Perkeretaapian Indonesia: Sejarahnya Sepanjang Relnya

0
605

Lajunya sangat cepat, badannya panjang mengular, dan mampu menampung banyak orang sampai tujuan. Kereta api merupakan salah satu moda transportasi yang kini digemari masyarakat, khususnya masyarakat Jabodetabek. Melalui jenis kereta yang sering disebut KRL Commuter Line, kereta api selalu siap siaga mengantar masyarakat Jabodetabek untuk hilir mudik mulai pagi buta hingga tengah malam.

Guna lebih meramaikan kehadiran kereta api di Indonesia, bahkan kini Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil bersama PT Kereta Api Indonesia (KAI) sedang mengusahakan reaktivasi jalur kereta api di Jawa Barat.

Berita soal reaktivasi jalur kereta api di Jawa Barat masih tetap hangat hingga kini. Dikutip dari Kompas.com, jalur di Jawa Barat yang direncanakan direaktivasi meliputi jalur Cibatu-Garut Kota- Cikajang sepanjang 47, 5 kilometer. Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang 82 kilometer, Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang 82 kilometer, dan Bandung-Ciwidey sepanjang 37,8 kilometer. Hingga kini, rencana reaktivasi masih terus berjalan khususnya di jalur Cibatu-Garut Kota.

Sejarah panjang perkeretaapian di Jawa bak gerbong yang melintasi rel telah terbentuk hingga kini. Hal tersebut yang membuatku penasaran tentang sejarah keberadaan kereta api di Indonesia hingga perkembangannya kini.

Jadi Primadona

“Awalnya ide kereta api dibawa (pemerintah) Belanda. Di Belanda sendiri kereta api sudah ada sejak 1839, nah setahun kemudian ide tersebut dibawa oleh golongan liberal Belanda ke Indonesia,” ujar sejarawan kereta api Ibnu Murti Hariyadi saat ditemu di Kantor Masyarakat Perkeretaapian Indonesia (MASKA) di Jakarta, Kamis (25/4/2019).

Ide tersebut nampaknya baru bisa direalisasikan pada 1864 saat golongan liberal menguasai parlemen yang kemudian menyetujui proposal pembangunan jalur kereta apinya dan mulai dibangun tahun 1867.

Artikel yang diterbitkan majalah MASKA tahun 2017 berjudul “150 Tahun Perkeretaapian Indonesia” menyebutkan, pembangunan stasiun kereta api pertama di Indonesia dilakukan di Kemijen, Semarang dengan nama Stasiun Samarang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Sloet van de Beele pun datang di acara seremonial penempatan batu pertama pembuatan jalur kereta api ini. Hingga akhirnya, kereta api pertama kali mengular di Indonesia pada 10 Agustus 1867 dengan jalur Stasiun Samarang hingga Stasiun Tanggung.

Pada zaman kolonial Belanda, kereta api dimanfaatkan untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan menuju pelabuhan. Barang-barang tadi dari pelabuhan akan didistribusikan ke Belanda. Tidak hanya itu, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan kehadiran kereta api sebagai penarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia.

Charlie Chaplin datang ke Garut dua kali, tahun 1932 dan 1936. ia sempat menikmati tradisi adu domba Garut

Pembangunan jalur kereta api di pedalaman Jawa Barat seperti di Garut, Cianjur, Sukabumi, dan daerah Priangan lainnya menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan. Pemandangan indah yang bisa dilihat melalui jendela kereta api hingga kebudayaan yang dimiliki menjadi kekuatan wisata yang disediakan. Tidak hanya sembarangan wisatawan internasional, bahkan sederet nama terkenal pernah berkunjung menggunakan kereta api.

Sebut saja Charlie Chaplin yang datang ke Garut dua kali, tahun 1932 dan 1936. Menurut Ibnu dari dokumen yang ia temui di surat kabar Indische Courant, bintang film di zaman film masih hitam-putih itu bahkan sempat menikmati tradisi adu domba Garut.

Pada buku berjudul Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Lubis, 2000) tidak hanya Charlie Chaplin yang berkunjung ke Priangan dan menikmati kereta api. Namun juga terdapat nama-nama seperti Raja Leopold III dari Belgia, aktris Jerman Renata Muller dan aktor Hans Albers yang berasal dari Jerman, dan lainnya.

Lepas dari kolonialisme Belanda, Jepang mengambil alih Indonesia dan berdampak langsung kepada perkeretaapian Indonesia. Salah satunya adalah pengangkatan besar-besaran masyarakat pribumi ke posisi yang cukup strategis seperti kepala stasiun. Hanya saja, sistem kerja paksa yang lebih berat dan berbagai perubahan dalam sistem perkeretaapian yang sebelumnya dibentuk Belanda membuat pengelolaan kereta api menjadi rusak.

“Sistemnya juga mengadopsi gaya Jepang, seperti lebar relnya disamakan, kemudian sistem tunjuknya juga dari Jepang, terus ya pembangunan jalur baru walaupun tidak membawa pengaruh banyak seperti Muaro-Pekanbaru dan Saketi-Bayah,” kata sejarawan yang kini bekerja sebagai peneliti di MASKA ini.

Setelah lepas dai belenggu kolonialisme, kereta api masih digunakan sebagai sarana transportasi masyarakat. Bahkan, saat perang mempertahankan kemerdekaan keberadaan kereta menjadi sangat vital karena mampu membawa banyak pasukan atau laskar pejuang dari berbagai daerah ke tempat konflik.

Mengalami Kemunduran

Sejarawan perkeretaapian Indonesia Ibnu Murti Hariyadi saat diwawancara. Foto: Muhammad Foriesta Al Ghaniy

“Pada masa Indonesia merdeka, kereta api menjadi alat perjuangan, jadi membantu pergerakan pasukan-pasukan Indonesia ke arah tempat pertempuran di Surabaya. Peran kereta api pada 10 November 1945 menjadi penting banget. Dia mengangkut laskar-laskar dari pinggiran kota seperti Mojokerto, Sidoarjo, kemudian masuk ke Surabaya untuk membantu peristiwa 10 November itu,” ujar Ibnu menjelaskan peran kereta api pada masa perjuangan kemerdekaan.

Kemunduran kereta api di Indonesia justru hadir saat masa orde baru. Salah satunya adalah menonaktifkan berapa jalur kereta api di daerah pada tahun 1982. Kata Ibnu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi.

“Tahun 1966-1968 banyak dilakukan screening buruh kereta api, terutama yang tergabung dengan Serikat Buruh Kerta Api (SBKA) yang saat itu merupakan underbow dari Partai Komunis Indonesia. Akhirnya dari situ banyak buruh kereta api yang ditangkap, dipecat, dan dipenjara. Itu dua per tiga pegawai kena dan menyebabkan jumlah tenaga operasional kereta api di lapangan menjadi sedikit,” jelas Ibnu.

Hal tersebut membuat beberapa pegawai yang tersisa dialihkan ke stasiun besar yang berada di kota dan meninggalkan kereta api di daerah. Sekolah perkeretaapian di Indonesia saat itu pun dianggap belum terlalu berkualitas untuk menjaring pegawai berkualitas dengan waktu yang singkat. Selain kekurangan tenaga operasional, pemerintah saat itu sedang fokus untuk membangun transportasi berbasiskan jalan aspal, seperti toll dan jalur utama daerah.

Tentu masih banyak yang bisa diulik dari sejarah kereta api di Indonesia. Panjangnya gerbong kereta yang setiap waktu melintas di rel, ternyata juga tercermin dari panjangnya sejarah yang melingkupnya.

Erlangga Pratama, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung

Foto: Muhammad Foriesta AL Ghaniy