Pagi itu, pemuda di desa Bebedahan, Kota Bandung terlihat sibuk. Gelak tawa sesekali hadir di tengah kesibukan mempersiapkan pentas seni. Di minggu terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan (05/05/2019) pemuda desa setempat mengisi dengan melakukan pentas.
Bagi mereka, apa yang akan ditampilkan hari itu bukan sekadar pentas seni belaka. Pentas seni itu tidak ubahnya jati diri mereka, jati diri pemuda Sunda yang berjibaku melestarikan kesenian nenek moyang. Pentas itu juga jadi cara pemuda Bebedahan merajut keberagaman budaya yang ada di Tanah Air.
Deretan sisingaan, kuda lumping, kostum hanuman sudah berjejer rapi. Sebelum pentas dimulai, doa dipanjatkan dan sesajen telah siap dihadirkan dengan harapan agar diberi kelancaran saat pementasan. Tidak hanya itu, doa itu juga pertanda atas rasa syukur terhadap segala hasil alam yang diberikan Tuhan.
Kendati asal muasal nama memiliki banyak versi, seni ini tetap dicintai di tanah Sunda
Pentas budaya itu bernama reak. Sebuah seni pertunjukan yang awalnya digunakan sebagai persembahan bagi anak laki-laki yang baru saja dikhitan. Reak sendiri dipercaya berasal dari tanah Sunda, lebih tepatnya lagi muncul dan berkembang di Bandung Timur dan Sumedang. Sebenarnya, ada banyak versi di balik penamaan reak.
Menurut studi Ramdhani (2014) kata reak memiliki banyak versi kemunculannya. Sebagian menganggap reak ini berasal dari kata reog, sebuah seni pertunjukan dari Jawa Timur. Reak maupun reog, menurut sebagian pandangan berasal dari kata Arab riyyuq yang artinya “bagus atau sempurna di akhir” atau khusnul khatimah. Sebagian lagi menyatakan bahwa reak berasal dari kata leak, yakni salah satu simbol kekuatan jahat dalam tradisi Hindu-Bali, yang menyimbolkan Batara Kala atau ogoh-ogoh.
Kendati asal muasal nama memiliki banyak versi, seni ini tetap dicintai di tanah Sunda. Perkembangan berikutnya, reak menjadi salah satu bentuk rasa syukur atas hasil alam. Dan, pentas hari itu pun berlatarbelakang rasa syukur itu.
Seperti namanya, reak kombinasi ini menghadirkan beberapa kesenian dalam satu pentas. Ada sisingaan yang akan mengangkut anak-anak sembari berkeliling desa. Tidak kalah menyedot perhatian ialah barongan. Sosok lelaki berkostum serba hitam dari kain goni yang bertingkah menyeramkan. Tidak ketinggalan, ada kuda lumping yang hadir di pentas seni reak kombinasi. Lebih spesial lagi, pasalnya pentas itu juga sebagai ritual menyambut bulan suci Ramadhan.
Gendang telah ditabuh, musik telah diputar dan sisingaan telah diangkat. Semua itu menjadi tanda pentas sudah dimulai. Dengan sigap, pemuda bebedahan ini mengangkat sisingaan. Beberapa di antaranya juga memakai kostum khas Sunda. Reak memang menyertakan seperangkat instrumen etnik Sunda seperti dogdog, kendang, calung, hingga suling.
Semua alat musik tradisional itu berpadu dengan aksi pemainnya yang dengan lihai menghibur penonton. Sukacita mewarnai pementasan seni reak ini. Tidak heran memang, karena arak-arakan reak ini mengitari dua desa di sekitar Bebedahan, Kota Bandung. Kendati begitu, aroma mistis juga hadir di tengah-tengah pementasan reak.
Rahman, pemuda asli Sunda yang menari dalam pementasan reak ini mengaku tidak sadar saat pementasan. Pasalnya, pria ini mengaku dirinya dimasuki roh leluhur saat itu. “Abdi sakedap ngarasa sadar, tapi lolobana mah teu sadar (saya terkadang sadar, tapi sebagian besar saya merasa tidak sadar),” ungkap Rahman.
Rahman mengaku sudah bergabung dengan Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi lebih dari lima tahun. Di komunitas seni ini, sudah menjadi rahasia umum anggotanya mahir berbagai macam pentas. Awalnya, Rahman hanya ingin belajar musik tradisional Sunda.
Selain mahir memainkan alat musik tradisional, Rahman juga menunjukan kemahirannya dengan menjadi kuda lumping hingga bela diri pencak silat. Komunitas seni in pula yang semakin memupuk kecintaan Rahman akan seni Sunda. “Semakin cinta sama kesenian khas Sunda. Seneng pula saya bisa mendalami seninya dan ikut terlibat di dalamnya,” sambung Rahman di sela-sela pementasan pada Senin (06/05/2019).
Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi memang bukan sekadar komunitas biasa. Bukan sekadar komunitas seni yang hanya iseng mengisi waktu senggang. Komunitas ini sudah terstruktur, dari segi pelatihan hingga pentas. Lebih jauh lagi, komunitas seni ini sudah terdaftar legalitasnya melalui surat keputusan dari pemerintah Kota Bandung.
Rupanya, ada motif mulia di balik kehadiran Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi. Menurut Sopia, menjalankan Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi tidak buahnya menembak dua burung dengan satu peluru. Selain dapat melestarikan budaya, pemuda di desa ini bisa terberdayakan. Hal itulah yang semakin menguatkan tekad Sopia untuk terus melanjutkan Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi.
“Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi ieu bisa ngarekepkeun silaturahmi tina pemuda-pemuda sareung pelaku seni sunda lain nu aya di Kota Bandung. Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi oge jadi ajang ngenalkeun sareung ngalestarikeun seni Sunda ti laluhur (Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi ini bisa mempererat Silaturahmi antar pemuda-pemuda sekaligus pelaku seni Sunda lain yang ada di Kota Bandung. Lingkung Seni Mekar Putra Siliwangi juga menjadi wadah memperkenalkan sekaligus melestarikan seni Sunda dari leluhur), ” kata Sopia.
Pelestarian budaya
Meski pemain reak ini mayoritas dari kalangan muda, Sopia menekankan tidak ada kata terlambat bagi mereka yang ingin belajar. Saat ini, baik orang muda maupun tua terlihat menyemarakan pementasan reak. Hal itu tidak lain dilakukan Sopia untuk menambah amunisi, menambah sumber daya untuk memperkenalkan reak.
Pementasan demi pementasan terus dilakukan. Mulai dari pentas syukuran hingga acara pemerintahan tidak luput dari pentas reak. Bagi Sopia, selama nafasnya masih berhembus, selama itu pula dirinya akan terus berusaha menghadirkan reak bagi masyarakat.
Melestarikan budaya sudah tentu menjadi misi utama para pemuda ini. Namun, tidak hanya itu yang mereka dapatkan. Melalui reak, pemuda-pemuda ini punya wadah untuk berekspresi. Bagi pemuda ini, reak bukan sekadar seni, tapi sudah menjadi bagian dari identitas diri.
Muhamad Arfan Septiawan, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran Bandung