Semarak Serial Tokusatsu Produksi Anak Negeri

0
487

Pada 27 April 2017, sebuah film yang diproduseri oleh Reino Barack dan Ishimori Production dari Jepang berjudul Satria Heroes: Revenge of Darkness ditayangkan premiere di XXI Plaza Indonesia, Jakarta.

Menjadi salah satu undangan dalam pemutaran premiere ini, saya sangat menanti bagaimana film tokusatsu dibuat dan dikemas oleh tim produksi Indonesia. Walaupun 80% shooting dilaksanakan di Jepang dan sisanya di Indonesia, namun alur cerita, plot, nama tokoh, dan Bahasa yang digunakan semuanya berkaitan erat dengan kultur Indonesia. Sedangkan, kita tahu saja kalau produksi film tokusatsu atau film bergenre sci-fi di tanah air sendiri masih belum begitu mendapatkan apresiasi positif.

Sesampainya di lokasi pemutaran film, saya disambut dengan cosplay gadis-gadis Kawaii bergaya ala Jepang yang sudah siap untuk diminta berfoto. Tak hanya itu, saya juga melihat beberapa pengunjung yang sebagian besar anak-anak didampingi keluarganya sedang sibuk berfoto dengan sebuah cosplay berkostum sejenis monster yang merupakan karakter dalam film. Ada pula pajangan berupa replika robot Satria Bima yang terpajang di depan bioskop. Serentetan miniatur Satria Heroes juga tampak memenuhi koridor bioskop. Beberapa anak bahkan membelinya untuk kemudian ditandatangani oleh aktor favoritnya.

 

Ketika film sudah dimulai, saya cukup tertegun dengan kualitas efek-efek yang ditampilkan dalam film ini. Mulai dari sound effect, graphic effect, sampai ke transition effect yang menurut saya tidak amatir sama sekali. Tak saya sadari, pria yang duduk di sebelah saya sempat memperhatikan ekspresi saya yang agak melongo terkejut dengan mulut terbuka. Kualitas pengambilan gambar dan pemilihan lokasi juga sangat melampaui ekspektasi saya sebagai penonton yang awam dengan film bergenre tokusatsu.

Setelah dibuat terbelanga sesaat, saya juga sempat tertawa geli ketika melihat beberapa adegan Satria Torga saat beradegan konyol dan salah tingkah di depan salah satu pegawai perempuan dari Takarada Corp. yang berparas cantik. Pada adegan romantis pun, diselipi sedikit bumbu komedi yang membuat perut saya terkocok cukup dahsyat. Mungkin hal ini sengaja dibuat dengan tujuan menghindari kemungkinan penonton yang bosan dengan adegan pertarungan para satria.

Seperti yang dikatakan pada saat pembukaan penayangan premiere oleh pihak produksi Jepang, film ini bahkan dibuat ke dalam tiga segmen yang masing-masing berdurasi 30 menit karena target penonton utama yang disasar–dalam hal ini anak-anak, biasanya sudah mulai merasa jenuh jika duduk menyaksikan sebuah tayangan yang berdurasi lebih dari 30 menit.

Winda Prisilia

Sebagai penonton yang bukan tergolong dalam usia anak-anak alias bukan target utama film Satria Heroes ini, saya tetap bisa menikmati pesan-pesan yang disuguhkan dalam kemasan yang sederhana. Seperti misalnya, adegan di mana terdapat sosok jahat berwarna hitam yang mampu mengontrol manusia dengan keputusasaan yang tinggi untuk membalas dendam. Pada akhirnya, Wira –salah satu murid Master Torga (satria harimau) takluk dengan pergulatan batinnya sendiri karena mengingat bagaimana lembutnya cinta dan kasih manusia terhadap dirinya yang dalam cerita ini adalah Arsya–seorang gadis tanpa keluarga yang ikut mengembara bersama Wira dan Master Torga. Pesan positif lain yang saya temukan adalah kepedulian untuk sama-sama mencintai lingkungan dan sesama. Realisasi dari pesan ini bisa tergambar dari adegan di mana ketiga satria yaitu Bima, Torga, dan Azazel yang berjuang mati-matian menyelamatkan Jakarta dan masyarakatnya dari musibah kegelapan.

Sembilan puluh menit berlalu dan saatnya semua penonton untuk beranjak keluar dari bioskop. Lagi-lagi, saya dikagetkan dengan sosok anak kecil dengan penampilan tak berlebihan yang duduk di belakang saya. Ternyata, ia adalah pemeran karakter Wira. Bersama dengan keluarganya, mereka duduk bersama menyaksikan film Satria Heroes: Revenge of Darkness sampai selesai. Beberapa penonton di samping saya pun terlihat berusaha mengingat apa betul sosok anak laki-laki tersebut benar adalah Wira atau tidak. Dan saya pun menghampiri mereka dengan berkata: “Iya benar itu Wira yang tadi nongol di film.”

Winda Prisilia

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara

Peserta program magang di Harian Kompas