- Artikel Komcor 2
Shinchan dan Doraemon, kartun favorit anak-anak pada jaman dahulu. 

Pahlawan. Satu kata yang sering kita dengar sejak kecil, namun tak banyak yang tahu apa arti pahlawan yang sesungguhnya. Kita mengenal Pahlawan Bertopeng di kartun Shinchan, Kapten Tsubasa yang menjadi pahlawan bagi timnya, bahkan Kura-Kura Ninja yang menjadi pahlawan pemberantas kejahatan di saat semua orang terlelap. Saat kecil, sosok pahlawan favoritku ialah Doraemon, robot kucing yang menjadi pahlawan Nobita. Saat itu, aku ingin memiliki teman seperti Doraemon agar ada seseorang yang selalu menemaniku di saat senang maupun susah. Sayangnya, keluguanku tak berlangsung lama. Kekecewaan akibat tak menemukan sosok Doraemon membuatku tumbuh menjadi pribadi yang dingin, skeptis, dan sulit berimajinasi. Aku bahkan tak pernah percaya dengan sosok Santa Claus. Padahal saat itu usiaku baru menginjak 9 tahun. Di saat teman-temanku berfoto dengan Santa Claus di waktu natal, tinggallah aku seorang diri berdiri di sebelah ibuku, menolak untuk mendekati sosok berkumis putih lebat yang ku tahu hanyalah seorang pekerja yang dibayar untuk berpura-pura menjadi sosok mistis itu.

Aku pertama kali melihat pahlawanku, di aula sekolahku dulu.

Saat itu aku berusia 15 tahun dan sedang berusaha menghilangkan penat akibat berjualan di lapangan seharian. Aku duduk di barisan paling belakang, melihat kepala sekolahku yang sedang berdialog dengan seorang pria berbaju batik. Pria tersebut berkulit putih, tingginya kurang lebih 170 cm, berbadan tegap dengan wajah Oriental. Apa isi dialog mereka, saat itu aku tidak terlalu peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana rasa panas dan keringat di tubuhku ini tergantikan dengan hawa dingin dari penyejuk ruangan. Sekitar 30 menit berlalu dan seminar telah usai, beberapa orang yang menghadiri seminar tersebut mengajak pria itu untuk berfoto bersama. Aku yang memang tidak tahu siapa pria itu langsung melengos keluar untuk kembali melanjutkan jualanku.

Dua tahun berlalu, aku kembali melihat pria itu. Kali ini tidak secara langsung, melainkan di layar televisi. Pria itu bersanding dengan pria berkulit sawo matang yang saat ini ku ketahui sebagai presidenku. Saat itu menjelang Pilkada DKI 2014 dan mereka sedang mengampanyekan hal-hal yang akan mereka lakukan bila terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2019. Saat itu, aku sadar bahwa pria tersebut adalah seorang politikus. Dalam pikiranku yang saat itu duduk di bangku SMA dan tidak peduli dengan politik, semua politikus itu kotor dan hanya memikirkan dirinya sendiri.

- Artikel KomcorBasuki Tjahja Purnama yang terkenal tegas.

Pria itu membuktikan bahwa aku salah. Pria yang akhirnya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta itu menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Ia jujur, tegas, dan tak kenal ampun dalam memberantas masalah-masalah yang ada di ibu kota Indonesia ini. Perlahan tapi pasti, pria itu membuatku kembali percaya akan sosok seorang pahlawan.

Akan tetapi, di mana ada terang pasti ada gelap. Di saat seseorang berbuat kebaikan, ada pihak tertentu yang tidak menyukai perbuatan baik orang tersebut. Mereka berusaha mencari celah untuk menjatuhkan orang baik demi menutupi borok yang timbul dari perbuatan buruk mereka.

Pahlawanku kini harus menghadapi penolakan dari warganya sendiri, kotornya meja hijau, dan ancaman mendekam di balik teralis penjara. Massa dari berbagai tempat berkumpul dan menghujatnya, bahkan beberapa pihak secara ekstrem meminta kematiannya. Saat ini, mungkin tokoh-tokoh jahat yang ingin mengalahkan pahlawanku sedang tertawa terbahak-bahak. “Akhirnya kutemukan juga celah itu.” Mungkin, itulah yang menjadi isi pikiran mereka.

Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa ini semua terjadi akibat kelalaiannya dalam menjaga ucapannya. Tapi, pahlawanku ini memang bukanlah Tuhan. Bukan robot. Bukan ninja, ataupun pahlawan bertopeng. Ia hanya seorang manusia, sama seperti kau dan aku, yang tak pernah lepas dari kesalahan. Apakah peribahasa “Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga” bisa diaplikasikan ke dalam kejadian ini? Atau peribahasa lain seperti “Tak ada gading yang tak retak”?

Sepertinya dari ceritaku kau sudah bisa menebak siapa yang menjadi pahlawanku. Ya, ia adalah Basuki Tjahja Purnama atau yang biasa dikenal dengan Ahok. Pria yang saat ini tengah mencalonkan diri kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pria yang ditolak kehadirannya di berbagai daerah saat melakukan kampanye. Pria yang menjadi alasan munculnya aksi unjuk rasa 4 November dan aksi damai 2 Desember. Pria yang menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak, juga pria yang sama yang mendatangi sekolah kecilku dulu.

Pak Ahok memang bukan Doraemon yang punya kantong ajaib, tapi tidak berarti ia tak bisa menjadi pahlawan dalam kehidupan seseorang. Ia tidak hanya menjadi pahlawan dalam kehidupanku, tetapi juga pahlawan bagi sebagian besar warga DKI Jakarta lainnya, meski kadang mereka tidak mau mengakuinya.

 

Penulis: Melissa Octavianti

Editor : Nashya Tamara

Sumber Foto:

https://aws-dist.brta.in/2016-02/original_700/0_0_1024_723_4c963c4cedcaadb3a524c29451d84467577e24b2.png

https://pbs.twimg.com/profile_images/560765416176246786/MHY3uHk_.png

http://www.orbitindo.com/wp-content/uploads/2016/11/hari-pahlawan-1.jpg