Tidak Naik Kelas Bukanlah Akhir dari Segalanya

0
749

Tidak naik kelas bukanlah akhir dari segalanya, ungkapan itu hampir dirasakan oleh  Ibnudzar Al- Ghifary yang kini sedang menempuh pendidikan di jurusan Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta di Depok, Jawa Barat.

Ketika menempuh pendidikan sekolah menengah atas, Ibnu pernah tidak naik kelas. Keadaan itu terjadi bukan karena dirinya sering bolos atau malas belajar, namun ketidakmampuan dirinya dalam menerima pelajaran yang dipilihkan oleh ibunya.

“Waktu mau masuk SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), saya dipilihkan ibu saya untuk memilih Jurusan Farmasi di SMK Farmasi Harapan Massa, Depok, Jawa Barat,” tutur Ibunu pada Rabu (6/11/2019). Sadar kemampuannya dalam pelajaran tertinggal jauh dari temannya, Ibnu dengan berjalannya waktu sudah berusaha belajar. “Saya paksa untuk suka, ternyata kemampuan dan pasion saya bukan disitu (jurusan farmasi),” lanjutnya.

Pembuktikan

Ibnu mengakui, dirinya waktu hampir saja tidak naik kelas. Namun, sekolah memberi kebijakan, ia bisa naik kelas dengan syarat harus pindah sekolah. Ibnu ingin membuktikan bahwa dirinya mampu pada pelajaran yang ia pilih nantinya. Akhirnya Ibnu pindah ke SMK 112 Fajar, Depok, mengambil jurusan administrasi perkantoran.

Sumarni, ibu Ibnu yang juga guru di SMK Putra Bangsa, Depok, Jawa Barat, sempat  bersedih hati saat mengetahui anaknya tidak naik kelas. Waktu itu wali kelas Ibnu di jurusan farmasi tidak ada komunikasi terhadap Sumarni tentang kondisi anaknya yang tidak bisa menyerap pelajaran dengan baik di sekolah.

Menurut Sumarni, sebagian besar anak yang tidak naik kelas nyaris selalu dicap bodoh, padahal cap semacam itu tidak benar. “Jika dibayangkan bahwa tinggal kelas itu selalu terkait soal otak. Itu sama saja murid pintar bisa bebas masuk sekolah karena dirinya sudah pintar. Berbeda dengan murid yang rajin, namun hanya saja dirinya tidak bisa menyerap pelajaran dengan baik,” ujar Sumarni.

Ia yakin anaknya adalah anak yang rajin, tetapi perempuan itu sadar ada kondisi yang membuat Ibnu gagal. Sumarni menyadari kegagalan Ibnu karena tekanan agar memilih jurusan farmasi yang ternyata sang anak tidak mampu menyerapnya dengan baik.  Akhirnya Sumarni memberikan kebebasan kepada Ibnu untuk memilih program studi yang Ibnu inginkan.

Mahasiswa dan wirausaha

Ibnu membuktikan kemampuannya. Ketika memasuki pendidikan di Politeknik Negeri Jakarta, ia tak hanya sibuk kuliah tapi sudah mampu membuat kedai makanan. Ia mencoba membuktikan pendidikan yang saat itu hampir tidak ia selesaikan bukan berarti akhir dari segala impian dan kehidupannya.

Ibnudzar Al-Ghifary berada di depan warung “Warmil” miliknya di Beji, Depok.

Sejak 1 November 2019, Ibnu telah membuka kedai makanan miliknya bernama WARMIL (Warung Nyemil). Kedai ini terletak di Cafetaria 288 Jl. Ridwan Rais  Beji Timur, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat.

Kedai yang ia dirikan buka setiap hari mulai pukul 15.00 sampai pukuk 23.00. Warung tersebut menyediakan beberapa masakan dan minuman yang harganya berkisar Rp8.000 sampai Rp15.000 sesuai kemampuan kantung pelajar dan mahasiswa.

Ibnu mengakui, Motivasi dirinya mendirikan kedai makanan karena ingin membuktikan bahwa dirinya bisa sukses, kendatipun pernah hampir tidak naik kelas. “Saya ingin membuktikan bahwa sukses itu awalnya dari kita. Kita gagal itu berarti harus berusaha lebih lagi,” ujarnya.

Ia berharap kelak kedai yang ia dirikan maju dan sukses, bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta bisa memotivasi orang-orang yang memiliki pengalaman seperti dirinya.

Menurut ibnu, kesuksesan seseorang ditentukan oleh mau atau tidaknya seseorang itu berusaha dan siap gagal. “Saya berpegang teguh bahwa setiap orang memiliki jalan kesuksesannya masing-masing,” katanya.

Fahjie Prasetyo Mahasiswa Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Program Studi D-3 Penerbitan (Jurnalistik) – Politeknik Negeri Jakarta.