Mewarisi tradisi salah satu ikon medan seni pantomim Indonesia, para awak muda kelompok Sena Didi Mime menyuguhkan kembali kesegaran ”Ruang Kelas” dalam pertunjukan Sayap Tamu Festival Teater Jakarta 2016. Menjadi panggung bagi berbagai ”kecelakaan”, ”Ruang Tamu” hadir dengan interaktif, memaksa penontonnya terkekeh dan mengenang beragam ingatan tentang sekolah.
Perlahan, cahaya kemerahan mengusir suara celoteh bocah bermain, lalu memunculkan dua sosok yang duduk tegak di balik sebuah meja sekolah. Wajah mereka lurus-lurus tanpa ekspresi, duduknya pun kaku. Tanpa suara, tanpa bersenggolan, seperti duduknya sepasang murid sekolah dasar yang jeri diincar seorang guru galak.
Tiba-tiba, yang duduk di kanan menoleh kepada temannya dengan wajah ditekuk menebar curiga. ”Elo kentut ya?” ragu ia bertanya kepada teman semejanya itu.
Sang teman membantah, meninggalkan wajah bingung si penanya.
Keduanya kembali duduk dengan tegak, dengan wajah lurus, tak bererak. Lalu, yang duduk di kiri memecah kesunyian, dengan mengetukkan keras-keras jemarinya ke meja kayu. Ketukan jari di meja itu makin keras, juga makin berirama, mengganggu teman semejanya.
”Ssssshhhh…,” yang duduk di kanan melongokkan wajahnya ke arah meja, dengan jemari telunjuk yang menyilang di bibir monyong yang mendesah panjang. Ia seperti takut ketukan jemari itu bakal memantik amarah sang guru, atau siapa pun, berbahaya. ”Ssssshhhhh…,” desisnya memarahi jemari temannya.
Panggung ”kecelakaan”
Adegan pembuka ”Ruang Kelas” itu membangkitkan ingatan paling lumrah kebanyakan dari kita—tentang beku, steril riwayat kita di ruang kelas sekolah. Adegan yang menghadirkan ruang kelas di sekolah dengan begitu biasa, jamak, seperti yang pernah dialami (dan diakui) nyaris semua orang. Pengalaman yang sepertinya tak istimewa.
Namun, 90 menit pementasan Sena Didi Mime bertajuk ”Ruang Kelas” seperti kelebatan yang berlari dari ”rasa tertib” menuju ”huru-hara” para bengal. ”Ruang Kelas” yang menjadi bagian dari pementasan Sayap Tamu Festival Teater Jakarta 2016 pada Selasa (6/12) itu juga mengail kesadaran bahwa ruang kelas adalah ”panggung teater” pertama kita. Kelas adalah tempat kita pertama kali belajar ”menjadi ideal”, bahkan kalau perlu menjadi sesuatu yang bukan diri kita.
Dengan satu set ”bangunan” meja-kursi kayu bertumpukan, ”Ruang Kelas” memantik tawa penonton nyaris pada 90 menit pertunjukannya. ”Bangunan” meja-kursi itu bisa menjadi tempat persembunyian bagi murid- murid bandung, yang memenggal ”ketertiban” kedua murid pertama. Seperti kelinci yang muncul dari lubang tanah, kepala para badung itu bergantian muncul dengan mimik jahil khas remaja bengal.
Sebagai pertunjukan yang berakar pada tradisi pantomim, wajah pelakon mime ”Ruang Kelas” serba putih, persis para pemain pantomim yang sok-sok tak punya ekspresi. ”Ruang Kelas” juga sangat irit dialog. Namun, para awak muda Sena Didi Mime —Stephanus Hermawan ’Tjieproet’, Kameo Lova, Beni Ober, Syafrudin, Almanzo Konoralma, Richard Kalipung, Boy Idrus, dan Iqbal Sulaiman—piawai memantik tawa dengan berbagai ”kecelakaan” di panggung mereka.
Misalnya, di tengah rapi-jalinya tubuh-tubuh pelakon mengalir dari satu ”lubang tanah” ke ”lubang tanah” lainnya (yang mengail ingatan tentang murid- murid sekolah berkejaran di antara bangku sekolah mereka), tiba-tiba dua pelakon bertubrukan gara-gara berebut masuk ke ”lubang tanah” yang sama. Ekspresi kaget dan saling melotot di wajah kedua ”kelinci” berebut lubang itu seketika meraih tawa penonton.
Tjieproet dan kawan-kawannya memang punya kemampuan berlakon komedi. Riwayat ruang kelas di sekolah sebagai ”ruang kompetisi” dihadirkan dengan salah satu adegan slapstick paling jamak tentang berkompetisi di kelas—yaitu adegan dua orang yang berebut menjadi pengacung tangan tertinggi. Tak cukup tinggi mengacung dengan berdiri, kursi kelas pun dinaiki. Yang lain tak mau kalah, mengacungkan jari dengan naik ke meja. Jamak, tapi karena pelakonan itu terasa wajar, penonton terkekeh.
Meski berharap ”Ruang Kelas” dinikmati penonton dengan hening, sutradara Yayu Unru membuka ruang bagi hadirnya ungkapan-ungkapan khas remaja masa kini. Ini satu contoh saja, salah satu pelakon menghampiri yang lain berujar dengan rengekan khas ”alay”, ”aku kasih tahu ya…, tapi jangan marah….” Belum lagi lawan berdialognya menjawab, yang pertama sudah terburu menukas lagi ”…tuh kan, marah….”
Kelompok Sena Didi Mime yang didirikan dua mendiang seniman pantomim besar Indonesia—Sena A Utoyo dan Didi Petet—seketika terhubung dengan penonton masa kini, mereka yang bahkan belum lahir ketika Sena Didi Mime berdiri 29 tahun silam.
Apalagi, para pemain ”Ruang Kelas” juga piawai melibatkan penonton dalam pertunjukan mereka. Mereka, misalnya, meminta dua penonton berdiri dan memutar-mutar tangan, yang membuat penonton lain kebingungan tentang apa yang terjadi. Lalu, tiba-tiba, satu pelakon berlompatan di antara kedua penonton terpilih itu, seperti bermain lompat tali. Tawa dan tepuk tangan pun memenuhi Teater Kecil.
Dalam adegan yang dirancang, dengan melibatkan satu pelakon yang duduk di balkon penonton, dua ”murid” ”Ruang Kelas” marah gara-gara dering telepon si pelakon yang menyaru menjadi penonton itu. Salah satu
murid bahkan memanjat balkon itu. Situasi yang biasanya membuat marah penonton lain itu seketika menjadi satu ledakan tawa lagi.
Memiuh ”ruang kelas”
Ada begitu banyak kekuatan mime ”Ruang Kelas” yang berhasil terus terhubung dengan penontonnya sepanjang 90 menit pertunjukan. Namun, di antara yang banyak itu, yang paling memukau memang kepiawaian Tjieproet dan kawan-kawannya memainkan properti utama mereka—satu set ”bangunan” meja- kursi kayu sekolah bertumpukan.
Dalam pertunjukan yang mengalir tanpa runtutan alur cerita, Tjieproet dan kawan-kawan bahkan mampu memiuhkan ”bangunan” meja kursi sekolah itu bukan melulu sebagai penanda sebuah ruang kelas di sekolah. Lewat sebuah adegan transisi, mereka menegakkan ”bangunan” meja-kursi kayu itu hingga berdiri menjulang, menghadirkan sensasi rupa yang berbeda dari ”deretan” meja-kursi sekolah.
”Bangunan” meja kursi itu tiba-tiba bersalin menjadi sebuah arena perebutan ruang yang khas masyarakat urban. Narasi kecil tentang ruang kelas itu seperti kompetisi organik ruang kelas untuk menjadi yang terbadung, misalnya. Namun, cara Tjieproet melakonkan sejumlah adegan justru mengingatkan kita kepada suasana perebutan ruang di luar konteks sekolah. Salah satunya ketika Tjiproet dan kawan-kawan ada di ”dalam” ”bangunan” meja kursi itu, lalu melongokkan badan keluar dan bercakap. Seketika, ”bangunan” meja-kursi itu seperti representasi ruang urban (rumah susun, bus, atau halte bus misalnya?) yang selalu diperebutkan.
Lakon ”Ruang Kelas” menjadi bisa dibaca sebagai narasi kecil tentang ”ruang kelas”, sekaligus narasi besar tentang ”ruang”
dan ”kelas”. Namun, dibaca sebagai kelucuan belaka pun ”Ruang Kelas” sangat berhasil menaut seluruh perhatian penontonnya.
Sutradara Yayu Unru membagi rahasia keberhasilan itu. ”Apa yang hadir di panggung ’Ruang Kelas’ sebenarnya merupakan kecelakaan-kecelakaan adegan yang terjadi sepanjang latihan kami. Kami membuka segala kemungkinan untuk mengolah kecelakaan adegan itu menjadi adegan matang. Namun, begitu lakon jadi, saya menutup ruang improvisasi dalam pementasan. Segala yang kami sajikan merupakan hasil latihan, yang telah ditimbang dan terukur,” kata Yayu.
ARYO WISANGGENI G
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Desember 2016, di halaman 22 dengan judul “Pantomim Panggung Kecelakaan Ruang Kelas”