Lantas, Mengapa Bila Aku Perempuan ?

0
166

Apa pendapat kalian ketika mendengar nama Sri Mulyani Indrawati? Tri Rismaharini? Najwa Shihab? Atau Susi Pudjiastuti? Nama-nama tersebut merupakan beberapa Srikandi Indonesia yang berhasil menduduki kursi kunci pada bidang masing-masing ? Mereka telah berhasil mematahkan pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan seharusnya berada pada level kedua setelah laki-laki.

Apakah stereotype tesebut sudah terpatahkan menyeluruh dalam masyarakat? Tentu saja jawabnya belum. Mengapa ? sebab masih ada diskriminasi atas pekerja lelaki dan perempuan. Pada pada tahun 2017, Kementerian Tenaga Kerja RI menyatakan, 30 persen pekerja mengalami diskriminasi gender. Baik dari sisi gaji hingga pencapaian kedudukan jabatan. Opini bahwa perempuan hanya dapat menjadi buruh dengan gaji yang rendah seringkali didapati pada daerah industrial yang merekrut pekerja atau buruh dengan sistem kontrak jangka pendek.

Dengan jam kerja yang relatif tinggi namun upah yang diberikan tak seimbang dengan tenaga yang telah dikeluarkan. Kesenjangan gaji menurut data Sakernas 2011-2015, sebesar 13,83 persen dengan gaji laki-laki sebesar Rp 1.944.251 dan perempuan Rp 1.675.269.

Fakta lain, dalam masyarakat patriarki kultur yang tumbuh dalam masyarakat berorientasi ada pendapat bahwa sejatinya laki-laki merupakan pekerja, penentu keputusan, dan pemegang jabatan atau kekuasaan. Sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anak, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah.

Hal ini masih banyak didapati di Indonesia, misalnya contoh dalam iklan yang ditampilkan pada media massa dan beberapa pekerjaan. Deskriminasi gender hanya memacu pada feminimitas dan maskuilinitas yang merugikan semua pihak. Contoh kecil yang terjadi di masyarakat yaitu seorang laki-laki menjadi seorang koki yang andal dalam memasak, dan teknisi mesin elektronik adalah seorang wanita. Kedua contoh kecil ini terkadang membawa stereotype yang negatif dari masyarakat.

Gender bukanlah suatu parameter. Ketidaksetaraan gender merupakan produk dari konstruksi sosial masyarakat (peran, perilaku, aktivitas, dan atribut) yang diciptakan masyarakat dan dianggap tepat, bukan dari segi fisiologis serta biologis. Ketika seseorang terlahir maka hak asasi telah mutlak mereka dapatkan dari Tuhan dan tidak dapat dicabut oleh seoang pun bahkan penguasa. Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan Pendidikan yang layak, mendapat pekerjaan yang baik, dan bahkan duduk pada kursi pemerintahan.

Tak seharusnya perempuan hanya berlabel sebagai pekerja dengan gaji berbeda dengan laki-laki

Cara pandang, pola pikir, serta keahlian merupakan pertimbangan yang ideal dan rasional dalam menentukan kebijakan. Perempuan seharusnya dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan segala aspek kehidupan. Kerena perempuan juga dapat melakukan pekerjaan secara multitasking dan kritis bahkan sebagai pengambil keputusan.

Perempuan juga harus terdidik dan memiliki pendidikan yang tinggi. Karena perempuan juga merupakan aset negara. Mereka melahirkan generasi penerus bangsa yang akan menciptakan perubahan untuk negerinya. Tak seharusnya perempuan hanya berlabel sebagai pekerja dengan gaji yang berbeda dengan laki-laki. Karena sejatinya kesetaraan merupakan hak baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, peran dan partisipasi perempuan dalam ketenagakerjaan masih rendah dibuktikan dengan adanya data TPAK Laki-laki mencapai 81,97 persen sedangkan perempuan baru pada angka 50,77 persen (BPS 2016). Jika perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki, mereka dapat membantu perubahan-perubahan yang menjadi tujuan atau capaian, membantu menambah hasil produktivitas barang dan jasa, serta turut andil dalam menambah devisa atau pendapatan negara.

Melihat keadaan tersebut, perlu ada penekanan untuk mengurangi diskriminasi gender, dengan adanya peraturan pemerintah yang mengikat. Juga harus ada program pelatihan untuk wanita yang berpendidikan minim, serta komunitas untuk berbagi dan sebagai sarana untuk mencari jalan keluar atas masalah yang belum terjawab. Jika hal ini sudah terealisasikan maka akan tercipta lebih banyak generasi srikandi milenial yang berkarakter, menyejahterakan, dan berpartisipasi positif di era globalisasi serta membawa nama Indonesia di forum internasional.

Aditiara Eka Yoga, Jihan Lucky Soraya, Nila Cahayati, mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang- Jawa Timur.