Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) lagi-lagi ditolak oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Mereka menggelar aksi di Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 31 Oktober 2019 lalu dengan tuntutan kenaikan UMP sebesar 15 persen. Mereka memiliki hitungan sendiri berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 2003.
Kenaikan UMP menurut mereka, seharusnya didasarkan kepada 78 item kebutuhan hidup layak (KHL). Sebagai informasi, Pemerintah mengukur kenaikan UMP berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Hitungan Pemerintah didasarkan pada PP 78/2015 tentang pengupahan.
UMP selalu menjadi topik hangat setiap tahun. Wajar saja, UMP sangat memengaruhi kesejahteraan buruh dan keuangan perusahaan. Bagi Perusahaan, wages expense sangat berpengaruh pada laba bersih. Ketika kenaikan upah irasional, manajemen perusahaan memilih jalan rasional. Pilihannya ada dua, perampingan buruh dengan penggantian mesin, atau relokasi ke daerah dengan UMP lebih rendah.
Data KSPI menunjukkan, setidaknya ada 10.000 buruh terancam PHK. Hal itu karena industri sedang mendapat tantangan berat untuk menjaga kelangsungan bisnisnya. Keadaan itu merupakan sebuah ancaman bagi buruh karena mereka beresiko kehilangan pekerjaannya.
Selain itu, beberapa perusahaan di Jabodetabek mulai memindahkan pabriknya ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. Contohnya Panarub Grup yang memindahkan pabriknya dari Tangerang ke Brebes. Apa alasan utama relokasi tersebut? UMP Tangerang,Banten terlalu tinggi.
Ruh tuntutan kenaikan UMP adalah kesejahteraan buruh. Jika ditelisik lebih dalam, terdapat trade-off yang dialami perusahaan. Expense yang dikeluarkan turut dinikmati dengan semakin banyak produk perusahaan yang terserap di pasar. Multiplier effect pun terjadi.
Disayangkan, multiplier effect hanya terjadi jika perusahaan tersebut memiliki pasar dalam negeri. Lain hal ketika pasar mereka di luar negeri, maka multiplier effect ini tidak berlaku. Bagi manajemen, untuk apa menaikkan expense namun tidak dapat meng-generate laba sebesar-besarnya.
Kesejahteraan buruh sejatinya tidak hanya dituntut, namun perlu langkah strategis sebagai alternatif untuk menambah kesejahteraan para buruh. Salah satu cara, dengan memiliki saham perusahaan tempat buruh tersebut bekerja. Upah yang dipotong tiap bulan oleh serikat buruh digunakan untuk memborong saham hingga memiliki kekuataan di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Cara itu memungkinkan buruh turut andil menentukan masa depan perusahaan. Selain itu, buruh mendapatkan hak berupa deviden ketika laba bersih perusahaan surplus. Deviden tersebut tentunya memicu kinerja buruh. Win-win solution terjadi. Perusahaan sehat, buruh sejahtera.
Nur Alif Trisnawan, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN Jakarta