Tenun, Mahakarya Para Wanita Bumi Timor

50
1932

Tenun, sebuah kata yang menggambarkan hasil keindahan karya dari keuletan tangan-tangan wanita tanah Timor. Sebagai salah satu provinsi penghasil tenun, Nusa Tenggara Timur menjadi kiblat dalam produksi tenun rumahan. Di daerah itu, tenun dibagi menjadi dua daerah dengan ciri khas berbeda, yakni Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan. Bagian utara memiliki motif biboki, insana, wini, neno, pauf, dan alam. Sementara di bagian selatan memiliki motif nunkolo, amanuban, naisa, dan bokon.

Di Desa Humusu Wini, Insana Utara, menenun merupakan kegiatan yang sebagian besar dilakukan oleh para mama (panggilan lazim wanita yang telah menikah di daerah ini) di sela-sela waktu luang bertani, berkebun, dan berternak. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pakaian adat keluarga sendiri, mama-mama juga menjual kain tenun untuk mencukupi keperluan rumah tangganya. Daerah yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara ini menghasilkan berbagai jenis kain, mulai dari selendang, tais (kain tenun untuk wanita), beti (kain tenun untuk pria) diproduksi secara rumahan dengan alat tradisional.

Kelompok tenun yang berada di desa ini adalah satu-satunya kelompok tenun di Insana Utara yang masih berjalan. Didirikan dua tahun lalu, kelompok tenun bernama Bife Akai Abas ini diketuai oleh Mama Maria Sako. Kelompok tersebut berdiri setelah memahami tingginya potensi ekonomi dan menjadi upaya untuk melestarikan tenun tradisional, karena melihat banyaknya remaja di desa ini yang tidak meneruskan kegiatan menenun para mama.

Atas kegigihannya mengumpulkan para mama untuk diajak menenun bersama, akhirnya kelompok yang terdiri dari sepuluh anggota dari berbagai suku di desa tersebut masih bertahan hingga sekarang.

Contoh hasil tenun motif insana untuk kain selendang.

Sebenarnya, di Desa Humusu Wini terdapat puluhan perajin tenun yang menyebar di setiap rukun tetangga. Di sayangkan, hanya sedikit dari mereka yang mau bergabung dengan kelompok tenun ini. Kendala seperti kesibukan bertani yang dinilai lebih cepat memutar uang serta lebih memilih tenun untuk memenuhi kebutuhan pribadi membuat banyak perajin tenun tidak menjadikan tenun sebagai pendapatan utama, tetapi hanya untuk sampingan.

Karena itu, bagi para perajin tenun yang tidak tergabung dalam kelompok ini, biasanya menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu kain tais ataupun beti, baik untuk dijual maupun keperluan pribadi.

Alat tenun dengan kain selendang motif insana yang sedang dalam proses pengerjaan.

Untuk memproduksi kain tenun, diperlukan 50-100 kepala benang (satuan untuk menyebut gulungan benang di daerah ini) per satu kain, tergantung ukuran yang diinginkan. Tetapi untuk motif-motif tertentu, seperti motif wini yang memerlukan teknik ikat celup, diperlukan tambahan naptol atau pewarna alami. Dari bahan baku tersebut, diperlukan biaya sekitar Rp 50- Rp 250 ribu tergantung ukuran kain yang dipesan.

Kain tais dengan motif insana yang setengah jadi.

Selain menggabungkan para wanita penenun di desa tersebut, Kelompok Tenun Bife Akai Abas juga memudahkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara melakukan penyaluran bantuan bahan baku tenun. Tidak hanya bahan baku seperti benang, pemerintah juga memberikan bahan baku inovasi benang yakni menggunakan benang yang terbuat dari serat alam dan memberikan penyuluhan tenun.

Di dalam kelompok tenun ini, para mama dapat menghasilkan jumlah kain yang cukup banyak dalam jangka waktu satu bulan saja. Tenun tidak hanya menjadi sumber pendapatan yang besar bagi kelompok ini, tetapi juga memberikan kemudahan mempertemukan para perajin tenun dan pembeli.

Lewat kelompok ini pula, tenun menjadi salah satu produk unggulan kawasan pedesaan (prukades) dan sudah waktunya untuk mencanangkan tenun sebagai potensi mengembangkan BUMDes di waktu mendatang di Desa Humusu Wini.

Infografis yang dirangkum tentang tenun.

Rakyan Widhowati Tanjung, mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tim KKN- PPM UGM di Insana Utara, Nusa Tenggara Timur