Merasakan Indahnya Toleransi di NTT

0
871

Empat lelaki mengenakan pakaian adat lengkap dengan penutup kepala yang terbuat dari kain tenun. Mereka mulai melangkahkan kaki mengikuti alunan musik dengan tangan kanan mengacungkan pedang. Gemerincing gelang kaki terdengar saat mereka mulai menghentakkan kaki ke depan, lalu mundur perlahan. Tari peperangan namanya, tari asal Kauniki, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini digunakan untuk menyambut tamu yang berasal dari luar desa tersebut.

Masyarakat setempat menggunakan tarian itu untuk menyambut peserta dari Nusantara School of Difference (NSD) yang berkunjung ke Kauniki selama 3 hari. Pada dasarnya, tari peperangan menggambarkan bagaimana kondisi saat dahulu kala para Raja Sonbai di Kauniki melawan penjajah dari Belanda.

Perjalanan yang ditempuh untuk sampai Kauniki tidaklah mudah, kami harus melewati jalan yang terbuat dari tanah serta naik-turun perbukitan, membutuhkan kurang lebih 4 jam jika ditempuh dari Kota Kupang. Kunjungan ke Kauiniki merupakan salah satu rangkaian acara dari NSD yang yang diselenggarakan dari 27 Juli-9 Agustus 2017. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Community Engaging with Difference and Religion (Cedar).

Acara ini diikuti oleh 26 peserta dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia, juga beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uganda, Jepang, dan Perancis. Kami berasal dari latar belakang suku, budaya, dan agama yang berbeda. Selama dua minggu, kami belajar mengenai hidup bersama dalam perbedaan di Timor dan Flores, NTT. Wilayah yang dikunjungi selama kegiatan ini berlangsung antara lain Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.

Dengan mengusung tema Past Continuous: Rethinking Colonial History, peserta NSD berupaya melihat kembali pengaruh kolonialisme dalam dinamika identitas, relasi mayoritas-minoritas, ketegangan dalam relasi intra-Christian, serta berbagai persoalan lain seperti pemahaman tentang gender, keberadaan masyarakat adat di Pulau Timor dan Flores.

Beberapa peserta NSD tengah mengunjungi Gereja St. Ignatius Loyola, Sikka, Kamis (3/8). Gereja ini merupakan gereja peninggalan Protugis tertua di Sikka. (foto:Ika)

Damai dalam keberagaman

Setelah mengunjungi Kauniki selama tiga hari, peserta juga berkesempatan mengunjungi kamp pengungsian di Desa Naibonat, Kupang Timur. Salah satu tokoh masyarakat di Naibonat, Fransisco Ximenes mengatakan, meskipun mereka memiliki agama yang berbeda dalam wilayah yang sama, mereka tetap menjalin kekeluargaan. “Meski kita berbeda agama, hubungan darah tidak bisa dipisahkan, kami saling membantu,” katanya, Rabu (2/8).

Tak hanya di Naibonat, setelah menghabiskan waktu selama seminggu di Kupang, peserta juga mengunjungi Maumere, Sikka, Flores. Mereka juga berkesempatan mengunjungi rumah Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera. Dalam kesempatan itu, Yoseph menjelaskan jika di Sikka terdapat 5 etnis, agama, dan budaya yang berbeda-beda. Walaupun berasal dari latar belakang yang berbeda, namun kerukunan antar masyarakatnya terjalin dengan baik.

Foto bersama Bupati Sikka, Flores, NTT, Sabtu (5/8).

“Jadi Sikka ini seperti sarang kebinekaan. Mayoritas penduduk di sini beragama Katolik, namun kami membangun kerukunan yang baik antar masyarakatnya, kami saling menjaga satu sama lain. Apabila ada upacara keagamaan semua hadir, misalnya idul fitri, nanti semua pada menjaga muslim selama salat id, dan juga sebaliknya,” ungkapnya, Jumat (4/8).

Pimpinan Cedar, Adam Seligman menyampaikan, bagian yang paling penting dari program ini adalah bagaimana membantu peserta untuk menerima bahwa manusia di manapun berbeda. Dalam konteks Indonesia, bagaimana menunjukkan hal ini dalam hal perbedaan agama, perbedaan etnis, cara hidup. Menjadi penting bagi masyarakat Indonesia untuk menerima perbedaan, karena keberagaman itu manusiawi.

“Bersama dengan rekan-rekan dari Jepang, Uganda, Amerika Serikat, serta rekan-rekan dari Indonesia, kami telah mengembangkan sebuah model untuk hidup dengan dan belajar dari perbedaan-perbedaan, hal itu akan menginspirasi komunitas-komunitas di seluruh dunia,” kata Adam.

Sedangkan Koordinator Nusantara School of Differences Dominggus Elcid Li mengatakan, ada tiga komponen penting dari acara ini. Pertama, elemen kognitif yang meliputi pemberian materi kuliah dari berbagai ahli di bidangnya.  Seperti memberikan materi tentang korban 1965, konversi dan pernikahan beda agama, dinamika orang beragama di Indonesia, diskriminasi orang beragama terhadap kaum LGBT, kehidupan orang Timor Timur di Indonesia, sejarah Orang Timor, dan tentang trust and confidence.

Materi-materi tersebut diberikan sebelum turun langsung ke lapangan melihat bagaimana masyarakat minoritas hidup dengan damai dalam perbedaan di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende. Peserta juga berkesempatan mengunjungi sekretariat Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwaksi), di mana terdapat kurang lebih 500 waria yang tergabung dalam Perwaksi dan mereka tetap diterima di dalam masyarakat setempat.

Peserta NSD foto bersama masyarakat muslim dari Pulau Babi, Minggu (6/8) (foto: Almando)

Tak hanya itu, peserta juga mengunjungi permukiman muslim yang berada di Maumere, mayoritas masyarakat permukiman itu beragama Islam, mereka merupakan korban stunami yang melanda Pulau Babi pada 1992 yang lalu. Pascastunami, mereka memutuskan pindah ke Maumere dan tinggal di pesisir pantai. Meski tinggal sebagai minoritas, mereka tetap menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat setempat.

Salah satu peserta NSD yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Boston, Amerika Serikat, Micah Pace mengatakan kegiatan ini menambah banyak pengetahuan terkait keberagaman.” Tentang saya dan orang lain yang terlibat satu sama lain, dengan orang-orang dari negara, agama, dan karir yang berbeda.” ujar Micah.

Mengenai belajar perbedaan, menurut Pendeta GMIT Kauniki, Sam Liubana, pelajaran berharga yang didapat ketika belajar tentang perbedaan adalah perbedaan tidak hanya berarti saat seseorang mampu melewati batas perbedaan itu sendiri, tetapi juga dapat belajar tentang bagaimana menghormati batas-batas yang tidak bisa dilewati.

Ika Puspitasari, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta