Kisah Tergerusnya “Harta Karun” Desa Karangbolong, Kebumen

    0
    1126

    Desa Karangbolong merupakan pemilik “harta karun” di Kabupaten Kebumen. Konon “harta karun” tersebut telah ditemukan sejak tahun 1700 Masehi oleh Kiai Surti. Ia adalah seorang utusan Raja Kasunanan Kartasura yang ditugaskan untuk mencari jamur yang tumbuh di batu sebagai obat raja. Kiai Surti menemukan jamur tersebut di tebing gua Desa Karangbolong dan langsung memberikannya kepada Raja Kartasura.

    Jamur yang dimaksud merupakan sarang burung walet. Sejak saat itu sarang burung walet menjadi makanan mewah untuk para raja dan ratu karena khasiatnya yang  mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit serta dipercaya untuk memperpanjang umur orang yang memakannya. Seiring berjalannya waktu, raja melihat peluang dari sarang burung walet lalu mulai menjualnya ke negara-negara tetangga hingga sampai ke China. Transaksi tersebut berlanjut terus hingga masa orde baru.

    Sarang burung walet Gua Karangbolong dan Gua Pasir

    Hasil penelusuran Tim 2 anggota Muda Gajah Sumatera PMPR & PG Mahatva Universitas Padjajaran Bandung beberapa waktu lalu dari  warga dan petinggi Desa Karangbolong, menunjukkan, daerah itu pernah menjadi wilayah kaya berkat sarang burung walet. Penghasilan daerah dari sarang burung walet pada tahun 1900 sampai tahun 1996 dapat mencapai 100 kilogram hingga 200 kg untuk satu kali panen. Harganya mencapai Rp 10 juta per kg. Terlebih lagi pengunduhan (pengambilan/pemanenan sarang burung walet) dilakukan empat kali dalam setahun yaitu pada musim ke dua, empat, lima dan tujuh.

    Jika dikalkulasikan, maka sarang burung walet ini merupakan penyumbang pendapatan anggaran daerah (PAD) terbesar di Kabupaten Kebumen. Keadaan itu yang kemudian membuat pemda setempat membangun tugu walet di Kabupaten Kebumen pada tahun 1975. Selain itu burung walet juga menjadi ikon atau lambang Kabupaten Kebumen.  Maka pantaslah sarang burung walet ini menjadi suatu hal yang sangat berharga bagi Kabupaten Kebumen.

    Tim 2 sedang melakukan wawancara di Desa Karangbolong

    Mula-mula, usaha sarang burung walet dikelola oleh pemerintah daerah. Pemda menugaskan pegawai yang mengurus manajemen pengunduhan sarang burung walet ini. Mereka semua adalah pegawai negeri sipil (PNS) Kabupaten Kebumen. Pegawai pengunduh sarang burung walet digaji seharga PNS pada umumnya sesuai golongan dan jabatan masing-masing. Inilah struktur organisasi pengelolaan pengunduhan sarang burung walet.

    Struktur pengunduh sarang burung walet

    Jadi sebelum mengenal lebih rinci mengenai struktur tersebut kami tekankan bahwa pengunduhan sarang burung walet ini tidak hanya dilakukan di Desa Karangbolong saja,  tetapi juga di dua desa tetangganya, Desa Pasir dan Desa Karangduwur. Struktur organisasinya diatas dibagi menjadi tiga sortir dan bawahannya serta seorang kepala unit pelaksana teknis (UPT) dan seorang polisi khusus (polsus).

    Tugas kepala UPT, mengelola seluruh kegiatan pengunduhan sarang burung walet dari tiga gua di tiga desa hingga dikumpulkan dan dibawa ke pemerintah kabupaten untuk dijual dengan cara lelang. Sortir bertugas untuk mengurus segala kegiatan yang berhubungan dengan upacara ngunduh.

    Upacara ngunduh ini merupakan ritual yang wajib dilakukan sebelum melakukan pengunduhan sarang burung walet. Menurut Puryono, mantan Kepala UPT, biaya yang dikeluarkan untuk upacara tersebut dapat mencapai Rp 30 juta untuk sekali perayaan. “Itu bukan masalah karena hasil yang didapatkan dari pengunduhanpun dapat berkali lipat jumlahnya,” tutur Puryono.

    Istilah mandor tentu tidak asing bagi telinga kita. Seperti namanya, mandor bertugas untuk mengatur teknis di lapangan saat pengunduhan dilakukan. Mandor membawahi sikep tua, sikep muda dan bantu. Sikep tua ini merupakan orang pertama yang turun dan masuk ke dalam gua walet diikuti dengan sikep muda.

    Sikep muda memiliki tugas lain yaitu memperbaiki dan atau mengganti bambu/ tali rotan yang rusak, sedangkan bantu bertugas memanen sarang burung walet yang ada di langit-langit gua.

    Terakhir ada polsus yang langsung dibawahi oleh kepala UPT, bertugas untuk menjaga dan mengawasi gua walet dari pencuri. Polsus juga berkoordinasi dengan sortir, mandor, sikep dan bantu perihal piket dan penjagaan saat pelaksanaan kegiatan baik dari upacara hingga akhirnya pengiriman sarang burung walet ke pemerintah kabupaten.

    lingkungan merupakan faktor terpenting dalam kelestarian sumber daya alam hayati termasuk burung walet. Ketika ekosistem hutan rusak, walet kehilangan sumber makanannya

    Jika kalian bertanya, mengapa sarang burung walet saat ini eksistensinya menurun bahkan hampir lenyap ? Sejak memasuki periode krisis moneter pada tahun 1998 pengelolaan yang mulanya dipegang oleh pemerintah kabupaten kemudian dialihkan ke koperasi warga Desa Karangbolong. Saat itu kondisi masyarakat kurang terkendali sehingga pada periode yang sama hutan-hutan di sekitar Desa Karangbolong, Desa Pasir dan Desa Karangduwur mulai dijajah masyarakat.

    Pengeksploitasian hutan dilakukan secara besar-besaran pada saat itu, sehingga flora dan fauna di hutan pun terancam keberadaannya, termasuk keberadaan burung walet. Dari tahun itu hingga 2001 hasil pengunduhan sarang burung walet mulai menurun. Kemudian pada tahun 2002 terjadi tsunami di daerah pantai selatan yang berpusat di Pantai Pangandaran.

    Bencana alam tersebut telah menghabiskan ribuan sarang burung serta burung walet yang ada di dalam gua. Semenjak itu populasi dan hasil sarang burung walet menurun drastis. Bahkan di tahun 2012 hingga sekarang pengunduhan sarang burung walet di Desa Karangbolong sudah tidak dilakukan lagi.

    Berkaitan dengan kondisi itu, Puryono mengatakan, lingkungan merupakan faktor terpenting dalam kelestarian sumber daya alam hayati termasuk burung walet. Ketika ekosistem hutan rusak, maka serangga makanan burung walet (krongo) yang tinggal di dalamnyapun akan mati dan menyebabkan walet kehilangan sumber makanannya. Maka dari itu perlu adanya perhatian dari berbagai pihak termasuk kita semua sebagai generasi muda untuk peka terhadap alam.

    Jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari alam maka kita juga harus memberi lebih untuk alam. Karena sungguh miris mengetahui fakta bahwa daerah yang mulanya kaya menjadi tidak berpenghasilan apa-apa akibat ulah manusia sendiri.

    Tim 2 sudah mencapai titik akhir

    Gilang Setiawan, mahasiswa Universitas Padjajaran Bandung