Tak ada cara paling tepat untuk memartabatkan bahan-bahan pangan lokal kecuali mengolahnya dengan teknik memasak ala Indonesia menjadi hidangan Indonesia terbaik. Saat semua proses telah dilakukan dengan baik dan benar, maka yang lahir adalah cita rasa paling sejati.
Siapa orang Indonesia yang tak kenal rujak es krim, batagor, klappertart, nasi kuning, dan gado-gado? Bisa jadi semua orang Indonesia sudah pernah merasakannya. Namun, apakah cita rasa yang lahir dari makanan-makanan itu merupakan cita rasa terbaiknya?
Belum tentu. Ada begitu banyak praktik, mulai hulu hingga hilir, yang membuat makanan- makanan itu tak memunculkan cita rasa terbaiknya, cita rasa sejatinya. Di restoran Kaum yang ada di kompleks Potato Head Beach Club, Seminyak, Bali, bahan-bahan pangan lokal terbaik diolah dengan teknik memasak ala Indonesia untuk menghasilkan hidangan Indonesia bercita rasa terbaik.
Salah satunya bubur sumsum. Makanan penutup berbahan sederhana itu diolah menggunakan tepung beras dari beras jatiluwih, biji vanila dari Bedugul, essence daun suji, serta santan dari kelapa yang baru diparut ditambah sedikit garam.
Beras jatiluwih adalah salah satu beras terbaik di Bali, dihasilkan dari sistem pertanian subak yang sudah diakreditasi secara internasional oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia. Sementara garamnya adalah garam amed dari Karangasem yang juga dikerjakan dengan cara tradisional demi merawat tradisi peninggalan Raja Karangasem. Begitu pula dengan bahan-bahan lainnya, seperti vanila kualitas terbaik dari Bedugul.
”Sekarang susah sekali cari bubur sumsum enak. Padahal, dulu ketika kecil, pulang sekolah bubur sumsum jadi jajanan sehari- hari. Sekarang cari bubur sumsum yang benar-benar legit, enggak pakai pewarna atau pewarnanya alami, susah setengah mati. Pemilihan gulanya juga pahit di akhir karena kadang-kadang gula dicampur sulfit,” tutur Brand Director Kaum Lisa Virgiano, November lalu di Kaum.
Chef Dedy Sutan yang merupakan Corporate Pastry Chef PTT Family, yang membawahkan Kaum, menunjukkan cara pembuatan bubur sumsum ala Kaum. ”Kalau dari resepnya sederhana, biasanya hanya pakai santan dan tepung beras dan sedikit garam. Pada dasarnya sama, tetapi di Kaum cara membuat santan dan tepung berasnya berbeda. Santannya dibuat pakai kelapa pilihan segar menggunakan air kelapanya, dengan tambahan sedikit air supaya komposisinya pas,” ujar Chef Dedy. Tepung berasnya terbuat dari beras jatiluwih dengan massa tertentu, yang sebelum digiling, direndam selama waktu tertentu untuk menghasilkan tepung beras sesuai yang diinginkan.
Chef Dedy cekatan mengolah semua bahan menjadi dua adonan berbeda. Satu adonan berwarna putih, satu adonan berwarna hijau cemerlang. Saat dicicip, tekstur bubur sumsum itu terasa sangat lembut dengan cita rasa dan aroma vanila yang membayang.
Rasa asin dan gurihnya pas. Disantap dengan juruh yang, menurut Lisa, dibuat dari nira yang tengah berproses menjadi gula merah, bukan gula merah yang dicairkan, makin sempurnalah bubur sumsum itu menghadirkan cita rasa sejatinya. Sederhana, tetapi memberi pengalaman dan kesadaran rasa yang berbeda.
Pengalaman rasa serupa juga muncul saat menikmati bobor daun kelor, mi gomak, terung balado, gohu ikan tuna, gulai udang aceh, ayam kampung berantakan, mangut ikan asap, dan gado-gado. Bahkan, nasi putih dan nasi kuning yang disajikan bersanding dengan menu-menu tersebut.
Masuk keluar desa
Meski terkesan sederhana, untuk mendapatkan suplai bahan baku menu-menu di Kaum, bukan perkara sederhana. Lisa dan timnya harus masuk keluar desa, riset, dan bertemu produsen untuk meyakinkan mereka agar mau memproduksi barang-barang kualitas bagus itu untuk Kaum. Tak hanya di Bali, tetapi juga ke tempat-tempat lain di luar Bali.
”Kayak, misalnya sama produsen nira lontar. Kami pergi kunjungi perajinnya di Buleleng. Juga kacang mede untuk salah satu dessert kita. Saya bawa kacang mede dari Flores Timur. Saat blind testing, semua sepakat kacang mede Flores ini enak sekali. Akhirnya kami pakai kacang mede Flores,” kata Lisa.
Begitu juga untuk ikan asin. Saat berburu ikan asin, Lisa bahkan sampai pergi ke kawasan pantai utara Jawa untuk memastikan ikan asin dari sana tidak menggunakan pengawet, seperti boraks dan formalin. ”Kami perhatikan banget kualitasnya, ngomong sama produsennya agar mereka menjaga kualitas, menjaga kadar air. Enggak terlalu lembap supaya enggak bau apek,” ujar Lisa.
Meski demikian, Lisa menegaskan, mereka tidak memonopoli. Produsen tetap diperbolehkan menjual produk mereka kepada orang lain karena mereka hanya membutuhkan sedikit untuk Kaum.
”Yang penting kita berikan apresiasi kepada mereka agar mereka tahu kerja mereka dihargai. Kayak kita mau bikin booklet nih, wajah-wajah petani yang kerja sama dengan kita, kita tampilkan dengan ceritanya. Pekerjaan mereka tuh selain bertani apa. Berapa lahan yang mereka butuhkan untuk produksi dan lain sebagainya,” kata Lisa.
Teknik masak ala Indonesia pun diterapkan. Nasi, misalnya, tidak dimasak menggunakan rice cooker, tetapi diaron, menggunakan daun salam, serai, dan garam amed. Ada juga yang memakai daun jeruk. Penyajiannya pun gaya Indonesia, seperti menggunakan daun pisang.
”Tim dapur kami latih agar terbiasa memasak dengan teknik Indonesia. Nasi diaron, enggak pakai kaldu ayam bubuk, tetapi dibuat segar setiap hari. Lalu juga kaldu sayuran dan kaldu dagingnya. Ngulek bumbu enggak pakai hand blender, enggak pakai food processor,ngulek sambal ya dengan tekstur kasar ulekan,” ujar Lisa.
Dia ingin, menu-menu Indonesia yang disajikan Kaum tak hanya memukau tamu-tamu asing. Namun juga harus memenangkan hati orang
lokal.
”Itu baru bangga. Saya ingin kalau mereka bawa tamu dari luar negeri ke Kaum enggak malu-maluin makanannya. Pedes-nya bener-bener pedes. Kami pakai berbagai jenis cabai, kemudian gula merah bener-bener kami perhatikan penggunaannya, juga bumbu-bumbu lain, seperti kemiri, terasi, andaliman, semuanya,” kata Lisa.
Tidak mudah. Namun, semuanya bermuara pada satu harapan, memartabatkan pangan lokal menjadi menu Indonesia bercita rasa sejati.
DWI AS SETIANINGSIH
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Desember 2016, di halaman 30 dengan judul “Martabat Cita Rasa Sejati”