggalkan rumahku untuk menuju tempat favoritku. Aku sangat menyukai pemandangan langit di sore hari. Langit sore seperti obat untukku. Perpaduan warna yang apik, mampu meluruhkan semua masalahku. Ya.. meskipun sementara. Setibanya aku disana aku langsung menuju ke spot favoritku. Sayangnya, spot itu sudah ditempati oleh seseorang.
Itu spot terbaik untuk melihat langit dan senja dengan jelas. Aku sudah sampai disini, jadi apapun ceritanya, aku tetap harus melihat langit senja. Lagipula, ini tempat umum . Setiap orang bebas untuk duduk di tempat favoritnya, bukan? Aku melangkahkan kakiku kesana.
“Misi, boleh saya duduk disini?”
“Silahkan”
“Terimakasih”
Dia tidak menunjukkan reaksi apapun, sangat dingin. Perilakunya berbeda 360 derajat dengan keindahan yang ada didepan mataku saat ini. Aku sedikit melirik kearahnya. Memastikan dia tidak terganggu dengan kehadiranku. Dia terlihat sangat dingin. Tapi, cara dia menatap kososng ke depan membuatku menyadari sesuatu.
Sepertinya… dia sedang mengalami tekanan yang cukup berat. Mungkin, alasan dia untuk mengunjungi tempat ini sama dengan alasanku. Biarlah, pemandangan langit lebih menarik daripada menebak informasi tentang dia.
Tiba-tiba saja saat aku sedang menikmati pemandangan, ia mengucapkan satu kata
“Senja”
“Nama kamu Senja?”
Laki-laki itu mengangguk cepat.
“Nama yang indah”
Dan aku melihat rona merah menjalar di sekitar pipinya. Entah mengapa ada seulas senyum dibibirku, merasakan sesuatu yang berbeda dari dalam dirinya.
Setelah hari itu berlalu, aku dan Senja selalu mengunjungi tempat itu. Duduk bersebelahan dan mempunyai banyak bahan obrolan. Ya… kita semakin dekat dan aku merasa semakin nyaman jika berada disisinya.
Aku mengingat semua kata-kata manisnya. Senyumannya, dan semua hal menyangkut tentangnya menjadi memori indah yang terekam jelas dikepalaku. Tapi satu hal yang membuatku membencinya. Selayaknya senja pada hakikatnya, dia datang membawa keindahan, membuat seluruh dunia memujanya. namun keindahannya hanya belangsung sementara. Saat malam datang, semua berubah menjadi gelap.
“Tolong jangan mencintaiku terlalu dalam, hal itu akan menyakitimu.” Aku sekarang paham makna dari kata-katamu merujuk pada kenyataan ini, kenyataan bahwa kau dan keindahanmu meninggalkanku lebih dulu, untuk selamanya.
__
Disini, ditempat pertama kali kita berjumpa, aku masih setia menunggumu hadir. Saat langit menunjukkan senjanya, aku berharap kau juga ada disana. Tersenyum kepadaku dan menceritakan banyak cerita. Namun, kenyataannya bayangmu saja tak kasat oleh mata.
Aku masih disini dengan cerita yang sama dan aku merindukanmu dengan sangat setia, Senja. Aku selalu berdoa setiap langit melukiskan senjanya. Doaku adalah agar aku bisa bahagia disini, tanpamu. Dan dengan begitu, kau juga bisa tersenyum bahagia dari tempatmu berada. Aku harap senja bisa menenggelamkan rinduku padamu. Merindukan mu rasanya hatiku seperti tersayat oleh belat.
Dan sekarang, senja sudah terlelap, bersama dengan semua anganku tentang dirimu. Terimakasih telah memberiku satu pelajaran berharga. Berkatmu, aku menjadi lebih banyak bersyukur dan menikmati momen berharga di hidupku. Karena aku tahu, kadang-kadang Tuhan menciptakan sesuatu yang sangat indah, tetapi hanya berlangsung sementara. Seperti kamu, Senja.
Zafirah Fitrie Adhiyantami, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Comments are closed.