Utang Negara Membebani Generasi Mendatang ?

0
1606

Pada awal tahun 2019 ini, perdebatan tentang utang Indonesia memanas. Apalagi pada tahun politik, isu ini menjadi lalapan yang renyah untuk digoreng, hingga jabatan Menteri Pencetak Utang pun ‘muncul’ dalam sederet jabatan Menteri Keuangan. Generasi muda pun mulai ketar-ketir, ketakutan.

Dengan rasionalitas terbatas, ketakutan ini pun terjustifikasi. Kalau sekarang berutang, yang melunasi ya pasti generasi mendatang. Dengan demikian, utang Indonesia yang ‘menggunung’  saat ini menjadi beban bagi generasi mendatang. Namun, benarkah demikian ? Dan bagaimana generasi muda saat ini seharusnya melihat utang tersebut ?

Produktivitas antargenerasi

Dalam ilmu keuangan publik, ada istilah yang disebut dengan intergenerational equity, yang artinya perlakuan generasi mendatang yang relatif terhadap generasi sekarang. Salah satu contoh adalah seperti yang telah disebutkan di atas. Kebijakan fiskal pemerintah sekarang untuk melakukan utang memang akan menjadi beban bagi generasi mendatang untuk keuntungan generasi sekarang.

Namun, hal ini tidaklah sepenuhnya benar. Menurut Jonathan Gruber, seorang profesor ilmu ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat, hal yang dipertimbangkan dalam intergenerational equity adalah bukan hanya jumlah utang yang akan dilunasi generasi mendatang, tetapi kenaikan standar hidup generasi mendatang dari kebijakan utang yang dilakukan pemerintah saat ini.

Standar hidup saat ini tentu lebih baik dari pada 30 atau 50 tahun lalu. Anak yang lahir pada milenia ketiga mungkin tidak tahu apa itu tape kaset pita, mereka mungkin hanya mengetahui Spotify, JOOX, dan platform musik lainnya. Atau, pada zaman kakek- nenek kita, mempunyai kendaraan pribadi atau jalan yang mulus adalah hal yang sangat jarang terjadi. Sedangkan sekarang kita mengeluh akan jemputan ojek daring yang lama dan jalan aspal yang berlubang. Dengan kata lain, produktivitas antargenerasi semakin meningkat.

Tujuan penerbitan utang

Dari paparan di atas, kita pun perlu menelisik Undang-undang APBN. Apakah utang pemerintah digunakan untuk meningkatkan produktivitas generasi mendatang ?. Dalam UU APBN 2019, pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif yang membuat pengeluaran negara lebih besar dari pendapatan negara. Timbullah defisit anggaran yang menyebabkan ada pembiayaan  melalui penerbitan utang.

Selain utang menutup defisit anggaran, kebijakan itu bertujuan untuk mengakselerasi pembangunan insfrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketertinggalan insfrastruktur dan masalah konektivitas mengakibatkan biaya ekonomi yang mahal. Berdasarkan Indeks Insfrastuktur Tahun 2017-2018, Indonesia berada pada peringkat 52, masih jauh dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Selain mengejar ketertinggalan insfrastruktur, kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas  Sumber Daya Manusia (SDM) melalui alokasi anggaran pendidikan dan perlindungan sosial. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2017, Indonesia masih berada pada peringkat 116 dari 189 negara. Masih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara.

Pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar lainnya untuk meningkatkan kualitas SDM menjadi kebutuhan yang mendesak dan tidak bisa ditunda, mengingat IPM Indonesia relatif rendah. Apabila ditunda, kita bisa kehilangan momentum di masa mendatang dan biaya pembangunan-pembangunan tersebut pun akan semakin mahal. Salah satu kebijakan pemerintah dalam pengembangan kualitas SDM adalah meningkatkan Dana Abadi Pendidikan yang dikelola oleh LPDP.

Apa manfaat utang?

Tentu, pembangunan insfrastruktur, pendidikan, kesehatan merupakan investasi jangka panjang, yang mempunyai multiplier effect  besar di masa mendatang. Generasi masa mendatang pun akan merasakan produktivitas dari pembangunan-pembangunan saat ini yang dibiayai dari utang.

Pada tahun 2045, Indonesia diperkirakan menjadi salah satu dari tujuh negara dengan perekonomian yang besar di dunia. Bonus demografis menjadi peluang Indonesia untuk menjadi salah satu raksasa perekonomian global. Hal tersebut tidak mungkin akan terjadi jika pemerintah tidak memprioritaskan pembangunan insfrastruktur yang masif dan peningkatan kualitas SDM.

Produktivitas itu tidaklah akan datang dari langit dalam seketika

Sebagai generasi muda, kita memang perlu kritis terhadap kebijakan utang pemerintah, namun, seperti dikatakan Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, kita perlu melihat tujuan dari utang itu. Bukan jumlahnya saja. Apabila kita hanya melihat dari jumlahnya saja, kita akan kehilangan konteks dari pembiayaan melalui utang.

Anak muda saat ini berhak untuk menjadi aktor dari perekonomian yang produktif di masa mendatang. Produktivitas itu tidaklah akan datang dari langit dalam seketika. Kebijakan yang berkelanjutan dari tahun ke tahun tentu akan menunjukkan progres dan manfaat.

Raymondo Sitanggang, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN