Mengapresiasi Kebudayaan Negeri Sakura Melalui Festival Bunkasai

60
1725

Saat ini aneka kebudayaan dari Jepang yang juga disebut Negeri Matahari Terbit sudah akrab dengan sebagian  masyarakat Indonesia berkat adanya jalinan kerjasama, pertukaran pelajar dan budaya. Hal itu ditunjukkan dalam bentuk tayangan animasi Jepang, maraknya rumah makan khas Jepang, barang impor asal Jepang, dan permainan kostum karakter fiksi Jepang. Dalam lingkungan sekolah, tidak sedikit sekolah yang memberikan pengajaran Bahasa Jepang sebagai mata pelajaran lintas minat.

Diluar pembelajaran bahasa Jepang, di sekolah juga ada Festival tahunan Bunkasai. Festival tersebut adalah salah satu contoh bentuk apresiasi terhadap kebudayaan Jepang yang diadakan oleh Permusyawaratan Guru Mata Pelajaran (PGMP) Bahasa Jepang se-Jabodetabek.

Nama acara ini diambil dari kata dalam bahasa Jepang, yaitu bunka dan sai – masing-masing memiliki makna kebudayaan dan festival. Tahun ini merupakan kesempatan ke-18 PGMP menyelenggarakan acara yang telah diadakan sejak tahun 2001 dan merupakan kesempatan kedua SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan menjadi tuan rumah.

Dengan tagline acara “Menuju Gemilang Kerja Sama Indonesia – Jepang Dalam Era Reiwa”, Bunkasai ke-18 diadakan pada Sabtu (16/11/2019). Dalam acara yang dimulai pukul 09.00, ada dua kegiatan umum, yaitu pengenalan budaya Jepang dan lomba yang menguji kemampuan berbahasa Jepang.

Acara itu melibatkan sekitar 1.300 orang dari 45 sekolah di kawasan Jabodetabek. Kepanitian dilakukan oleh tuan rumah, peserta festival para siswa se-Jabodetabek, juri dari dewan PGMP Bahasa Jepang se-Jabodetabek, sementara pengisi acara dari Nihongo Partners dan Japan Foundation.

Kelas menulis kaligrafi kanji. Foto: Tristan Jachremi

Kegiatan pengenalan budaya Jepang terdiri dari empat bidang yang ditampilkan dalam ruang tersendiri, mulai dari upacara minum teh, membuat makanan khas Jepang, pemakaian pakaian tradisional Jepang, sampai menulis kaligrafi. Acara ini didemonstrasikan serta dipandu oleh orang dari Jepang.

Pemandu menyampaikan materi secara lisan dan memeragakan agar peserta dapat menirunya. Dengan cermat, pemandu acara mengingatkan apabila terdapat peserta yang kurang tepat ketika menerapkannya. Untuk mengurangi penumpukan peserta dan mengingat keterbatasan ruang, maka panitia melakukan pembagian sesi kegiatan yang masing-masing putaran berlangsung selama 40 sampai 60 menit. Jumlah peserta pada setiap sesi diisi dengan jumlah rata-rata 20 peserta.

Dalam kebudayaan Jepang, upacara minum teh dikenal dengan istilah sadou – dilakukan pada saat menerima tamu yang berkunjung ke kediaman seseorang. Siswa yang mencoba kegiatan ini diharuskan duduk berhadapan dan masing-masing meja diisi oleh tiga sampai empat siswa.

Berikutnya, siswa juga diperkenalkan dengan membuat makanan khas Jepang, Takoyaki. Siswa dipandu untuk mencampur bahan dasar adonan sampai makanan siap untuk disantap. Kegiatan ini dilakukan berkelompok dan peserta mencatat alat dan bahan serta cara memasak dalam lembar kerjanya.

Dalam pengenalan pemakaian tradisional Jepang, Yukata modern, peserta dipasangkan laki-laki dan perempuan yang berjumlah 10 pasang pada tiap sesinya. Pengenalan bahan kain, motif, dan cara berpakaiannya disampaikan dengan baik. Pengenalan budaya yang terakhir adalah menulis kaligrafi huruf kanji.

Peserta disediakan kertas, kuas, dan tinta untuk belajar melukis tebal tipisnya goresan yang akan membentuk sebuah huruf bermakna. Peserta dibebaskan untuk menulis kaligrafi mengikuti contoh yang terdapat di papan tulis. Pemandu akan mendatangi satu per satu meja untuk memastikan peserta dapat melakukannya dengan baik.

Pada tahun ini lomba yang dipertandingkan terdiri dari beberapa cabang, yakni lomba nihongo shiken, rodoku, presentasi, mini drama, dan pidato. Peserta lomba nihongo shiken, yaitu Muhammad Pasha (MAN 4 Jakarta), Erlangga (SMA Labschool Kebayoran), dan Dilla (MAN 4 Jakarta), menyampaikan perasaan dan keluhan kala mengerjakan soal.

Menurut mereka yang telah memiliki sertifikasi JLPT level N4, soal yang diujikan lebih mudah dibandingkan dengan ujian JLPT – mengingat tolak ukur soal dalam perlombaan ini menggunakan standar JLPT level N5. Namun ada soal yang membuat mereka kebingungan, yaitu pertanyaan umum tentang genre musik dan kurang luasnya kosakata yang dikuasai. Para peserta berpendapat, dalam lomba Nihongo Shiken yang diujikan seharusnya kemampuan berbahasa peserta, bukanlah pengetahuan umum peserta.

Penampilan dari perlombaan mini drama berbahasa Jepang

Penampilan teater Enjuku juga memeriahkan acara ini. Sebagai informasi, Enjuku adalah kelompok teater berbahasa Jepang yang beranggota 30 orang, dengan personel berasal dari Indonesia. Kelompok teater yang dipelopori oleh orang berkebangsaan Jepang ini sudah sering tampil di berbagai acara, bahkan sempat menunjukkan bakatnya di Jepang.

Dalam festival ini, ada sebuah permainan yang menguji adrenalin pengunjung. Dengan bermain di rumah hantu yang bertarif masuk atau berbayar. Pengunjung diharuskan menyelesaikan sebuah misi secara berkelompok. Ruangan yang gelap dan berbilik, keberadaan hantu di sudut-sudut bilik, suara musik khas rumah hantu, serta pintu akses pintu masuk yang dikunci dari luar akan menambah nuansa horor.

Menurut pengakuan panitia yang bertanggungjawab dalam ruangan ini, ada beberapa peserta yang takut sampai teriak menjerit-jerit dan juga ada yang menantang keberadaan hantu yang ada.

Lomba pidato 

Menurut ketua pelaksana, Sabar Derwaman S, lomba pidato tahun ini akan menjadi lomba untuk terakhir kalinya dalam Festival Bunkasai. Panitia berpendapat, lomba presentasi dinilai lebih luas dan terbuka, mengingat adanya tayangan presentasi dan kesempatan tanya-jawab yang menjadi tantangan bagi peserta.

Setelah perhelatan itu berakhir, juara pertama dan kedua dari lomba pidato akan ditandingkan di tingkat nasional. Juara pertama sampai ketiga di tingkat nasional berhak mendapatkan kesempatan untuk tampil di sebuah acara di Jepang.

Pada lomba pidato, tema tidak mengikat sehingga peserta bebas menyampaikan pidatonya. Mulai tahun depan, lomba pidato akan digantikan oleh lomba presentasi. Lomba presentasi merupakan lomba yang bersifat uji coba pada saat ini, sebab tahun ini merupakan penyelenggaraan pertama dengan mengakat tema komunikasi di masa yang akan datang. Dengan demikian, lomba presentasi akan mulai ditandingkan pada tingkat nasional mulai tahun depan.

Kepanitian PGMP dan Tim dari Japan Foundation. Foto: Tim Dokumentasi Bunkasai 2019

Tuan rumah

“Pemilihan tuan rumah itu berdasarkan lokasi juga. Kami perkumpulan PGMP se-Jabodetabek. Jadi kalo tahun kemarin (lalu) di Jakarta, tahun ini di luar Jakarta. Kalo sekarang udah di Tangerang, ya nanti tahun depan di luar Tangerang, bisa Bekasi, bisa Depok. Memang ditawarkan juga ke guru-gurunya, ada yang bersedia, (tapi ada) yang enggak (bersedia) jadi tuan rumah,” ujar Sabar saat ditanya tentang pemilihan tuan rumah Bunkasai.

Tahun ini menjadi peluang yang baik bagi ketua pelaksana yang berkeinginan untuk menutupi kekurangan terhadap penyelenggaraan Moonkasai – festival kebudayaan Jepang untuk internal SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan – yang diadakan beberapa waktu silam.

Penawaran dan pengajuan sekolah tempat mengajarnya sebagai tuan rumah direspon positif oleh dewan PGMP dan kepala sekolah, Neng Nurhemah. Dengan bantuan kerja sama antara guru dan siswa melalui OSIS-MPK SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, acara ini dapat disiapkan dan dilaksanakan dengan baik. Ketua pelaksana merasakan acara ini ramai oleh pengunjung dan acara berjalan sesuai harapannya.

Penyelenggaraan acara ini juga membawa keuntungan tersendiri bagi Sabar Dermawan, yaitu berkesempatan menjadi ketua pelaksana dalam acara festival tingkat se-Jabodetabek, sebab menambah pengalaman, dan menciptakan kesan menarik tersendiri.

Ketua pelaksana juga menyampaikan ajang tersebut dapat dimanfaatkan oleh panitia yang terdiri dari siswa untuk menambah pengalaman organisasi. Sabar juga memiliki impiannya untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi siswa dengan guru pada perhelatan acara di masa yang akan datang.

Kegiatan apresiasi budaya juga dijadikan sebagai kancah untuk unjuk bakat dalam bidang kesenian. Pengunjung juga dapat melakukan pembelajaran terhadap kebudayaan lain yang ada di dunia ini. Melalui kegiatan itu, diharapkan pengunjung dapat menghargai perbedaan budaya yang ada dan menerima keberadaan masyarakat yang multikulturalisme.

Tristan Jachremi Caesarius, Siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, Magangers Kompas MuDa Harian Kompas Batch XI Tahun 2019