Bicara mengenai artikel opini, pemikiran saya langsung tertuju pada kolom artikel opini di media massa cetak yang dari kecil saya lihat umumnya ditulis oleh orang-orang akademisi. Entah itu guru besar, pakar, rektor, dosen, yang sering muncul di koran nasional, dan beberapa orang guru sekolah dasar di koran daerah tempat tinggal saya, yakni di Sumatera Barat.
Sejak kecil, koran adalah teman kedua saya setelah majalah Bobo. Jadi ketika mengetahui bahwa di semester ini akan mempelajari bagaimana cara menulis artikel opini, saya serasa flashback ke masa kecil ketika saya harus berulang-ulang kali membaca sebuah opini di koran yang bahasanya sangat berat untuk anak kecil seusia saya pada saat itu.
Apakah pada tulisan opini harus menggunakan bahasa yang berat?, saya kira pertanyaan itu hanya saya sendiri yang memikirkan, karena ketika awal kelas artikel opini saya lihat rekan-rekan jurnalistik tidak ada yang mempertanyakan hal ini. Hingga akhrinya sampailah pada bahasan sebuah buku yang ditugaskan untuk diapresiasi.
Baru-lah saya mengetahui bahwa bahasa yang digunakan dalam penulisan artikel opini itu tidak harus menggunakan bahasa yang berat. Bahasa yang digunakan untuk menulis sebuah artikel opini adalah bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, sehingga maksud yang hendak disampaikan oleh penulis dapat dimengerti denagn baik oleh pembaca.
Pada mata kuliah penulisan artikel dan tajuk rencana (PATR) ini, dipenugasan pertama mahasiswa jurnalistik diminta untuk membuat sebuah opini mengenai harapan untuk rektor Unpad nantinya. Saya yang notabenenya juga merupakan kru presma dJatinangor, juga pernah membahas masalah mengenai sengkarut pemilihan rektor Unpad ini di rapat redaksi. Sejak isu masalah pemilihan rektor hingga akhirnya rektor yang sekarang terpilih.
Akan tetapi produk tulisan tersebut berupa berita khas dan berita langsung, bukan sebuah artikel opini. Ketika pada penugasan awal diminta untuk membuat opini mengenai harapan untuk rektor baru Unpad, berbagai macam persoalan Unpad yang sudah kenyang dibahas di rapat redaksi dJatinangor sebelumnya mulai bermunculan di pikiran saya.
Entah itu mulai dari birokrasi Unpad yang sulit, hingga sarana dan prasarana yang tidak memadai. Akhirnya saya mencoba memberanikan diri untuk menulis harapan saya melalui sebuah artikel opini dengan judul “Surat Cinta Untuk Rektor”, yang berhasil membuat rekan-rekan kelas senyum bahkan tertawa ketika mendengar judul saya.
Opini yang saya buat tersebut bukan hanya hasil pemikiran saya saja, untuk memverifikasi permasalahan yang dialami oleh mahasiswa Unpad. Saya mengonfirmasi lagi kepada pihak-pihak terkait yang nantinya akan saya bahas di artikel opini saya.
Baca ulang
Setelah tulisan opini ini selesai, saya membaca berulang kali agar tulisan ini tidak terkesan menjelek-jelekan Unpad, karena sebagian besar yang saya paparkan yaitu terkait permasalahan Unpad. Ada rasa tidak percaya diri sekaligus takut ketika saya memberanikan diri untuk mengirim tulisan saya ini ke media massa.
Tidak percaya diri karena tulisan saya saya nilai belum cukup memenuhi standar redaksi koran, dan takut jika tulisan saya malah dinilai menjatuhkan nama Unpad di mata masyarakat.
Akhirnya, saya meminta pendapat dari beberapa teman, dan umumnya kalimat yang terlontar ialah, tidak apa-apa, ini bukan menjelek-jelekan Unpad, kenapa harus takut? Memang faktanya keadaan Unpad seperti itu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengirim artikel opini saya ke redaksi opini Pikiran Rakyat.
Meskipun sudah meminta pendapat dari teman-teman yang lain, hati saya tetap gelisah, saya takut opini tersebut benar-benar dimuat dan akan dibaca oleh civitas akademisi Unpad, berbagai jenis hal-hal buruk hilir mudik di pikiran saya, tapi di lain sisi saya selalu menepisnya dengan pemikiran, enggak akan dimuat, tulisan saya masih jelek dan dangkal. Ya begitulah kira-kira.
Sampai suatu hari saya dihubungi via WhatsApp oleh redaktur Pikiran Rakyat yang mengatakan bahwa tulisan saya akan dimuat di rubrik kampus dan beliau meminta saya mengirim foro dan identitas saya. Saat itu perasaan saya campur aduk, saya senang akhirnya impian saya menulis di koran tercapai, dan dilain sisi ketakutan saya yang kemarin-kemarin akan terjadi.
Pagi itu, 16 November 2019, pukul 7 pagi, saya melajukan sepeda motor ke loper koran dengan hati yang campur aduk, akhirnya tulisan saya dimuat di koran. Padahal sebelum ini tulisan-tulisan saya juga pernah di muat di media daring, tapi vibes ketika dimuat di koran ini beda.
Ketakutan saya yang kemarin seolah sirna ketika mendengar ada penuturan yang lebih “pedas” mengenai permasalahan Unpad yang diucapkan langsung oleh mahasiswa kepada calon-calon rektor Unpad. Jadi saya rasa permasalahan Unpad ini bukan lagi menjadi sebuah rahasia guna menjaga citra Unpad.
Inti dari membuat sebuah artikel opini yakni yakin dan percaya diri, kepercayaan diri itu akan tumbuh dengan sendirinya ketika satu dari sekian banyak tulisan yang kita buat akhirnya dimuat. Beranilah untuk memulai, urusan penilaian apakah tulisan saya pantas atau tidak, itu urusan redaktur, jika satu tulisan yang kita kirim tidak dimuat, masih ada waktu untuk kita belajar dan memperbaiki kualitas tulisan kita. Tidak ada penulis yang lahir instan dan langsung bisa menulis, semua butuh proses.
Saya rasa untuk menulis sebuah artikel opini, kita tidak hanya dituntut untuk peka terhadap isu yang dapat dikritisi, tetapi juga perlu relasi yang baik agar tulisan yang kita buat dapat didukung dengan data-data yang akurat.
Tulisan kedua saya pada semester ini dimuat di AyoBandung.com, yaitu mengenai hari kesehatan sedunia. Pada awalnya, tulisan ini saya buat untuk memperingati Hari Dokter pada 24 Oktober 2019, mengangkat topik tentang tidak meratanya persebaran dokter di Indonesia. Akan tetapi, tulisan tersebut tidak sempat saya tulis dan beberapa hari sebelum Hari Kesehatan Sedunia saya mendapatkan ide tulisan dari data-data yang diberi oleh teman saya dari Fakultas Kedokteran Unpad.
Selama saya menulis di media massa, ini adalah waktu pemuatan tulisan tercepat yang pernah saya alami. Pagi itu, 12 November 2019, pukul 06.30 WIB saya mulai menulis, pukul 08.00 WIB saya mengirim ke redaksi AyoBandung. Berselang dua jam, tulisan saya langsung di muat dengan judul : “Hari Kesehatan Nasional : Persebaran Fasilitas Kesehatan Indonesia Tidak Merata”.
Memang, membangun kepercayaan diri untuk mengirim tulisan ke media massa itu tidak mudah, apalagi diiringi dengan membandingkan tulisan kita dengan tulisan orang lain yang kita nilai lebih bagus karena bahasa yang ia gunakan lebih berat. Tapi dari sini saya belajar bahwa setiap orang punya gaya bahasa tersendiri, tulisan seseorang mencerminkan diri orang tersebut.
Oleh karena itulah ketika melihat tulisan orang lain, meskipun teman sendiri, saya tidak lagi merasa rendah diri, tetapi menerima dan tidak membading-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Jadi, jangan tunggu percaya diri dahulu baru mengirim tulisan, beranikan mengirim tulisan dahulu, kepercayaan diri akan mengiringimu nantinya.
Suci Wulandari Putri, mahasiwa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Bandung.