Memulai Pola Makan Bijak Demi Selamatkan Bumi

0
292

“I’m a hungry planet, I had a blue sea

All the people kept chopping down all my finest trees

Poisoning my oxygen, digging in my skin

Takin’ more out of my earth than they’ll ever put there in.

I’m a hungry planet.”

Penggalan lagu dari The Byrds bertajuk “Hungry Planet” tersebut rasanya pas mewakili situasi bumi saat ini. Ada banyak tindakan dan kebiasaan umat manusia yang mengganggu stabilitas kehidupan di bumi, seperti deforestasi besar-besaran, pencemaran laut. Dan juga, pembuangan limbah industri secara sembarangan, dan penggunaan plastik dalam jumlah masif. Intinya, bumi sedang tidak baik-baik saja.

Bagi sebagian orang, keadaan tersebut telah menjadi masalah darurat yang harus dijadikan prioritas bersama. Nah, bentuk perhatian menyembuhkan bumi ini juga diungkapkan dengan berbagai cara. Salah satunya, dengan bijak memilih pola makan.

Tanggung jawab dan prinsip berkelanjutan adalah dua kata kunci yang tepat mendeskripsikan bijak kala memilih pola makan. Untuk mengurangi beban bumi, sebagian masyarakat mulai mengonsumsi makanan berbasis nabati atau menggunakan bahan baku yang ditanam secara berkelanjutan.

Menurut data riset Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), seorang pecinta daging akan menghasilkan pencemaran lebih banyak dibandingkan seorang penganut pola makan vegan. Para karnivor akan menghasilkan 3,3 karbondioksida per 2.600 kilo kalori yang dikonsumsi. Sementara, para herbivor hanya menghasilkan sekitar setengahnya yakni 1,5 karbondioksida per jumlah kalori yang sama.

Terlebih lagi, produksi sebuah bahan pangan berbahan daging itu punya lebih banyak potensi dampak negatif terhadap kesehatan lingkungan. Mulai dari potensi deforestasi atas kebutuhan lahan ternak, jumlah limbah yang tidak tertangani dengan baik, hingga perusakan lingkungan karena tata cara kelola yang kurang ramah lingkungan.

Kritis dan selektif

Beberapa bahan pangan yang sehat . Foto : Arsip Diplomacy Climate Week

Co-founder and Managing Director Burgreens, Helga Angelina, memaparkan bahwa produksi pangan yang tidak dipikirkan dampaknya secara panjang akan melukai bumi. Bumi yang cacat tentu saja bukan sebuah lingkungan yang baik untuk dijadikan tempat hidup. Situasi ini bisa saja dialami oleh anak, cucu, atau bahkan kita sendiri jika saat ini manusia tidak ingin mengubah gaya hidup masing-masing untuk lebih ramah lingkungan.

“Kita makan itu juga harus selektif. Kita harus kritis terhadap (produk) perusahaan yang kita konsumsi, apakah sudah organik atau mungkin menerapkan prinsip sustainable? Karena kalau kita enggak minta, perusahaan akan tetap memproduksinya, karena tetap ada pembeli,” ujar Helga dalam acara Climate Diplomacy Week 2019 di Istituto Italiano di Cultura Jakarta (Pusat Kebudayaan Italia) di Jakarta, Kamis (3/10/2019).

Untungnya di zaman serba kreatif ini, banyak inovasi yang kerap membantu masyarakat mewujudkan pola makan bijak ini secara perlahan. Salah satunya adalah makanan sehat yang enak.

Co-Founder and Executive Chef Burgreens, Max Mandias menambahkan, sesungguhnya mudah menemukan makanan yang sehat, murah, dan mudah diolah. Mungkin bagi sebagian orang, mereka tidak ingin repot dan langsung datang ke berbagai restoran vegan untuk memeroleh makanan yang ia inginkan. Tapi tak sedikit juga orang yang ingin mengolah sendiri bahan-bahan tersebut. Nah, kuncinya adalah selalu mencari informasi dan inspirasi dari berbagai sumber yang terpercaya.

Biji wijen

Kale pineapple smoothie. Foto : Arsip Diplomacy Climate Week

Di era tsunami informasi seperti saat ini, Helga dan Max menegaskan untuk mencari informasi dengan kritis dan selektif karena ada begitu banyak mitos yang dikemas secara meyakinkan hingga terlihat sebagai sebuah fakta. Contohnya perihal susu. Banyak yang masih menganggap susu sapi adalah sumber kalsium tertinggi, padahal tidak.

Sumber kalsium tertinggi justru dari biji wijen. Bahkan jumlah kalsium yang bisa diserap tubuh manusia di susu sapi kalah dengan jumlah kalsium yang terkandung di agar-agar dan susu kedelai. Selain biji wijen hitam, agar-agar dan susu kedelai memiliki kandungan kalsium yang tinggi juga.

“Siapa di sini yang masih percaya bahwa susu sapi adalah sumber kalsium tertinggi? Kandungannya di sana itu 125 miligram saja, kenapa kita bisa berpikir begitu? Itu pintarnya marketing,” tutur Helga. Sementara kandungan kalsium pada biji wijen hitam, mencapai 1.200 miligram.

Diana Valencia, Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, sedang magang di Harian Kompas.