Siapa bilang hubungan asmara hanya membutuhkan cinta dan kelembutan hati? Nyatanya, menjalin hubungan asmara turut membutuhkan nalar atau logika. Alasannya sederhana: menjaga diri sendiri agar tidak hidup dalam batin yang tersiksa.
Hubungan beracun atau sering dikenal dengan istilah toxic relationships bukan jadi hal asing di telinga masyarakat. Sebut saja kasus penganiayaan Ardina Rasti oleh sang kekasih, Eza Gionino, pada 2013 silam atau kekerasan fisik terhadap model Dylan Sada yang baru-baru ini menghebohkan jagat media sosial. Namun, toxic relationships tak hanya sebatas penganiayaan fisik.
Diskusi bertajuk “How To Get Out of Toxic Relationships” bersama sexual health activist and dating coach Andrea Gunawan dan clinical psyhcologist Inez Kristanti dalam acara IDEAFEST 2019 mencoba mendefinisikan dan memaparkan ciri-ciri dari hubungan destruktif tersebut.
“Ini jenis hubungan yang ngebuat elo constantly merasa tertekan, takut jadi diri sendiri, kehilangan kebebasan. Tidak dihargai, tidak berkembang, tidak menjadi pribadi yang lebih baik. Mudahnya, it’s when people ask you “kok gitu sih?” ketika elo curhat ke mereka,” ujar Andrea di Jakarta Convention Center pada Sabtu (05/10/2019).
Kemudian, Inez turut menegaskan bahwa jenis hubungan ini tak hanya terjadi di hubungan asmara tetapi juga berlaku ke hubungan pertemanan, lingkungan pekerjaan, dan bahkan keluarga. Dari kacamata dunia psikologi, hubungan sejatinya diibaratkan sebagai sebuah spektrum dengan dua ujung yakni hubungan sehat dan abusif.
“Hubungan itu ada spektrumnya, jadi bukan tiba-tiba hubungan elo jadi toxic gitu. Misalnya awalnya ideal, lalu lama-kelamaan ada usaha untuk mengontrol atau mendominasi yang membuat hubungan itu mengarah ke arah abusive relationships,” kata Inez dalam kesempatan yang sama.
Pembahasan tersebut berujung pada identifikasi tiga karakteristik toxic relationships yang sepatutnya diwaspadai oleh semua orang. Berikut pemaparannya
Ragu pada diri sendiri
Ketika ada sebuah masalah, idealnya kedua belah pihak saling introspeksi diri dan bermusyawarah menentukan solusi dari konflik tersebut. Nah, hubungan yang tidak sehat cenderung memiliki pihak yang memanipulasi pasangannya soal apa yang terjadi. Pola ini yang membuat diri jadi merasa terus bersalah atau bertanggung jawab atas konflik yang terjadi dalam hubungan.
“Contohnya, gue bilang ke pasangan kalau elo tuh kurang perhatian sekarang. Nah, setelah diomongin kayak gitu pasangan yang melakukan gaslighting itu ya bisa memutarbalikkan fakta jadi seolah kita yang salah,” tutur Inez.
Isolasi sosial
Toxic relationships identik dengan control dan power. Hal ini yang membuat posisi salah satu pihak dominan dibandingkan satu lainnya. Dan pada umumnya pihak yang dominan membatasi hubungan sosial dengan orang lain.
“Ada yang pas jadian, tiba-tiba saja hilang begitu. Hilangnya perlahan, seperti kalau diajak hangout enggak bisa terus. Perginya hanya boleh sama pacarnya saja,” ujar Inez.
Andrea juga membagikan pengalamannya kala berada dalam sebuah toxic relationships. Bagi dia yang berkepribadian ekstrovert, mengobrol dan berdiskusi dengan orang baru bukan sebuah keanehan. Namun pada hubungannya di masa lampau, sang pacar malah menyatakan ketidaksukaannya dan hendak membatasi interaksinya dengan orang sekitar.
“Ya gue kalau lagi di pesawat misalnya, gue selalu ngajak ngobrol orang di samping gue. Terus pas gue ceritain ke pacar gue saat itu, dia bilang dia gak suka dan minta gue untuk enggak begitu. Akhirnya berantem deh,” ujar Andrea menceriterakan pengalaman pribadinya.
Padahal secara psikologis, hubungan yang sehat terbangun atas dasar kepercayaan. Larangan dan aturan yang kadang-kadang tak masuk akal justru membuat seseorang terkekang dan tak berkembang dalam sebuah hubungan.
“Intermittent reinforcements”
Hubungan yang tidak seimbang seringkali berujung dampak psikologis yang tak menentu. Kadang-kadang hubungan bisa sangat menyenangkan, tetapi bisa juga sangat menyedihkan. Kita tidak tahu kapan sang pasangan akan mengangkat ataupun menjatuhkan kita.
“Inilah kenapa orang-orang yang ada dalam hubungan racun tadi bertahan. Dia yakin dia akan diangkat jadi dia melakukan itu terus-menerus,” ujar Inez.
Ketiga ciri tersebut sejatinya berujung pada satu kesimpulan yakni ketika kita tidak bisa menjadi diri sendiri. Dalam artian, diri sendiri lebih sering berpura-pura atau melakukan hal yang tidak disukai hanya untuk menyenangkan pasangan.
Siapapun punya hak untuk mencintai dan dicintai. Namun ketika hubungan tersebut telah menjelma jadi duri beracun yang merugikan kedua belah pihak, ada baiknya hubungan tersebut disudahi. Akan tetapi, Inez kembali menegaskan untuk bijak mengenali karakteristik toxic relationships.
“Jangan pas pasangan kita begitu sekali, kita langsung judge ini hubungan yang enggak baik dan langsung pergi. Malah enggak belajar mengelola sebuah hubungan,” kata Inez.
“Nah, makanya ketika kita ngomongin soal toxic relationships kita ngomongin pola. Apakah terus begitu? Jika sekali ada argumen dengan pasangan ya bisa saja kan itu salah paham, tapi kalau selalu begitu baru deh tanda tanya,” tambahnya.
Diana Valencia, Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, sedang magang di Harian Kompas.