Potret Kehidupan Mahasiswa Asing di Indonesia

0
3783

Hidup di negara orang tentu tak mudah, perbedaan bahasa dan budaya sudah barang pasti menjadi kendala yang akan ditemui. Kendala itu menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang memilih kuliah di negara asing. Hal itu dirasakan oleh beberapa mahasiswa asing yang tengah menuntut ilmu di Indonesia.

Minggu (30/4) siang itu, Babucarr Jassey tengah mencari makan di sekitar Kampus 3 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia memilih rendang sebagai menu makan siangnya di Warung Masakan Padang. Ia mencicipi rendang pertama kali saat teman kelasnya meminta ia untuk mencoba masakan khas padang tersebut.

Jassey merupakan mahasiswa asing yang kuliah di UIN Jakarta, ia berasal dari Gambia, Afrika Barat. Ia mengaku tak terlalu mempermasalahkan soal makanan. “Saya makan apa aja, yang penting baik untuk tubuh, saya makan nasi goreng, masakan padang, sama makanan Warteg juga,” katanya, ketika ditemui di salah satu warung Padang.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, pada Agustus 2016, Jassey sama sekali belum mengenal Bahasa Indonesia sedikit pun. Mahasiswa semester dua Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keperawatan (FKIK) ini  baru mengenal Bahasa Indonesia setelah program pelatihan Bahasa Indonesia dari universitasnya mulai. Pelatihan Bahasa Indonesia berjalan selama tiga bulan, berkat pelatihan itu, sedikit demi sedikit ia bisa berbahasa Indonesia.

Bahasa menjadi hambatan utama Jassey untuk menguasai pelajaran selama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Tak jarang, Jassey meminta teman kelasnya untuk mengulang materi yang telah disampaikan dosen. Anak kedua dari empat bersaudara ini juga selalu merekam dosen yang tengah menjelaskan materi di dalam kelas dan mendengarkan kembali empat sampai lima kali di indekos.

Seiring berjalannya waktu, Jassey dapat mengerti materi perkuliahan tanpa merekamnya terlebih dahulu. Bahkan, Jassey berhasil mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,79. Untuk meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Indonesia, Jassey juga bergabung dengan mahasiswa lokal. “Waktu semester satu, saya targetin satu hari hafal 25 kosa kata Bahasa Indonesia,” ujarnya.

Bagi Jassey, berada di Indonesia mengharuskan dirinya berperilaku layaknya orang Indonesia. Terkadang, kata Jassey, orang Indonesia bersikap aneh saat melihat orang asing seperti dirinya. “Kalau saya jalan, ada orang yang ketawa melihat saya, tapi saya biasa aja,” kata pria yang lahir pada 3 Januari 1996 ini.

Jassey memutuskan belajar di Indonesia setelah mendapat informasi terkait fakultas kesehatan di Asia yang membuka beasiswa. Dengan restu orangtuanya, ia memilih Indonesia sebagai tempat belajarnya. Untuk biayanya kehidupannya, Jassey rutin mendapat kiriman dari orangtua sebesar Rp2.500.000 untuk satu bulan, kadang ia juga dapat menyimpan sisa uang tersebut.

 

Mahasiswa asing mengikuti program Darmasiswa belajar Tari Koko yang merupakan tari kreasi khas Jawa Timur di Universitas Surabaya. Kompas/Bahana Patria Gupta

Sama halnya Jassey, mahasiswa semester dua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fanna Conteh juga memiliki kendala yang sama terkait bahasa. Setelah sembilan bulan berada di Indonesia, Fanna masih belum terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Sampai sekarang, teman kelasnya yang bisa berbahasa Inggris kerap membantu menyampaikan ulang materi yang disampaikan oleh dosen.

Berbeda dengan Fanna, mahasiswa asal Turki yang mengambil Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah  (PGMI), Sureyya Haksever mengatakan adaptasi dengan makanan Indonesia menjadi kendala utamanya. Pasalnya, pertama kali mengonsumsi makanan Indonesia selama seminggu, ia jatuh sakit. “Aku kena tifus, mungkin karena makanan Indonesia banyak yang pedas,” tutur mahasiswa semester enam ini.

Menurut Sureyya, kebiasaan orang Indonesia yang memakan nasi berbeda dengan orang Turki yang mengonsumsi roti setiap harinya. Tetapi secara perlahan, kini ia terbiasa mengonsumsi nasi. “Kalau orang Indonesia  makan roti tidak kenyang, orang Turki makan nasi tidak kenyang. Tapi sekarang aku suka makanan Indonesia seperti nasi uduk, aku suka seblak juga,” paparnya.

Sebagai mahasiswa asing, Sureyya tak menampik jika Bahasa menjadi hambatannya dalam berkomunikasi. Namun, dengan tinggal di lingkungan yang mayoritas orang Indonesia, ia dapat mengaplikasikan Bahasa Indonesia yang ia pelajari di Pusat Bahasa sebelum masuk kuliah. Terhitung sampai semester enam, ia dapat IPK sebesar 3,16.

Sureyya juga mengisi waktu liburnya untuk jalan-jalan mengunjungi beberapa daerah di Indonesia, seperti Jogja, Semarang, Malang, dan Bandung. Ia juga mengagumi keindahan Candi Borobudur saat berkunjung ke Jogja. “Menurut saya toleransi di Indonesia sangat bagus sekali, meskipun mayoritas beragama Islam, tapi ada juga tempat ibadah agama lain, seperti Candi Borobudur,” terang Sureyya.

Pengalaman menarik juga dialami Surreya ketika berada di kereta, di mana dompet yang dibawanya raib saat ia tertidur pulas. Beruntung, teman-temannya meminjami uang untuk ia ketika mengunjungi Semarang.

Di sela-sela aktivitasnya menjalani kuliah, gadis yang lahir pada 15 Februari 1993 ini juga membuka usaha kecil-kecilan. Ia menjual selai yang dibuatnya sendiri di tempat tinggalnya. Terkadang, ia mendapat pesanan cukup banyak dari pembelinya.”Aku beli buah-buahnya dari Pasar Ciputat, ada macam-macam rasa selai yang aku jual,” ujarnya.

Tingkatkan Akreditasi

Kepala Pusat Layanan Kerjasama Internasional (PLKI), UIN Jakarta, Rachmat Baihaky mengungkapkan jika UIN Jakarta mulai menerima mahasiswa asing sejak 2005. Sedangkan UIN Jakarta baru membuka beasiswa untuk mahasiswa asing baru pada 2016. Sebelumnya, mahasiswa asing yang kuliah di UIN Jakarta membayar biaya kuliah sendiri atau mendapat beasiswa dari negaranya masing-masing.

Sejauh ini, keberadaan mahasiswa asing yang ada di UIN Jakarta sendiri jumlahnya signifikan dari tahun ke tahunnya. Mahasiswa asing itu sendiri berasal dari macam-macam negara seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Afrika, Yaman, Turki, maupun Afganistan.

Dengan adanya mahasiswa asing, lanjut Bayhaki, akan meningkatkan akreditasi sebuah universitas itu sendiri. Salah satu syarat untuk menjadi World Class University (WCU) harus memiliki mahasiswa asing sebesar 10% dari jumlah mahasiswa yang ada di universitas. “Jika jumlah mahasiswa UIN Jakarta sekitar 25.000, maka harus memiliki mahasiswa asing sebanyak 2500 apabila mau menjadi WCU,” jalas Baihaky.

Baihaky mengaku puas dengan pencapaian IPK yang diperoleh oleh mahasiswa asing yang kuliah di UIN, di mana PLKI menargetkan IPK 2.5 untuk mahasiswa asing. Baiknya, IPK yang diperoleh mahasiswa asing lebih dari 2.5.

Ika Puspitasari

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta