[Finalis Kompetisi Esai]-Indonesia, 28 Tahun Kemudian

1
1147

Pada tahun 2045 nanti, aku yang “sudah” berusia 49 tahun (jika Tuhan mengizinkan, tentunya) sedang berjalan menuju terminal MRT yang padat akan pengunjung yang entah kemana tujuannya. Aku melirik jam tangan digital-ku, ah masih pukul sembilan pagi.

Pintu MRT terbuka, aku duduk di bangku salah satu gerbong sebelum melewati ruangan tembus pandang yang terbuat dari kaca yang diprioritaskan bagi mereka yang sedang hamil, manula, ataupun penyandang cacat.

Aku melempar senyum ke tetangga tempat duduk di kiri dan kananku. Orang di kiriku adalah orang Norwegia, dan dikananku adalah orang Nigeria. Mereka balas tersenyum kepadaku.

Hi, do you want some onde-onde?” Aku menawarkan onde-onde rasa Green Tea yang selalu kubawa sebagai cemilan dari dalam tasku.

“Boleh, terimakasih! Saya selalu suka onde-onde.” Mereka berdua mengambil onde-onde dari tanganku.

Sepanjang perjalanan di dalam MRT, lagu-lagu daerah dengan iringan Saxophone bergenre Jazz dipedengarkan melalui pengeras suara. Sepanjang perjalanan pula, aku mengakrabkan diri dengan penumpang di kanan-kiriku.

Penumpang di kananku, orang Nigeria itu, sedang menempuh semester empat Bahasa dan Sastra Indonesia. Sepertinya jurusan bahasa dan sastra Indonesia sudah terdapat di hampir semua universitas di Indonesia.

Sementara orang Norwegia itu sedang menjalani S2 di  salah satu universitas swasta di NTT. Ini adalah minggu keduanya menjalani koas. Ia sedang bermain game Tahu Bulat ketika aku menanyakan apa pekerjaannya.

Onde-onde yang kami makan pun sudah habis. Aku melangkah kecil menuju tiga tempat sampah besar yang terdapat di dekat pintu masuk kereta MRT. Aku letakkan tanganku di atas tempat sampat itu selama beberapa detik sebelum tutup tempat sampah itu terbuka dengan sendirinya. Hampir semua tempat sampah di Indonesia kini sudah memakai teknologi seperti ini.

Aku kembali duduk dan kami bertiga terpaku menatap layar LED yang digantung di langit-langit kereta. Layar itu sedang menayangkan berita mengenai artis Indonesia yang kembali lagi menyelenggarakan konser mereka di luar negeri.

Aku tersenyum dalam hati mengingat Piala Dunia FIFA dimana para atlet sepakbola Indonesia yang baru saja menang melawan Jepang tiga tahun lalu.

“Kita sudah sampai di Stasiun Bukit Batu. We already arrived at Bukit Batu Station.” Stasiun MRT dinamai berdasarkan nama bangunan kuno khas daerah tersebut. Stasiun tujuanku sudah diumumkan melalui pengeras suara. Aku bergegas turun setelah sebelumnya melambai kepada dua orang WNA tadi.

Aku melanjutkan perjalananku dengan menaiki Bus Listrik Ahmadi. Bis ini merupakan salah satu kendaraan ramah lingkungan selain mobil Selo dan motor SineCycle. Tampaknya, kendaraan-kendaraan ramah lingkungan ini sudah mulai menggantikan kendaraan berbahan bakar bensin.

Pukul setengah sebelas pagi, aku sudah sampai di kantorku. Menyanyikan sebait lagu Gambang Suling sebagai sandi pintu masuk gedung, aku menyapa orang-orang yang kebetulan berpapasan denganku.

Sebelum menuju ke ruanganku, aku masuk ke dalam toilet, menyemprotkan parfum kesukaanku yang merupakan perpaduan wangi bunga Cendana, Gaharu dan Kenanga.

Setelah cukup puas dengan penampilanku, aku lalu kembali bekerja. Pukul empat sore hari, aku bersiap untuk pulang ketika aku ingat, hari ini adalah hari dimana aku menerima gaji.

Aku bersenandung senang ketika membuka ponsel pintarku yang bermerk Polytron. Melihat nominal dua juta Rupiah terpampang di rekeningku, aku tersenyum. Efisiensi ekonomi serta daya saing ekonomi yang mempengaruhi efisiensi biaya menyebabkan nilai tukar Rupiah yang terus menerus menguat terhadap US Dollar.

Aku memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki menuju stasiun. Trotoar yang sangat bersih dan bebas dari pedagang kaki lima, serta udara yang bebas polusi menemaniku sepanjang perjalanan sore itu. Indonesia yang kini telah menerapkan prinsip satu pohon untuk satu rumah membuat teduh para pejalan kaki.

Aku melewati sebuah sekolah yang sudah sepi dikarenakan murid-muridnya sudah pulang ke rumah masing-masing. “SDN 8 Palangkaraya, Kalimantan Tengah” demikian nama sekolah tersebut.

Aku lalu menaiki MRT dengan perasaan bangga. Ya, aku bangga menjadi warga Indonesia.


 

1 COMMENT