Membentuk Integritas Mahasiswa Hukum

0
1164

Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut tercantum dengan jelas di dalam konstitusi negara ini. Sebagai negara hukum, segala proses menjalankan kekuasaan harus didasarkan kepada norma – norma hukum yang berlaku.

Dalam pengertian yang lebih luas, perkataan “hukum” sendiri dapat diartikan sebagai hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Menurut teori pembagian kekuasaan, menegakkan hukum merupakan otoritas dari kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Di dalam konstitusi, dijelaskan lebih lanjut mengenai siapa pelaksana dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Disebutkan bahwa menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Bagi mahasiswa hukum, tentu tidak asing dengan teori yang menyatakan bahwa ada tiga tujuan hukum. Yaitu hukum harus memberi kepastian, kemanfaaatan dan keadilan. Untuk mencapai semua itu, maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Menurut penulis setidaknya ada tiga hal yang mesti diperhatikan. Ketiganya yaitu produk hukum, aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakat.

Jika kita melihatnya dalam konteks Indonesia, maka aspek yang menjadi sorotan utama adalah aparat penegak hukum. Produk hukum dalam hal ini adalah hukum yang sifatnya tertulis, dapat dikatakan sudah lebih dari cukup atau cenderung berlebihan sehingga terkadang malah terjadi tumpang tindih diantara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain.

Melanggar hukum

Terkait dengan budaya hukum masyarakat, penulis pun menyadari bahwa budaya hukum masyarakat Indonesia masih rendah. Contoh sederhana, ketika seorang pengendara motor menemui lampu merah, maka seharusnya ia berhenti. Namun, kadang-kadang kita masih menjumpai pengendara yang tidak mengindahkan aturan tersebut.

Pengendara tersebut hanya patuh terhadap rambu lalu lintas, apabila ada polisi yang sedang bertugas. Bandingkan dengan negara lain, seperti Korea dan Jepang, atau bahkan Singapura. Dapat dikatakan bahwa budaya hukum masyarakat Indoenesia tidak lebih baik dari ketiga negara tersebut.

Namun, dalam tulisan ini  penulis lebih menyoroti kepada integritas aparat penegak hukum. Sebagai pihak yang memegang amanah untuk menegakkan hukum, aparat penegak hukum seharusnya paham betul bahwa ia tidak boleh melanggar aturan hukum tersebut. Bahkan di dalam peraturan perundang – undangan, disebutkan apabila aparat penegak hukum melakukan pelanggaran hukum, maka sanksi yang akan diterima lebih berat dibanding pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat biasa.

Akan tetapi, walaupun sudah terdapat ancaman hukuman yang lebih berat, hal tersebut tidak menyurutkan hasrat mereka untuk tetap mencari keuntungan dengan cara yang tidak halal. Istilah mafia peradilan merupakan penyebutan untuk meraka yang melakukan tindakan kotor dalam proses penegakan hukum di peradilan. Adanya mafia peradilan merupakan cacat fatal dalam penegakan hukum di Indonesia.

Asas bahwa bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat dan murah, seakan tidak ada artinya, jika mafia peradilan masih merajalela. Adanya mafia peradilan membuat proses peradilan menjadi tidak sederhana, cepat dan murah, sebagaimana yang diharapkan.

Menjadi “racun” 

Walaupun demikian, penulis tetap meyakini bahwa masih banyak aparat penegak hukum yang jujur , bermoral dan berintegritas. Akan tetapi, oknum penegak hukum yang tidak jujur tersebut bagaikan racun bagi lingkunganya. Apabila tidak segera dinetralisir, oknum penegak hukum tersebut dapat meracuni orang – orang baik di sekitarnya.

Pada akhirnya, menurut menulis, sikap jujur dan bermoral serta berintegritas harus dipupuk semenjak masih duduk di bagku kuliah. Perguruan Tinggi selayaknya tidak hanya menjadi tempat untuk mencetak IPK bagus, tetapi juga harus diimbangi dengan moral yang sama baiknya.

Penulis sebagai mahasiswa fakultas hukum, merasa miris ketika melihat mahasiswa hukum berani melakukan kecurangan saat ujian berlangsung. Pantas saja beberapa waktu yang lalu, salah seorang dosen penulis sempat melontarkan sindiran terkait proses pembelajaran mahasiswa. Perguruan Tinggi sering mengajari mahasiswanya menjadi pintar atau pandai, akan tetapi mereka lupa mengajari kebaikan.

Abdul Haris Najib