Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki luas 1.904.569 kilometer persegi dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 buah. Dengan wilayah yang begitu luas tidak heran apabila diversity dapat timbul dengan mudah. Lalu apa sih maksud dari diversity itu?
Stephen P. Robbins mengatakan diversity dalam organisasi adalah suatu keadaan dimana orang-orang dalam suatu organisasi saling berbeda dan memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya. Dalam topik ini yang dimaksud dengan organisasi adalah Republik Indonesia.
Salah satu tipe diversity yang terdapat di Indonesia adalah ras dan etnis. Ras adalah warisan biologis seperti karakteristik fisik dan kesatuan sifat, sedangkan etnis lebih mengarah ke sifat sosial seperti latar belakang budaya. Kedua hal tersebut masih sering menimbulkan diskriminasi di lingkungan masyarakat.
Hingga saat ini, warga Indonesia yang beretnis Tionghoa masih sering terkena diskriminasi oleh sebagian orang. Diskriminasi dilakukan dengan perkataan langsung, tulisan dan gambar, pidato, bahkan sampai merampas nyawa orang lain. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28i ayat 2 berisi bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat dikriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Jadi, sudah sangat jelas bahwa seseorang yang melakukan diskriminasi melanggar hak dari orang-orang beretnis Tionghoa. Padahal Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir.
Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia memiliki hak yang sama dengan etnis-etnis lainnya. Mereka berhak hidup, berhak untuk mendapatkan tempat tinggal, berhak untuk sekolah, berhak untuk beribadah, dan hak-hak lainnya yang melekat pada diri mereka. Mereka juga seorang warga Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari mereka juga berbahasa Indonesia atau bahkan lebih sering menggunakan bahasa daerah tempat mereka tinggal, dan tidak sedikit yang tidak mampu berbahasa Mandarin seperti nenek moyang mereka.
Mereka yang beretnis Tionghoa berkata, “Saya mungkin Tionghoa, tapi saya lebih Indonesia”. Perkataan mereka mungkin ada benarnya, sebagai seorang warga Indonesia tidak seharusnya kita membeda-beda seseorang yang satu dengan yang lain. Orang yang mengaku warga negara Indonesia harus mampu menciptakan persatuan, bersikap toleransi, dan menghargai satu sama lain dari berbagai macam keberagaman di bumi pertiwi ini. Apabila persatuan tercipta, kemanapun kita pergi, akan terasa aman, tidak akan terdapat perselisihan yang mengganggu kenyamanan kita dalam beraktivitas.
Banyak yang mengatakan bahwa perekonomian etnis Tionghoa lebih maju dari pada etnis yang lain. Bila hal tersebut membuat sebagian orang mengucilkan etnis Tionghoa tidak akan membuat mereka sukses, keirian hanya akan membuat orang semakin tertinggal.
Apabila kita ingin perekonomiannya baik seperti kebanyakan orang Tionghoa, maka kita harus belajar dari mereka bagaimana menjalankan roda perekonomian yang baik. Dalam proses pembelajaran tersebut kita harus mampu mengambil baiknya dan memperbaiki yang buruk.
Sebagai warna negara Indonesia yang beretnis Tionghoa, mereka tidak bisa menawar kepada Tuhan ingin dilahirkan beretnis apa dan tidak bisa pula menyalahkan Tuhan karena telah terlahir di etnis Tionghoa. Tuhan menciptakan manusia dalam berbagai macam suku dan bangsa agar kita dapat bahu-membahu dalam melakukan sesuatu, karena perbedaan itu seharusnya melengkapi bukan malah mendiskriminasi.
Ingatlah selalu semboyan bangsa Indonesia yang terdapat pada lambanga negara Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mempunyai arti berbeda-beda tetapi tetap satu. IYA, SATU INDONESIA.
Sekar Widyasari, Politeknik Keuangan Negara STAN