Tentang Pria yang Menerjemahkan Cinta Untukku

0
633

SERPONG, KOMPAS CORNER – Aku menyeret diri dari ruang tengah rumah menuju kamar. Ini sudah panggilan ke enam yang membuatku harus memaksakan tubuh beranjak dari depan layar laptop, demi suara berat seorang pria yang meneriakkan namaku dari tempat tidur. Kepalaku asyik mengedumel, benakku berisik oleh gerutu. Lagi-lagi aku mendengar perintah sederhana dan permintaan remeh temeh yang sama sejak sejam lalu: minta tolong mengambil botol minum dingin di kulkas, beli dua puntung rokok di warung tetangga, memasak air hangat, sampai menghidupkan televisi.

Aku memandang pria paruh baya yang tergolek santai di atas kasur seraya menikmati biskuit murah berisi banyak favoritnya, aku duduk di tepi; tepat sampingnya. Ia masih tenggelam pada tontonan film yang diputar ulang HBO. Diam-diam aku memerhatikannya – hal yang jarang kulakukan –  keriput tua di kening dan pipi wajahnya, itu gurat waktu yang memakan usia. Kantong matanya menebal dengan manik yang sembunyi begitu dalam di balik kelopak matanya, itu punya pandangan sayu yang terasa ingin selalu tidur beristirahat. Rambutnya memutih, tumbuh uban-uban yang selalu minta untuk dicabut, katanya kangen anak-anak rambut hitam seperti muda dulu.

Lalu, perlahan ia membalikkan badannya, menatap ke arahku, kupikir akan ada suruhan-suruhan kecil lainnya lagi, tapi tidak, lirih aku hanya mendengarnya mendesis, “Putri kecilku.” Aku tersentak. Julukan itu membawaku kembali pada sepuluh tahun lalu, ketika aku masih mengenakan seragam putih dan rok merah, membacakan puisi memperingati Hari Pahlawan di depan kelas, di hadapan teman-teman perempuan berkebaya Kartini dan kawan-kawan laki memakai topi khas Soekarno. Masih segar ingatanku, judul sajak puisinya sederhana saja: Papa.

Lantangnya kubacakan, kudeklamasikan. Tentang seorang pria yang bukan veteran. Tidak jua seorang yang menduduki puncak tertinggi sebuah perusahaan. Bukan pemimpin negara atau pejabat pengikut rapat penting yang katanya menciptakan kesejahteraan. Tak cukup kaya sampai buat orang berdecak wah. Pula bukan orang hebat dengan titel di belakang dan depan nama yang barisannya panjang. Tiada daftar namanya dalam batalion perang merebut kata merdeka. Orang-orang bertanya mengapa aku memilihnya, ini bukan hari Ayah. Guruku diam, dan teman-teman sesekali menyelinginya dengan tawa rendah. Kelas riuh. Orang-orang asing bergunjing. Kemudian, kukisahkan ini pada mereka.

Ia dulu bekerja mengurusi arus informasi valuta asing sebelum teknologi menggantikan posisinya dan menjadi serabutan, dari pekerjaan gudang hingga pemasaran. Pada malam-malam yang sulit, aku sering menangis minta boneka baru. Lalu tiba-tiba esoknya ibu membangunkanku demi bisa kulihat barbie bayi yang keluar dari belakang punggungnya. Aku bermain sepanjang hari dan lupa bertanya mengapa malam itu ia pulang dengan dua bungkus nasi kuning, bukan tiga, dan ia tidak ikut makan.

Akhir pekan, teman- teman cerita soal kehebatan jagoan Marvel di filem keluaran terbaru, aku merengek minta ke bioskop sepulang sekolah. Ia pun menggendong tas punggung kecilku yang berwarna pink, menembus lahan parkir, masuk ke gedung berlayar lebar. Tanpa malu, bercanda sepanjang jalan dengan tatapan mata orang-orang yang menahan tawa seraya berbisik ke arahnya. Katanya yang penting aku tidak keberatan dan menjadi bungkuk.

Lusanya, sepulang kerja, ia mengajakku berkeliling kompleks perumahan sebentar lima belas menit. Tak ada percakapan, tak peduli lelah yang menggerogotinya, dan penat yang menempelinya. Ia bilang, ia ingin aku duduk di depan jok motornya sebelum aku bertumbuh besar dan lebih memilih memeluk punggung lelaki lain di malam minggu. Beberapa hari setelahnya, ia membeli hewan peliharaannya, mengajariku cara merawat si anjing, memberi makan burung merpati, dan bermain-main dengan ikan mas di akuarium bulat. Malamnya, menemaniku mengocok dadu ular tangga, melupakan kesibukannya, menyisakan waktunya.

Mei sembilan delapan di depan mata. Aku ingat ia duduk di teras rumah, memotong kayu entah apa, menyiletinya jadi runcing, lalu berdiri di halaman dengan „senjata‟nya. Katanya kalau ada apa-apa, biar ia di garda depan memastikan aku baik-baik saja. Aku belum lupa juga ketika duduk di bangku pohon dan diganggu oleh serangan ketapel-ketapel anak iseng, aku pulang dengan menangis, lantas ia berhenti mengutak-atik kalkulator dan kertas folionya, keluar dari rumah mencari segerombolan anak-anak tadi yang mengangguku. Di akhir hari, ia bawa aku ke kamar, tanpa dongeng dan tidak juga nyanyian, duduk di tepi kasur, menungguiku tidur. Alasannya sederhana, menghalau nyamuk menggigitiku dan melindungiku dari mimpi buruk.

Darinya, aku belajar mencintai. Aku memahami cara menyayangi. Aku tumbuh dengan kenangan-kenangan tentangnya, hidup dari cinta-cintanya. Ia buatku memandang semesta dari kaca mata sederhana yang sama sekali berbeda. Dunia punya banyak lilitan soal, perkara yang tak kunjung usai, perangkap masalah-masalah, tapi ia buatku percaya jika dunia selalu punya satu orang yang bisa membantu orang lain.

Kita bisa jadi satu orang itu, yang menginspirasi yang lain untuk melakukan cinta yang sama. Lalu perlahan tapi pasti, dimulai dari hal kecil, lingkungan sekitar, dunia bergerak jadi lebih baik. Ia melakukannya padaku – membantuku berbicara bahasa kasih sayang, mengarahkanku cara bertindak dengan sentuhan cinta. Ia bukan siapa-siapa, tapi memang tak perlu menjadi siapa-siapa untuk jadi pahlawan sesungguhnya. Bahkan kadang kali mereka ialah yang samar namanya dan baru dikenal ketika sudah tiada, dan biasanya bahkan tanpa tanda jasa. Dan dalam hidupku, ia adalah yang selama ini kupanggil Papa.

Lewatnya, aku belajar definisi pahlawan yang lain, bahwa siapa pun bisa demikian. Ia bukan harus yang digambarkan turun di medan perang, menghadapi selongsong peluru yang berdarah. Jauh lagi, pahlawan sekarang bukan yang mengacungkan bambu runcing dan berteriak merdeka atau mati, zaman penjajahan sudah lama lewat. Tidak melulu yang berdebat atas nama rakyat di ruang rapat parlemen, sementara di saat bersamaan ditemukan kondom pada masing-masing tas atau besoknya muncul dengan seragam oranye sebagai tersangka penggelapan rupiah. Bukan juga seorang jenius yang membanggakan, lantas diam- diam terus memperkaya diri, mengisi otak, mengenyangkan perut untuk sendiri.

Melaluinya, aku memahami pahlawan adalah siapa saja yang mampu menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai senjatanya, kemudian membidik orang lain untuk melakukan kedamaian bagi sesama. Untuk itu, Papa, kusebut pahlawan, karena ia berjuang memberikanku terjemahan ulang tentang cinta: yang baru berguna dan berharga jika dibagikan.

Aku mengambil napas panjang. Kesadaranku kembali terjaga. Papa masih berbisik putri kecil padaku. Tak ada ba-bi-bu, aku mendadak meraih leher ringkihnya, mendekapnya erat dan bilang, “Ini bukan hari ayah, tapi aku ingin bilang menyayangimu, dan ini bukan jua hari pahlawan, tapi Papa selamanya pahlawanku‟. Jejak perjuangannya buatku dan keluarga mungkin sudah sepia, tapi makna dan hasil pengorbanannya tak pernah beranjak tua. Pahlawanku memelukku erat, dan bilang dengan candanya, ia akan terus jadi prajurit perang yang melindungiku dari bala tentara yang akan merobohkan istana, kami tertawa, katanya sebab aku adalah putri di singgasananya. (*)

Veronica Gabriella, Juara 1 Lomba Menulis Artikel “Pahlawan dalam Kehidupanmu” – Kompas Corner

Penulis: Veronica Gabriella
Editor: Herlina Anace Yawang
Foto: Dokumentasi pribadi Veronica Gabriella