‘Mulia’ Kematian di Mentawai

0
582

Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman yang sedang melakukan kuliah kerja nyata (KKN) mendapat pengalaman berharga di Kepulauan Mentawai. Waktu itu kami ber KKN  di dusun Sarausau – Makakaddut, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. malam harinya saya dan teman-teman KKN mengikuti salah satu rangkaian upacara kematian. Upacara itu diadakan karena beberapa hari yang lalu, ada salah satu warga setempat  meninggal dunia.

Malam itu, saya menuju ke rumah warga yang sedang berduka bersama orangtua dan teman-teman yang lainnya. Salah satu rangkaian upacara kematian yang kami hadiri adalah pesta kesenangan atau dalam bahasa Mentawai mulia – eeruk

Sebelum pesta kesenangan diadakan, lebih dahulu diadakan pesta kemalangan selama dua hari berturut-turut. Pesta tersebut dilakukan untuk memanggil roh orang yang baru saja meninggal supaya mengambil barang-barang yang sering mereka pakai semasa hidup seperti pakaian, cincin, tongkat dan sebagainya. Setelah pesta kemalangan usai, dilanjutkan dengan pesta kesenangan yang juga berlangsung selama dua hari berturut-turut.

Sebelum pesta kesenangan dimulai, rumah keluarga yang berduka akan dilihat dan disiapkan lebih dahulu. Yang perlu diperhatikan adalah kekuatan dan kelayakan lantai papan yang digunakan sikerei untuk mendukung keberlangsungan pesta. Jika persiapan dirasa sudah siap, barulah pesta kesenangan diadakan.

Pesta kesenangan ini dipimpin oleh sikerei (orang yang dipercayai memiliki kekuatan spiritual yang tinggi dan memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit) yang akan muturuk (menari) untuk memanggil roh-roh dari suku tersebut yang telah meninggal.  

Prosesi ini diiringi dengan gendang (yang terbuat dari kulit biawak/ular sawah dan tabungnya terbuat dari enau gunung) serta dentingan dari besi. Begitu musik berbunyi, sikerei menari berputar dengan gerakan-gerakan menghentakkan kaki. Pesta kesenangan ini juga dipercaya dapat mencegah roh mengganggu kita yang masih hidup.

Konon, jika belum mengadakan pesta kesenangan dan roh orang yang telah meninggal mengganggu salah satu warga, maka keluarga dari roh yang mengganggu tersebut dikenakan denda. Dendanya bisa berupa satu ekor babi, sebidang tanah atau masih banyak lagi tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Sebaliknya, jika pesta kesenangan sudah diadakan dan roh orang yang telah meninggal tetap mengganggu salah satu warga, maka keluarga dari roh yang mengganggu tersebut tidak dikenakan denda.

Ketika pesta diselenggarakan, masyarakat diminta untuk mengenakan manik-manik Mentawai sebagai tanda bahwa mereka sedang berpesta. Satu hal yang mengejutkan saya adalah ketika beberapa orang diminta memegang sebuah bambu berisikan dedaunan mengalami kerasukan.

Menurut warga setempat, roh yang merasuki adalah roh orang yang telah meninggal di suku tersebut. Namun tidak semua yang memegang bambu dirasuki oleh roh tersebut. Saya melihat di teras rumah warga, ada beberapa barang yang digantung seperti manik-manik, daun-daunan, bunga totonan (bunga yang sebelumnya diwarnai dengan kunyit) dan beberapa kain. Tujuan keberadaan benda itu agar roh-roh yang datang menjadi jinak dan tidak liar.

Dua hari setelah pesta kesenangan, warga yang berduka mengakhiri upacara tersebut dengan berburu monyet atau babi hutan. Kedua binatang tersebut dipilih dengan maksud agar pesta yang sudah diselenggarakan dianggap sah dan selesai dengan aman dan tanpa masalah.

Dari pesta adat ini, saya menemukan bahwa masyarakat di Mentawai khususnya di dusun Sarausau – Makakaddut masih percaya dan menghormati kehadiran roh dan hubungannya dengan kita yang masih hidup. Di sisi lain, masyarakat yang ada di dusun Sarausau – Makakaddut juga turut terlibat dalam kegiatan ini. Ini menunjukkan bahwa solidaritas antar warga masih terjalin erat. Saya bersyukur menjadi salah satu orang yang menyaksikan hal ini. Masurabagata Mentawai!

Penulis: Kompas Corner Universitas Katolik Soegijapranata Semarang / Ni Luh Anggela De Merici

Penyunting: Kompas Corner Universitas Katolik Soegijapranata Semarang / Yosephin Hamonangan Pasaribu

Fotografer: Kompas Corner Universitas Katolik Soegijapranata Semarang / Ni Luh Anggela De Merici