Kelompok Maha Dance dari Solo menampilkan koreografi bertajuk "Gejolak" dalam Bedog Arts Festival (BAF) 7 di Studio Banjarmili, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (12/12). BAF merupakan festival seni pertunjukan yang diinisiasi oleh seniman tari Martinus Miroto. BAF 7 berlangsung pada 11-12 Desember 2016 dan menampilkan seniman dari sejumlah negara, misalnya Singapura, Ekuador, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ethiopia, dan Indonesia. Kompas/Haris Firdaus

Di panggung yang remang itu, penyair Ardi Susanti berdiri tegak dengan pandangan mendongak. Suaranya lantang melantunkan bait-bait sajak. ”Akulah air, akulah air,” katanya. Di sekitarnya, lima penari berkeliling membentuk lingkaran, lalu bergoyang seolah ombak yang hendak menggoyahkan sang penyair.

Saat suara lantang Ardi lenyap dan sosoknya surut ke belakang, para penari bergerak pelan mengikuti bebunyian ritmis serupa tetesan hujan. Lalu, dalam peralihan yang tak kentara, tiba-tiba muncul suara debur ombak lautan, dan tubuh penari-penari itu pun bergoyang dan memutar. Sebagian penari akhirnya rebah, kalah oleh ombak ganas yang mereka ciptakan sendiri.

Namun, sebentar kemudian suasana kembali tenang, lalu Ardi muncul lagi untuk membacakan puisi:

Akulah air

Akulah hidup

Air bisa menjadi kawan

Air bisa menjadi lawan…

Begitulah pertunjukan A(li)r karya seniman Amerika Serikat, Kelsey Schober, mengalir di Studio Banjarmili, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (11/12) malam. Pentas ringkas berdurasi sekitar 10 menit itu merupakan hasil kolaborasi Schober dengan empat penari asal Indonesia dan Ardi Susanti yang merupakan penyair perempuan dari Tulungagung, Jawa Timur.

A(li)r merupakan salah satu pertunjukan yang dihadirkan dalam Bedog Arts Festival 7, sebuah festival seni pertunjukan yang berlangsung 11-12 Desember 2016. Bedog Arts Festival diinisiasi oleh seniman tari Martinus Miroto sejak tahun 2007. Sesuai namanya, festival itu diselenggarakan di pinggir Sungai Bedog, tepatnya di Dusun Kradenan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Bedog Arts Festival berlangsung di alam terbuka di pinggir Sungai Bedog. Di bawah sejumlah pohon dan diterangi nyala ratusan lampu sentir, para seniman mementaskan karya mereka. Kadang-kadang, saat tampil dalam festival itu, sejumlah seniman memilih menceburkan diri ke Sungai Bedog.

Tahun ini, Bedog Arts Festival tidak memakai panggung alami sebagai tempat pementasan. Karena faktor cuaca, Miroto memindahkan pentas ke panggung di dalam Studio Banjarmili miliknya. Lokasi studio tersebut sebenarnya sangat dekat dengan Sungai Bedog, tetapi perubahan tempat itu membawa nuansa yang sama sekali lain dengan pertunjukan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, nyala lampu sentir yang eksotis itu ikut hilang.

Penari Mugiyono Kasido menampilkan koreografi karyanya yang bertajuk "Sembah Sujud" dalam Bedog Arts Festival (BAF) 7 di Studio Banjarmili, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (11/12). BAF merupakan festival seni pertunjukan yang diinisiasi oleh seniman tari Martinus Miroto. BAF 7 berlangsung pada 11-12 Desember 2016 dan menampilkan seniman dari sejumlah negara, misalnya Singapura, Ekuador, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ethiopia, dan Indonesia. Kompas/Haris Firdaus
Penari Mugiyono Kasido menampilkan koreografi karyanya yang bertajuk “Sembah Sujud” dalam Bedog Arts Festival (BAF) 7 di Studio Banjarmili, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (11/12). BAF merupakan festival seni pertunjukan yang diinisiasi oleh seniman tari Martinus Miroto. BAF 7 berlangsung pada 11-12 Desember 2016 dan menampilkan seniman dari sejumlah negara, misalnya Singapura, Ekuador, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ethiopia, dan Indonesia.
Kompas/Haris Firdaus

Aneka ragam

Bedog Arts Festival 7 menampilkan 14 pertunjukan dalam dua malam. Durasi tiap pertunjukan relatif pendek karena tak ada pentas yang berlangsung lebih dari 30 menit. Seniman yang tampil berasal dari sejumlah negara, misalnya Indonesia, Inggris, AS, Singapura, Etiopia, Tiongkok, Ekuador, Jepang, dan Jerman.

Sebagian seniman dari negara lain itu merupakan penerima beasiswa Darmasiswa dari Pemerintah Indonesia yang sedang belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan ISI Surakarta. Dengan keragaman latar belakang para seniman, Bedog Arts Festival 7 memang menyajikan pertunjukan yang beragam, dari seni tradisional hingga kontemporer.

Bahkan, sejumlah seniman Indonesia pun menampilkan pertunjukan yang kontras satu sama lain. Pentas tari Sembah Sujud oleh Mugiyono Kasido, misalnya, berlangsung dalam gerak-gerak pelan, penuh penghayatan, dan menampilkan secara gamblang rupa tubuh penampilnya. Mugiyono juga tampil nyaris tanpa aksesoris: dia bertelanjang dada dan tata cahaya yang mengiringi tariannya nyaris selalu gelap.

Dari sisi gerak, Mugiyono memang menampilkan kelenturan dan keliatan tubuhnya, tetapi gerak-geraknya terlihat rendah hati karena tak ditujukan untuk memukau penonton. Pada sebuah adegan, ia menghadirkan atraksi berdiri dengan kepala di bawah, tetapi gerakan itu bukanlah untuk pamer atau unjuk kebolehan. Dipandang dari sejumlah segi, tarian Mugiyono lebih tampak sebagai penghayatan atas tubuh, bukan ”pameran tubuh” pada pihak lain.

Sebaliknya, tarian Kinima dari kelompok Marshadance, Yogyakarta, seperti perayaan atas tubuh para penari yang telah ditempa oleh latihan keras. Lima penari Marshadance tak sekadar meliuk, melompat, atau berdiri dengan kepala di bawah, tetapi juga membenturkan tubuh ke lantai kayu yang keras. Kelompok Maha Dance, Solo, juga punya tendensi nyaris serupa, tetapi tarian Gejolak yang mereka tampilkan mampu mengalirkan emosi, bukan sekadar tubuh yang berlompatan ke sana ke mari.

Sementara itu, pada sejumlah pentas, termasuk A(li)r, seniman dari beberapa negara tampil bersama dalam sebuah kolaborasi. A(li)r merupakan salah satu kolaborasi yang cukup berhasil dan padu. Koreografi ciptaan Kelsey Schober sebenarnya cukup kuat untuk tampil tanpa dukungan verbal apa pun, tetapi kehadiran sajak yang dibacakan Ardi Susanti memang memudahkan penonton untuk merasa terlibat dalam pertunjukan itu.

Bedog Arts Festival 7 ditutup dengan penampilan kelompok MuDA asal Jepang. Melalui pertunjukan Semegiai Random 03, kelompok itu menampilkan kecenderungan yang jauh berbeda dengan pentas-pentas sebelumnya. Lewat rangkaian gerak perkelahian dan repetisi menjatuhkan diri, empat penari MuDA menawarkan kemungkinan baru dalam pentas tari.

Relasi

Sebagai sebuah festival, Bedog Arts Festival menjadi menarik bukan hanya karena pertunjukan di dalamnya, melainkan juga karena relasinya dengan dunia sekitar, baik lingkungan alam maupun sosial. Miroto menuturkan, saat ia mulai tinggal di dekat Sungai Bedog tahun 1994, wilayah pinggir sungai itu masih sepi dan dianggap angker. ”Tahun 2001, saya mulai menari di sini dan masyarakat mulai tertarik,” katanya.

Ketika Miroto rutin menggelar pentas di tempat itu, wilayah sekitar Sungai Bedog pun mulai hidup dan relasi masyarakat sekitar dengan sungai tersebut kian dekat. Gerak tubuh para seniman yang tampil dalam Bedog Arts Festival pun seolah memberi daya hidup pada sungai itu….


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2016, di halaman 28 dengan judul “PERTUNJUKAN:  Gerak yang Menghidupkan Sungai Bedog”