Kompas/Riza Fathoni

Sebagai aktor laga berbakat, nama Uwais Qorny alias Iko Uwais telah mendunia. Setelah mendulang sukses dalam film bela diri seperti ”Merantau” dan ”The Raid”, Iko kembali menggebrak berbagai festival internasional lewat film terbarunya, ”Headshot”. Tak sekadar aktor utama, Iko memegang peran sangat penting sebagai koreografer atau penata laku adegan laga. Keahlian sebagai koreografer laga itu pun dibawanya menembus Hollywood.

Film Headshot sudah ikut serta dalam 25 festival film internasional sebelum tayang perdana di Indonesia pada Kamis (8/12) lalu. Di Toronto International Film Festival (TIFF), Iko sempat merinding terharu ketika turun dari mobil dan segera disambut para fans Film The Raid yang tak sabar menyaksikan Headshot. ”Saya sampai merinding lagi nih sekarang. Mereka sangat antusias dan jatuh cinta pada aksi yang sudah disajikan. Saya enggak nginjak tanah mungkin waktu itu,” kata Iko.

Begitu masuk ke studio di TIFF untuk menonton Headshot, para penggemar The Raid ini segera menyambut film yang juga dibintangi dan dikoreograferi oleh Iko itu dengan tepuk tangan. ”Film The Raid sangat diagungkan. Pas Headshot tayang, mereka enggak ragu lagi dengan style kita. Kayak menonton Jackie Chan, apa pun ceritanya, style-nya sudah pasti khas Jackie Chan…. Film laga Indonesia pun sudah menemukan style-nya sendiri. Mereka mau lihat aksi kita lagi,” tambah Iko yang pernah tampil di film Star Wars: The Force Awakens.

Ketika ditemui di sela-sela latihan rutin di GOR Cempaka Putih, Kamis (8/12), gurat lelah tergambar jelas di wajah Iko Uwais. Bagaimana tidak, ia harus berkejaran waktu dengan jadwal peluncuran film Headshot yang tanpa jeda disusul dengan jadwal shooting film The Night Come for Us. Sama seperti Headshot, The Night Come for Us juga dibesut duo sutradara Mo Brothers (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel). Namun, semburat lelah itu segera hilang ketika Iko dengan semangat bercerita tentang proses pembuatan koreografi film laga.

Selepas film The Night Come for Us yang dibintanginya bersama Joe Taslim, Iko harus segera terbang ke Hongkong untuk membintangi film laga Triple Threat yang disutradarai oleh Chad Stahelski. ”Capek? Jangan ditanya lagi. Baru release film Headshot, langsung mulai shooting lagi film berikutnya. Saya juga berperan sebagai koreografer bersama Uwais Tim. Harus reading dan latihan tiap hari. Mau enggak mau, harus dibelah dua badannya,” ujar Iko

Dalam Triple Threat, Iko akan adu jotos bersama dua aktor laga Asia yang sedang naik daun, Tony Jaa dan Tiger Chen. Triple Threat menjadi pertemuan kedua bagi Iko dan Tiger Chen yang sebelumnya pernah tampil bersama dalam film Man of Taichi (2013) yang disutradarai Keanu Reeves. Setelahnya, Iko berencana akan kembali tampil di film Hollywood lainnya yang sempat tertunda bersama Sutradara Peter Berg.

Koreografer laga

Tanggung jawab Iko semakin berlipat karena ia tak sekadar berlaga sebagai aktor bela diri. Sejak pertama kali terjun ke dunia film, Iko sudah merangkap tanggung jawab sebagai aktor utama sekaligus koreografer laga di film pertamanya, Merantau (2009), The Raid: Redemption (2012) dan The Raid 2: Berandal (2014) yang disutradarai Gareth Evans. Demikian pula di Film Headshot dan The Night Come for Us.

Kompas/Riza Fathoni
Kompas/Riza Fathoni

Perkenalan dengan Gareth pula yang membawa Iko terjun ke industri film. Gareth yang awalnya tertarik membuat film dokumenter pencak silat takjub dengan bakat bela diri Iko yang kala itu berprofesi sebagai sopir truk perusahaan. Mereka bertemu di perguruan Tiga Berantai di daerah Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, yang didirikan oleh kakek Iko. Ditempa paman yang adalah gurunya, Hj Ahmad Bunawar, Iko tak hanya belajar pencak silat betawi, tapi terbuka pada beragam jenis ilmu bela diri.

”Saya bersyukur punya guru besar di perguruan itu. Menggerakkan sesuatu yang baru bukan sesuatu yang awam buat kita. Tidak belajar dari nol. Sudah kenal gerakannya. Sebagai action koreografer di sebuah film, kita menggabungkan beragam aliran. Kita cari referensi dari nonton film action. Fleksibel, enggak menutup diri. Kita ambil, kita sharing. Perbendaharaan harus kaya,” ujar Iko tentang proses koreografi laga pada sebuah film.

Setidaknya butuh tiga bulan untuk mempersiapkan koreografi dari sebuah aksi film laga. ”Tidak hanya memerankan sebuah karakter. Saya juga terjun menciptakan gerakan dari keseluruhan film. Jadi terasa aneh jika saya main, tetapi tidak menciptakan sendiri koreografinya. Dari gestur, lebih enak saya menciptakan sendiri. Terus terang saya orangnya sangat perfeksionis dan kepenginnya logis. Apa yang saya perankan harus masuk dalam logika. Saya mau semua gerakan masuk akal dan manusiawi,” katanya.

Demi gerakan yang masuk akal itu pula, jangan berharap bakal menemukan adegan terbang atau loncat yang berlebihan di setiap film yang ditata laganya oleh Iko. Untuk koreografi laga ini, Iko dibantu oleh Uwais Tim yang terdiri dari belasan petarung. Mereka membuat koreografi aksi dengan mengaplikasikan seni bela diri yang dipelajari di perguruan. Bersama timnya, Iko berusaha mempertontonkan gerakan tangkisan, pukulan, hingga finishing yang berbeda untuk setiap babak.

Dialog Aksi

Iko juga berusaha mengenali karakter beladiri dari masing- masing aktor sebelum mengaplikasikannya dalam koreografinya. Dalam film Headshot, misalnya, Iko menyesuaikan kemampuan Aktris Julie Estelle yang punya dasar bela diri yang jago membentengi diri. ”Saya menyesuaikan dari segi gestur atau basic-nya dia. Enggak mungkin saya memaksakan pencak silat untuk David Hendrawan yang basic-nya wushu. Kayak main gim. Setiap level akan berbeda setiap emosi akan berbeda. Harus memikirkan emosi, situasi, dan kondisi. Dari segi gerak, seperti berdialog dengan lawan main. Menciptakan gerakan sama seperti berdialog dengan fighter yang lain,” ujar Iko.

Dialog gerak ini semakin penting karena hampir semua film laga yang dibintangi Iko telah menembus pasar internasional dan banyak ditonton oleh ahli beladiri dunia. Salah satu yang menginspirasi Iko adalah dialog gerak yang disuguhkan dalam film-film Jackie Chan. Ketika dikeroyok banyak lawan, semua lawan aktif bergerak tanpa saling menunggu.

”Enggak terlihat diatur. Kayak bener-bener dikeroyok. Timing harus tepat, saya perhatikan dan utamakan ritme. Kayak main drama… buk-bak-buk…. Tendangan ke dada pasti akan beda power-nya dengan pukulan tangan. Pukul dan menangkis akan berbeda sound effect-nya. Buk-bak buk…,” tambah Iko sambil memperagakan beragam gerakan bela diri yang bertenaga.

Ditata dengan manusiawi, Iko terbukti berhasil menyuguhkan dialog gerak yang menonjolkan keindahan seni bela diri. Tak sekadar menghafal gerakan, petarung harus mampu memukul tanpa menyakiti dan menyuguhkan efek yang terkadang mampu membuat ngilu penontonnya. Ngilu karena sangat rasional dan masuk logika pertarungan.

MAWAR KUSUMA


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2016, di halaman 17 dengan judul “Figur Dialog Tarung Iko Uwais”