Slice Of Life

0
129

Sajak sore tenggelam dalam prolog awal yang hidup dalam petang, menjejal “Sang Dalang” untuk mulai berdiskusi apa yang akan dilakukan sang malam kali ini, bintang tak ikut andil dia memancarkan cahayanya sendiri dalam kegelapan tanpa perintah siapapun menyapu cahaya lampu di tengah kota.

Aku berdiri tepat di depan toko buku itu menanti kenangan yang dulu pernah menjadi bagian dalam silabus hidupku, bangku depan toko yang masih tampak sama dengan cat coklatnya yang sekarang tampak lebih redup termakan oleh waktu hingga membuatnya usang.

Masih teringat jelas saat ibuku pertama kali mengajakku ke sini dia menggenggam tanganku dengan erat senyum wajahnya sangat menenangkan seperti musim semi yang datang lebih awal, mataku berbinar melihat kebahagiaannya, dia membuka gagang pintu toko itu perlahan pegawai toko menyambutnya dengan hangat kami mulai berjalan dari satu lorong ke lorong lainnya melihat berbagai buku yang tertata rapi sesuai dengan abjad entah dia mencari buku apa.

Di lorong terakhir dia mengambil sebuah buku dia menunjukkan bagian belakang sampul buku itu padaku di bagian bawah tertera foto yang bertuliskan nama pena ayahku katanya dia membuat buku itu untuk ibuku. “Ini adalah buku terakhir yang ayahmu buat, ini adalah potongan kehidupan tentangnya ” katanya sambil membuka halaman depan buku itu.

“Ayahmu adalah orang yang keras kepala dia tak pernah mau mendengarkan orang lain.” Dia menatapku dengan hangat, dia memberikan buku itu padaku aku menggenggamnya dengan tangan kecilku. Kami duduk di depan bangku toko, orang berlalu lalang di depan kami sibuk dengan urusannya masing-masing jalanan di depan toko ini tak terlalu ramai kendaraan yang melintas pun tak sebanyak di pusat kota.

 

Fachrul Jalatra